Management

Jatuh-Bangunnya Industri Rokok Kretek Nasional

Oleh Admin
Jatuh-Bangunnya Industri Rokok Kretek Nasional

Pangsa pasar rokok kretek sempat kalah dari rokok putih pada beberapa dekade lalu. Kemudian pasar rokok kretek akhirnya bisa tumbuh luar biasa. Itu terjadi justru pada tahun terjadinya krisis ekonomi, yakni 1998. Pangsa pasarnya kini mencapai 92 persen.

Akan tetapi, di tengah kondisinya yang nyamannya, industri rokok kretek pun menemui jalan terjal. Industri rokok ini harus menghadapi hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, yang disahkan pemerintah pada Desember tahun lalu.

“Kretek ini suatu produk yang khas, yang tidak ada duanya, dan adanya hanya di Indonesia,” sebut Ismanu Soemiran, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), di Jakarta, Senin (11/2/2013).

Ismanu Soemiran, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI)

Ismanu berpandangan, rokok kretek, yakni rokok yang terdiri campuran tembakau rajang, cengkeng rajang, dan ditambah perisa lain, adalah suatu kearifan lokal yang harus dilestarikan. Ia pun bercerita bagaimana rokok kretek sempat kalah saing dengan rokok putih. Sekitar tahun 1950, rokok putih mendominasi pasar rokok di Tanah Air dengan pangsa pasar sekitar 90 persen.

Namun, rokok kretek pun bisa melesat di sekitar tahun 1998. Itu adalah saat krisis ekonomi terjadi. “Sebelum reformasi, anggota (GAPPRI) ada sekitar 800 pabrik. Ketika terjadi reformasi, krisis multidimensi, kita tumbuh, mencapai hampir 5 ribu pabrik dalam 3 tahun mulai 1998,” lanjut dia.

Apa yang membuat industri rokok kretek bisa berkembang pesat hingga menjadi pemimpin di industri hasil tembakau atau pasar tembakau sampai saat ini? Ismanu bercerita, “Ini karena di dalam manajemennya banyak memetik karakter, sifat, kearifan dalam kegotongroyongan, kebersamaan yang lahir dari negara kita sendiri.”

Menurut dia, hubungan emosional antara petani dan produsen sangat kuat. Di mana bahan baku rokok kretek banyak dihasilkan oleh petani tradisional. Artinya, rokok kretek dihasilkan dari bahan baku dari perkebunan rakyat, bukan perkebunan besar seperti yang terjadi di luar negeri. “Demikian juga pabrik lahir dari lingkungan keluarga. Mungkin buruhnya masih sanak family, dan sampai sekarang itu bertahan,” sambung Ismanu.

“Ternyata memang kretek mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dengan menguasai pangsa pasar 92 persen di Indonesia,” tambah dia.

Jadi, pertumbuhan rokok kretek tidak mudah. Ada permainan cantik yang telah dijalankan para pelaku di industri tersebut. Akan tetapi, kata dia, di era globalisasi ini, mulai terjadi carut-marut. Di mana, tujuan sejumlah investor tidak hanya investasi tetapi juga berusaha menguasai perdagangan di semua lini. Maklum saja, omzet rokok di Indonesia bisa mencapai Rp 225 triliun. “Ini di bisnis rokoknya saja, belum tembakaunya,” jelas Hasan Aoni Aziz US, Sekretaris Jenderal GAPPRI menambahkan.

Untuk itu, lahirnya PP 109 Tahun 2012, dipandang asosiasi ini bukan untuk mengatur mengenai kesehatan, melainkan mengatur bisnis rokok kretek dan tembakau sebagai bahan bakunya. “Di satu sisi PP ini telah menyederhanakan persoalan karena melihat tembakau dan rokok hanya dengan perspektif kesehatan. Tetapi sekaligus juga melampaui kewenangannya (over authority), karena mengatur banyak soal di luar bidang kesehatan. Tidak ada satu pun pasal di dalamnya yang mengacu pada kesehatan. Semua jelas ke arah perdagangan,” tegas Ismanu.

Industri rokok menengah dan kecil dinilai sulit untuk memenuhi sejumlah persyaratan yang dimuat di PP tersebut. Imbasnya, mereka bisa gulung tikar. Jumlah industri rokok kecil dan menengah di keanggotaan GAPPRI pun terbilang besar. Dari sekitar 111 anggota saat ini, dia mengatakan, “Perusahaan besar cuma empat, yang menengah ada tujuh, sisanya yang kecil.” (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved