Management zkumparan

Joseph Bataona, “Teknologi dan Manusia Saling Melengkapi”

Joseph Bataona, Mantan Direktur HR Unilever Indonesia
Joseph Bataona, Mantan Direktur HR Unilever Indonesia

Industri 4.0 memang sedang hangat-hangatnya dibicarakan banyak kalangan. Kita semua tidak mungkin menahan kehadirannya, sebab teknologi terus bergerak dan berubah cepat. Meskipun kita, baik individu maupun perusahaan, tidak mengetahui sudah sejauh mana perjalanan menuju titik 4.0 –karena masing-masing mempunyai level pengetahuan tentang 4.0 berbeda-beda– setidaknya kita memahami bahwa era digitalisasi sudah tiba.

Mengapa hal ini saya highlight? Karena, bagi divisi human resources (HR), kalau hanya paham secara konsep (digitalisasi), akan bingung bagaimana membawanya masuk dan diimplementasikan dalam pekerjaan. Dari awal harus disadari, bahwa digitalisasi bukan menggantikan peran manusia. Masih banyak aspek yang tidak bisa di-digitalized, tidak bisa di-automated. Ketika kita bicara values, ethics, creativity, critical thinking, semua itu tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan yang dibuat di dalam komputer atau robot. Jadi, ada aspek yang memang menjadi porsinya manusia yang tidak bisa digantikan robot.

Komputer dan robot di era 4.0 itu digunakan sebagai alat bantu untuk mempermudah pekerjaan manusia. Komputer dibuat oleh manusia, dan dioperasikan oleh manusia, kecerdasan yang ditanam di dalamnya juga dari manusia, dan mungkin ada waktu-waktu dia harus di-upgrade lagi. Jadi, di balik semua itu, tetap saja manusia.

Karenanya, datangnya era 4.0 jangan menjadikan kita salah paham bahwa komputer dan robot akan menggantikan atau menghilangkan pekerjaan manusia. Tidak demikian. Kita memang membutuhkan dukungan komputer, tetapi komputer baru bisa bekerja kalau ada parameternya. Misalnya, komputer bisa membantu compile semua data kandidat yang dibutuhkan perusahaan, tetapi komputer tidak akan bisa membantu jika kita tidak memberitahu kriteria yang dibutuhkan.

Contoh lain lagi, sekarang ada perusahaan yang sudah bisa memprediksi retention risk, risiko key person di perusahaan itu akan stay lama atau tidak, hal itu sekarang sudah bisa dibantu komputer/aplikasi. Namun, tetap saja, mesin (aplikasi) baru bisa bekerja jika mendapat input dari manusia. Jadi, mesin atau komputer akan mempermudah pekerjaan kita, bukan menggantikan kita.

Teknologi bukan hal yang esensial. Teknologi mestinya menjadi driver transformasi. Kalau kita cuma membeli teknologi untuk diinstal di perusahaan, tetapi karyawan tidak disiapkan untuk memanfaatkannya dengan optimal, ya percuma saja. Seharusnya teknologi diadopsi karena bisnis model perusahaan memang membutuhkannya.

Dalam konteks itu, teman-teman di departemen HR harus menjadi mitra dekat divisi pengembangan bisnis, karena mereka harus bisa menerjemahkan strategi bisnis yang dirancang menjadi gambaran kebutuhan talent/people. Orang-orang seperti apa yang dibutuhkan jika perusahaan merancang strategi bisnis seperti itu? Atau jika teknologi A, B atau C diadopsi, kompetensi apa saja yang dibutuhkan? Dan sebagainya.

Kemudian juga soal upskill, hal itu menjadi sangat penting karena perubahan berlangsung sangat cepat. Struktur organisasi perusahaan sekarang lebih agile, karena orang diharuskan bisa berkolaborasi lintas fungsi/tim/divisi. Jadi, satu orang bisa punya job desc utama, tetapi juga bisa dilibatkan dalam proyek lintas fungsi sehingga dia bertanggung jawab untuk beberapa fungsi yang lain. Itu semua perlu disiapkan dari sekarang.

Ketika kita bicara tentang upskill atau reskill, sebenarnya itu bukan hanya concern-nya orang HR, melainkan kepedulian seluruh organisasi. Sebab, meningkatkan keterampilan karyawan harus sejalan dengan sasaran yang akan dicapai organisasi tersebut. Ibaratnya, jangan sampai organisasi membuat kontradiksi employee versus mesin.

Yang seharusnya dilakukan adalah employee plus mesin. Betapapun kita membutuhkan teknologi menjadi supporter, bukan untuk menghadang mesin-mesin itu. Jadi, yang seharusnya dilakukan adalah merumuskan kembali bagian mana saja yang bisa digantikan mesin dan bagian mana saja yang tidak bisa digantikan mesin atau hanya bisa dikerjakan manusia secara langsung.

Nah, itu sebabnya proses rekrutmen berperan sangat penting. Misalnya, ke depan, kita harus bisa merekrut orang yang dapat bekerja lintas tim. Misalnya, orang marketing yang juga bisa bekerjasama dengan orang lain (fungsi lain). Karena, dengan model kerja kolaborasi di zaman ini, seseorang bisa saja harus bekerja lintas fungsi, atau jadi atasan dengan anggota tim/staf adalah campuran/gabungan dari beberapa fungsi.

Sehubungan dengan hal itu, divisi HR juga harus sudah menyiapkan diri dengan tren-tren pola hubungan kerja SDM di masa depan. Divisi HR harus bisa menyusun pola kerja yang menyesuaikan dengan cara kerja kolaborasi. Selain itu, divisi HR juga harus mengantisipasi tren karyawan kontrak, yang hanya sanggup bekerja untuk dua tahun saja. Semua itu realitas organisasi yang harus siap dihadapi.

Walaupun terjadi perubahan pola hubungan kerja di era mendatang, saya tetap meyakini, membangun kultur perusahaan tetap menjadi hal penting. Setidaknya, organisasi perlu membangun kultur bahwa buah pekerjaan bisa membawa dampak yang besar dan penting banyak orang. Jika dibangun kultur semacam ini, orang merasa bangga akan tugasnya dan merasa dirinya berarti bagi orang banyak.

Karyawan zaman sekarang umumnya tidak semata mencari materi, tetapi juga kebanggaan melihat dirinya dan pekerjaannya membawa dampak positif bagi orang lain di luar sana. Jadi, pendekatan humanis ini bisa menjadi salah satu hal yang mengikat orang untuk tetap tinggal di perusahaan, ikatan afeksi. Karena, orang merasa sangat diapresiasi sebagai manusia.

Intinya, siapa pun di dalam organisasi harus bisa berpikir seimbang. Digitalisasi penting, tetapi jangan lupakan manusianya, karena tanpa manusia teknologi itu akan jadi barang mati. (*)

Dyah Hasto Palupi dan Arie Liliyah

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved