Management Strategy

Hadapi MEA 2020, Industri Jasa Keuangan Perlu Persiapan Matang

Hadapi MEA 2020, Industri Jasa Keuangan Perlu Persiapan Matang

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK), Muliaman D. Hadad, mengatakan bahwa sektor industri jasa keuangan perlu memiliki persiapan matang dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2020 mendatang. Memang MEA untuk sektor selain jasa keuangan sudah akan dimulai pada 2015.

“Untuk menghadapi MEA itu (industri jasa keuangan) perlu persiapan yang matang. Integrasi di ASEAN nanti bukanlah tujuan akhir tapi merupakan alat untuk memakmurkan atau menyejahterakan masyarakat. Sehingga integrasi di ASEAN harus menguntungkan semuanya,” katanya, ketika ditemui pada acara Kajian Tengah Tahun (KTT) 2013 Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), di Jakarta.

Muliaman D Hadad, Ketua OJK

Menurutnya, ada tiga hal penting yang menjadi PR industri jasa keuangan ke depan menjelang MEA 2020, yakni pembangunan kapasitas (capacity building), pembangunan infrastruktur di sektor jasa keuangan supaya pasar menjadi lebih efisien, serta harus bisa memparalelkan berbagai macam aturan yang ada dan yang akan dibuat ke depannya.

“Kita harus tetap memiliki manajemen krisis yang baik, kalau kita bisa mengelola industri jasa keuangan dengan baik, maka kita akan bisa menyerap akibat-akibat yang terjadi karena krisis tersebut. Kalau akibat krisis bisa diserap, jadi tidak akan menyebabkan vulnerability di industri jasa keuangan kita. Memang kita harus membangun industri yang tahan terhadap krisis jangka panjang,” tuturnya.

Muliaman menuturkan, adalah suatu tantangan untuk menjaga industri jasa keuangan di Indonesia ini tetap stabil dan sehat. Jadi pelaku dan otoritas di sektor industri tersebut perlu memperhatikan benar-benar mengenai penguatan modal, likuiditas, dan tata kelola (governance).

Soal likuiditas di industri perbankan, dia mengungkapkan bahwa likuiditas dana yang dimiliki perbankan kita masih cukup ketat, sehingga masih sulit untuk membiayai suatu proyek di sektor riil dalam jangka panjang.

“Perbankan kita harusnya mau membiayai proyek-proyek jangka panjang, semisal infrastruktur. Tapi ini mesti ada sinergi antara bank dan pasar modal supaya bank-bank tersebut mampu membiayai jangka panjang. Ini tidak hanya soal di regulasi saja yang harus kita buat, tapi juga harus ada komitmen dari semua pihak yang terlibat.

Sementara Direktur INDEF, Enny Sri Hartati, ketika ditemui dalam kesempatan yang sama, menyatakan bahwa masyarakat sudah mempunyai ekspektasi cukup tinggi dengan kehadiran OJK. Ekspektasinya yaitu OJK dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di industri jasa keuangan, serta bisa membangun sektor tersebut menjadi lebih bagus lagi di masa mendatang.

“Secara makro, alokasi kredit perbankan masih tergolong rendah. Hal ini bisa dilihat dari rasio kredit terhadap PDB baru sekitar 30%, jadi ini masih kalah dengan negara-negara tetangga yang rata-rata sudah mencapai di atas 100%. Lalu sebagian besar penyaluran kreditnya masih teralokasi sebesar 75% di sektor-sektor non-tradable. Dan suku bunga kredit juga relatif masih tinggi atau mahal, sehingga kurang mendorong sektor riil (spread 5%-6%). Ini semua akan menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang tidak mudah bagi OJK,” terangnya.

Jadi dengan penyaluran kredit perbankan yang lebih banyak ke sektor konsumtif, bukan produktif, maka bisa disebut bahwa fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan sempurna, serta kualitas kreditnya masih tidak berkualitas.

“Untuk intermediasi secara kuantitatif memang ya bertumbuh, karena LDR rata-rata meningkat semua, yang jadi persoalan apakah itu berkualitas atau tidak. Kalau pembiayaan hanya stuck di non-tradable, yang hanya memacu orang untuk mengonsumsi saja, bagaimana ini menggerakkan sektor riil? Kalau pembiayaan diberikan ke sektor riil, itu akan bisa berputar dan mengembalikan kredit dari perbankan tersebut. Ini juga akan memacu pembiayaan perbankan ke periode berikutnya. Misalnya bank membiayai pertanian, lalu itu panennya sukses, jadinya itu akan bisa juga untuk membiayai industri agrobisnisnya,” ucapnya.

Dia menambahkan kalau kredit hanya fokus di sektor konsumsi saja, maka akan menimbulkan bubble dalam jangka waktu tertentu. “Sekarang sampai lima tahun ke depan memang tidak (bubble), karena awalan kita memang pembiayaan perbankan masih terlalu rendah saat ini, tapi dalam jangka menengah panjang tidak akan ada jaminan. Ibaratnya kalau kita terus mengonsumsi, sementara pendapatan tidak ada, bagaimana kita tidak terjerat utang?” ujarnya.

Enny kemudian menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia memang melambat di triwulan pertama 2013, dengan tercatat hanya 6,02%. Hal ini lebih disebabkan karena adanya penurunan dalam konsumsi rumah tangga dan investasi. Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5,2% pada triwulan pertama 2013, sedangkan pada triwulan keempat 2013 tumbuh sebesar 5,36%. Kemudian Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 5,9%, sementara di triwulan empat 2012 sebesar 7,29%.

Pertumbuhan tersebut juga masih didominasi sektor non tradable seperti pengangkutan dan komunikasi sebesar 9,98%; perdagangan, hotel dan restoran sebesar 8,11%; konstruksi sebesar 7,50%; keuangan, real estate dan jasa perusahaan sebesar 7,15%. Sedangkan sektor tradable, misalnya pertambangan dan penggalian tumbuh minus 0,43%; pertanian tumbuh hanya 3,70%; serta industri hanya 5,84%.

“Karena pola ekonomi kita itu lebih besar pasak daripada tiang, maka kita yang lebih tumbuh adalah sektor konsumsi, tapi penyokongnya (pertanian dan industri) menurun. Jadi kalau momentum (pertumbuhan ekonomi) yang diambil tidak tepat, maka akan menghasilkan akibat yang tidak tepat pula dalam masyarakat,” tutupnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved