Management Strategy

Lebih Banyak Ruginya, Ekonom Bersatu Tolak TPP

Oleh Admin
Lebih Banyak Ruginya, Ekonom Bersatu Tolak TPP

Sinyal positif Presiden Joko Widodo untuk bergabung dalam Trans Pacific Partnership (TPP) terus menuai kritik. Para ekonom yang menggelar diskusi bersama di Paramadina Graduate School, Jakarta, berpendapat, pelaksanaan TPP tidak sesuai dengan Nawacita, sembilan program unggulan Jokowi-Jusuf Kalla.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim menolak dengan tegas perjanjian TPP meski masih wacana. Menurut Emil, yang juga mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, TPP tidak hanya berpengaruh terhadap memburuknya ekonomi, tetapi juga tidak sesuai dengan nilai-nilai ideologi bangsa dan Nawacita. “Bukan hanya alasan ekonomi, melainkan juga ideology battle,” ujar Emil.

Hampir semua pembicara yang hadir dalam diskusi tersebut tidak setuju dengan perjanjian TPP. “TPP tidak sesuai dengan kondisi Indonesia sekarang,” ujar Rektor Universitas Paramadina Firmanzah.

Emil Salim

Emil Salim

Menurut Firmanzah, banyak standar dalam kesepakatan TPP yang diatur. Tidak hanya perdagangan, tetapi juga BUMN, UMKM, kemudian Intelektual Property Rights, dan lingkungan hidup. Dia tak tahu apakah ada kepentingan lain di balik sinyal positif Jokowi soal TPP. “Secara total lebih banyak merugikan.”

Bulan lalu, tepatnya 27 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Dalam pertemuan tersebut, salah satunya membahas mengenai blok kerja sama perdagangan Asia Pasifik yang dirancang oleh Amerika Serikat, dikenal dengan istilah Trans Pacific Partnership.

Moderator diskusi menjelaskan bahwa pembahasan ini nantinya akan dikembangkan agar sampai langsung ke Presiden Jokowi. Rencananya, pada pembahasan berikutnya akan diundang para pihak BUMN terkait agar dapat dipertimbangkan apa yang nantinya terpengaruh apabila perjanjian TPP disetujui.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice M. Riza Damanik pun berpendapat, kerja sama dengan Amerika Serikat seharusnya tidak dipengaruhi ada atau tidaknya TPP. “Jangan seolah-olah kita tidak pernah bekerja sama dengan Amerika Serikat,” kata Riza.

Meskipun Indonesia tidak menjalin hubungan bilateral dengan AS, Riza meneruskan, Amerika tetap berinvestasi di Indonesia. “Serangan psikologis saja. Agen-agen asing dalam negeri kita ini untuk mempengaruhi pemerintahan.” Dia menduga, banyak keterlibatan broker yang mendorong persetujuan TPP. Padahal Badan Usaha Milik Negara akan sangat dirugikan dengan adanya TPP.

Adapun Duta Besar RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa periode 2004-2007 Makarim Wibisono melihat sikap Presiden Jokowi mengenai TPP karena kurangnya persiapan yang matang saat berkunjung menemui Presiden Amerika Barack Obama. Saat itu Presiden tengah disibukkan dengan permasalahan kabut asap.

Namun menurut Makarim, tidak ada kata-kata dari Jokowi yang menyatakan setuju terhadap TPP. “Yang kita bicarakan ini sebenarnya masih wacana,” ujarnya.

Beberapa perwakilan dari Komisi Nasional Perempuan dan Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia juga menolak TPP. Mereka menilai, TPP memungkinkan kematian pasar karena akan menurunkan daya beli konsumen terhadap produk lokal. Selain itu, mereka berpendapat TPP perlu dikonsultasikan kepada banyak pihak.

Hasil diskusi tersebut menyebutkan, bila pembahasan TPP dilanjutkan, akan memperburuk ekonomi Indonesia. Sebab, keputusan untuk menyetujui TPP tidak serta-merta mengambil keputusan tentang perdebatan sistem perdagangan global, tetapi terkait dengan jati diri bangsa.

Pada masa pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono, TPP pernah digagas. Namun saat itu pemerintahan SBY menolak TPP dengan tegas. Menurut para ekonom dalam diskusi ini, hal yang harusnya diperhatikan pemerintah, yaitu adanya keselarasan dan kesinambungan dengan pemerintahan sebelumnya.

Tempo


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved