Management Editor's Choice Strategy

Gaji Eksekutif Mestinya Berbasis Kinerja

Gaji Eksekutif Mestinya Berbasis Kinerja

Gaji para eksekutif di perusahaan BUMN maupun swasta seharusnya ditentukan atas kinerja yang sudah dilakukan. Hanya dengan cara itu, prinsip sistem penggajian yang mengarusutamakan keadilan dari sisi internal maupun eksternal perusahaan bisa terpenuhi.

Pengamat dari Lembaga Manajemen Universitas Indonesia Budi Sutjipto mengatakan, dari sisi internal, gaji eksekutif jangan sampai jauh lebih tinggi dari karyawan. Sebab, CEO misalnya, tidak akan bisa memperbaiki seluruh perusahaan sendirian.

Gaji yang berbeda terlalu jauh bisa menjadi kesenjangan dalam internal perusahaan itu sendiri. Padahal, dalam sebuah perusahaan, karyawan juga salah satu elemen penting untuk mendongkrak kinerja. Rasio gaji eksekutif tertinggi (CEO) dengan karyawan level terbawah untuk perusahaan services seharusnya di bawah 1:100, untuk manufaktur bisa sampai 1:200 karena bawahannya adalah buruh.

Pun dari sisi eksternal, harus melihat benchmarking. Jangan sampai perusahaan sama, masalah sama, eksekutif sama, tapi gajinya berbeda. “Karena itu, gaji para eksekutif seharusnya sama dengan kinerja yang sudah dia lakukan,” katanya.

Pengamat dari Lembaga Manajemen Universitas Indonesia Budi Sutjipto

Pengamat dari Lembaga Manajemen Universitas Indonesia Budi Sutjipto

Dia juga mengatakan, kemampuan keuangan perusahaan juga harus dipertimbangkan dalam menetapkan gaji para eksekutif. Ketika perusahaan tidak mampu dari sisi keuangan, secara otomatis perusahaan itu tidak akan mampu membayar eksekutif.

Sebaliknya, apabila seorang eksekutif mampu membawa perusahaannya lebih baik, rasio gaji yang didapatnya semakin banyak. “Ini diharapkan memotivasi para eksekutif meningkatkan kinerja dan target mereka,” ujarnya.

Kondisi itu sejalan dengan prinsip pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang mana disebutkan bahwa besaran gaji hendaknya juga harus mampu memotivasi dan tidak memberi ruang kenyamanan terlalu besar. Besaran variabel gaji dengan gaji pokoknya (fix) harus setara.

“Gaji eksekutif harusnya memang bisa resource driven. Namun ini tidak mudah karena eksekutif merasa membawa value, sehingga akan menuntut dan membandingkan, mereka butuh kepastian, ini yang kemudian memunculkan negosiasi,” katanya.

Saat ini, sistem atau struktur penggajian para eksekutif di Indonesia, terutama eksekutif atas selevel direksi dan komisaris, memang bervariasi tergantung jenis perusahaan. Untuk BUMN, didasarkan pada aset dan tanggung jawab. Sedangkan di swasta tidak ada standar yang jelas, tergantung mekanisme pasar. Misalnya, ada perusahaan yang sebenarnya sudah mau rugi, namun bisa membayar CEO dengan jumlah besar untuk membawa keuntungan perusahaan.

“Di swasta tidak ada pakem, ini yang membuka ruang negosiasi. Direksi bukan karyawan, jadi gajinya tidak mengikuti karyawan, meski ada benchmark dengan perusahaan sejenis melalui survei gaji. Karena butuh, perusahaan berani bayar mahal, itu baru gaji pokok, belum insentif,” katanya.

Namun demikian, dalam kondisi perekonomian yang sulit pada 2014-2015 ini, variabel insentif para eksekutif ada kecenderungan berkurang. Variabel insentif ini biasanya berlipat-lipat gaji karena kelanjutan dari kinerja perusahaan, namun dengan kondisi keuangan yang kurang menguntungkan variabel itu berkurang dengan sendirinya.

“Kalau fix tidak mungkin karena sudah kontrak. Bukan dipangkas, tapi terpangkas dengan sendirinya. Insentif sumbernya memang memang dari pendapatan perusahaan itu sendiri. Tiap eksekutif punya nilai, kadang omset bisa didorong oleh value. Begitu juga dengan laba bersih, larinya ke bonus. Karena saat ini sedang sulit, ketentuan itu disesuaikan dengan kondisi,” ujarnya. (Reportase: Rizky Chandra Septania)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved