Management Strategy

Lompatan Emas Agar Tegak Sejajar

Oleh Admin
Lompatan Emas Agar Tegak Sejajar

Didorong keinginan melompat lebih tinggi dan cepat, langkah restrukturisasi dilakukan. Visinya menjadi pelaku bisnis konstruksi dari hulu ke hilir.

Peringatan 50 tahun HUT PT Hutama Karya (HK) pada Desember 2010 bermakna mendalam. Manajemen BUMN pelat merah itu mencanangkan lompatan emas (golden leap) di usianya yang setengah abad. HK akan memperkuat diri sebagai perusahaan jasa konstruksi yang andal dari hulu ke hilir. Perusahaan ini tidak mau lagi hanya mentok di urutan ke-5 di antara BUMN konstruksi lainnya.

Untuk mencapai tujuan itu, HK harus direstrukturisasi. Itulah sebabnya, HK akan memperbarui nilai-nilai dan budaya perusahaan, meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) berbasis human capital, meningkatkan arsitektur bisnis perusahaan dari jasa ke industri konstruksi, dan mengubah orientasi strategi perusahaan dari product oriented menjadi customer focus. ”Selama ini kami lebih berorientasi pada produk, padahal pengguna jasa juga harus diperhatikan karena mereka adalah subjek,” ujar Subagyono, Direktur Utama HK.

Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang melakukan restrukturisasi setelah kinerja keuangan merosot, justru keuangan HK masih solid. “Perubahan besar di HK bukan karena didorong faktor keuangan yang berdarah-darah, tapi kami ingin melompat lebih tinggi dan cepat,“ kata Eko Prastowo, Direktur Pengembangan HK.

Menyadari kunci keberhasilan bisnis jasa konstruksi terletak pada SDM yang kompeten, sejak setahun lalu HK lebih memperhatikan pengembangan SDM-nya, terutama generasi emas yang produktif. Kendati demikian, menyadari pengembangan SDM pun harus didukung pengembangan bisnis, HK membentuk sejumlah anak usaha. Di tengah kompetisi bisnis yang ketat, manajemen merasa tidak bisa lagi hanya bergantung pada bisnis jasa konstruksi murni. Kehadiran unit-unit bisnis anyar diharapkan menjadi portofolio mesin uang baru, sehingga perusahaan bergerak bebas di industri konstruksi terpadu.

Kendati dari faktor internal HK tidak ada masalah keuangan yang serius, diakui Budi Rachmat, GM Building & Wilayah II HK, kala itu mental karyawan tak ubahnya (maaf) pegawai negeri pada umumnya. Bertahun-tahun budaya kerja karyawan di sana kurang profesional. Sistem penilaian karyawan belum menganut key performance indicators (KPI), tetapi masih subjektif dan kental aroma senioritas. Akibatnya, perlakuan terhadap karyawan yang berprestasi ataupun yang tidak dipukul rata: tiap tiga tahun naik pangkat dan otomatis gaji pun meningkat.

Tidak mau berlama-lama dengan kondisi yang stagnan, manajemen sepakat melakukan perubahan. Restrukturisasi dimulai saat ada perubahan jajaran manajemen. Awalnya, Dirut HK pada 2004 adalah Sudarsono. Kemudian, pada 2007 Subagyono menggantikan Sudarsono sebagai dirut hingga sekarang. Mayoritas direksi merupakan orang lama, kecuali Direktur Keuangan, Suparman, yang berasal dari PT Pembangunan Perumahan dan bergabung tahun 2007.

Ya, langkah restrukturisasi dijalankan sejak tiga tahun lalu. Setelah melakukan benchmark ke perusahaan sejenis, Subagyono dkk. memutuskan berubah dalam segala aspek. Salah satu targetnya adalah menjadi empat besar BUMN konstruksi papan atas di Indonesia. Untuk mencapai ambisi itu, mula-mula yang mesti dibenahi adalah penyelarasan organisasi.

Menurut Eko, pada 4-5 tahun lalu organisasi HK lebih “berat” di kantor pusat. Akibatnya, lebih besar kepala ketimbang kaki-kakinya. Jadi, jabatan bertumpuk: ada biro, wakil, kepala bagian, dan sebagainya. Wilayah kekuasaan juga terlalu gemuk yang mencapai sembilan wilayah. Dampaknya, perusahaan menjadi tidak efisien dan tidak efektif.

Nah, dengan restrukturisasi, organisasi dipangkas, dari sembilan wilayah berubah menjadi lima wilayah plus dua divisi. Sebelumnya, tidak ada divisi, pembagian organisasi hanya berdasarkan wilayah. “Dulu organisasi terlalu besar, birokrasi jadi terhambat, harus lewat beberapa tingkatan,” ujar Eko. Dengan restrukturisasi, lahirlah Divisi Gedung dan Divisi Jalan-Jembatan. Bandingkan dengan dulu. Karena pembagian berdasarkan wilayah saja, wilayah menangani semuanya: gedung, jalan, jembatan, pengairan, dan sebagainya. Padahal, bidang-bidang itu berbeda dan membutuhkan kompetensi khusus. Selain itu, sistem wilayah membuat karyawan tidak terasah kompetensinya atas satu keahlian tertentu. Suatu hari si A menangani proyek gedung, bulan depan dia bisa menangani jembatan, pengairan, dll. Padahal, proyek-proyek tersebut membutuhkan kompetensi berbeda dan keahlian khusus.

Jadi, perombakan organisasi ini membuat HK bergerak berdasarkan spesialisasi bisnisnya. Bisnis dikelola lebih fokus lantaran tulang punggung bisnis berada di dua divisi tersebut. Divisi Gedung dan Divisi Jalan-Jembatan dipisahkan berdasarkan size bisnis yang besar-besar. Contoh, apabila ada proyek pembangunan gedung skala besar di Medan, akan ditangani Divisi Gedung Kantor Pusat Jakarta. Begitu juga proyek jalan-jembatan, misalnya ada proyek Jembatan Soekarno, akan ditangani Divisi Jalan-Jembatan.

Namun, karena berdasarkan sejarah HK, pendapatannya tersebar di wilayah-wilayah juga, bisnis berdasarkan wilayah tidak dihilangkan. Ada lima wilayah yang masih dihidupkan. Wilayah I mencakup Sumatera. Wilayah II terdiri dari Banten dan DKI Jakarta. Wilayah III, seluruh Kalimantan dan Jawa Tengah-DIY. Wilayah IV meliputi Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT. Adapun Wilayah V mencakup Sulawesi, Maluku Utara, Maluku Selatan dan Papua. Nah, wilayah-wilayah ini menangani proyek yang skalanya lebih kecil senilai Rp 75 miliar ke bawah. Bandingkan dengan sebelumnya, proyek pembangunan gedung 10 lantai ditangani wilayah di mana gedung itu dibangun.

Setelah pembenahan organisasi, giliran merombak sistem SDM. Kinerja karyawan dinilai berbasis kompetensi. “Sebenarnya dulu kami sudah menggunakan merit system, tapi senioritasnya lebih ditonjolkan,” kata Eko. Akhirnya, pada 2004-05, manajemen melakukan assessment terutama pada level manajer ke atas. Sekarang, assessment dilakukan hingga level staf. Salah satu tujuannya adalah melihat gap kompetensi yang dulu diabaikan.

Berdasarkan assessment itu, ditemukan banyak SDM yang pangkatnya di bawah, tetapi memiliki kompetensi layak menduduki jabatan tertentu. Diakui Eko, memang ada kendala “rasa” bagi mereka yang terbiasa dengan senioritas. Pasalnya, efek assessment kompetensi ini membuat karyawan berusia muda dan berprestasi dapat naik pangkat lebih cepat. Tak pelak, banyak karyawan yang melontarkan pertanyaan, “Mengapa saya yang masuk HK duluan, kok orang baru justru lebih cepat naik pangkat.”

Eko mengaku, perombakan SDM tidak menimbulkan gejolak besar. Bagaimana caranya? Pertama, sebelum assessment, manajemen menyampaikan informasi tentang konsekuensi penilaian itu. “Kepada para karyawan senior, kami sampaikan dengan detail bahwa Anda kurangnya di sini-sini, sehingga mereka sadar dengan sendirinya,” ujar Eko seraya menambahkan, sekarang jumlah karyawan HK 800 orang.

Cara kedua, memperbaiki sistem SDM secara bertahap. Umpamanya, dari 20 karyawan dipilih 10 orang yang prestasinya bagus untuk dinaikkan jabatan tidak serentak. Juga, dicari posisi mana yang mendesak diganti. Katakanlah kini mencari kandidat general manager, maka minimal ada tiga orang calon untuk dipilih yang terbaik.

Untuk merestrukturisasi SDM, Donny Oktavian Syah mengingatkan agar HK menyempurnakan sistem KPI dengan mempertajam target-targetnya. “Sebab, efek yang ditimbulkan dari penerapan competency-based system ini perlu lari maraton yang panjang, bukan balapan lari sprint 100 atau 200 meter,” ujar pengamat manajemen dari Great Management Consultant itu mewanti-wanti.

Selain perombakan organisasi dan sistem SDM, strategi bisnis juga dibenahi. HK menantang diri untuk masuk ke bisnis baru yang sebelumnya tidak disentuh. Maka, pada 2010 mulai didirikan sejumlah anak perusahaan yang telah direncanakan sejak 2007. “Saat itu, visi kami sudah berubah: bukan lagi perusahaan jasa konstruksi, melainkan pemain industri konstruksi,” kata Eko. Maksudnya, selain jasa konstruksi, juga masuk ke industri konstruksi dari hulu ke hilir. Apalagi, bisnis yang digeluti sebelumnya sangat konvensional: berbasis kontrak, menang tender lalu dieksekusi.

Perusahaan baru itu adalah HK Realtindo yang membidangi properti. Lalu, HK Aston yang mengurusi bisnis aspal dan mixing plant. Kemudian, HK Pole yang khusus mengurusi pembuatan tiang listrik dan pengerjaan baja yang lain. Ketiga perusahaan baru ini di bawah PT berlainan karena didorong untuk mencari pendapatan sendiri, sehingga menjadi profit center, bukan sekadar mendukung proyek induk bisnisnya. Alasan kedua mengapa tiga perusahaan ini dipisahkan: ketiganya butuh kompetensi yang berlainan. Sejauh ini kontribusi ketiga anak perusahaan itu merata. “Tahun 2011 ketiganya ditargetkan menyumbang sekitar 30% dari total omset HK,” Eko menuturkan lagi.

Selama proses restrukturisasi, tidak ada perlawanan signifikan dari karyawan. Mengapa? Pertama, manajemen sudah melakukan pendekatan lebih dulu ke karyawan. Misalnya, melalui komunikasi saat rapat paripurna setiap awal tahun. Rapat itu dihadiri seluruh wilayah, kepala wilayah, bahkan kepala proyek besar. Biasanya perubahan dilakukan pada setiap awal tahun agar lebih mudah penyampaiannya. Kedua, sebagian besar integritas SDM HK cukup tinggi. Ini diperkuat oleh hasil penilaian integritas SDM HK yang dilakukan pihak luar yang independen. Ketiga, tidak ada PHK karena semua berjalan alami melalui pensiun dan rotasi bidang pekerjaan.

Mulusnya langkah restrukturisasi ini berbuah manis. Setidaknya ini tergambar dari peningkatan kinerja keuangan. Tahun 2009 labanya mencapai Rp 103 miliar, padahal tahun 2008 cuma Rp 50-an miliar. “Hasil itu menyadarkan kami, ternyata kami bisa, dan prestasi ini dapat di-drive lebih tinggi lagi,” ungkap Eko. Meski belum diaudit, dia optimistis pendapatan tahun 2010 mencapai Rp 2,7 triliun dengan laba Rp 109 miliar. Tahun 2011, ditargetkan pendapatan naik menjadi Rp 4,5 triliun dan laba Rp 153 miliar.

Perubahan itu juga membawa aura positif bagi mental kerja karyawan. Contoh, dulu untuk mendapatkan proyek, karyawan hanya mengandalkan menang tender. Kini, mereka dituntut menciptakan proyek dengan beberapa skema baru. Katakanlah bila ada pihak yang memiliki lahan dan ingin membangun hotel, tetapi terbatas dananya, HK dapat masuk ke proyek itu dengan menggandeng perbankan atau mencarikan investornya. “Kami coba menghubungkan, lalu menyiapkan proyeknya dan HK mengerjakan hotel tersebut,” katanya. Setidaknya ada 10 proyek yang sukses dengan skema ini, seperti Apartemen Senopati Suite, Bakrie Tower, Apartemen Panghegar di Bandung, dan Amanusa.

Guna memperkuat bisnis dengan skema baru, mulai 2011 manajemen juga membentuk tim khusus. “Kami melakukan penugasan adhoc untuk menggarap ini, mulai dari peluang bisnis baru hingga marketing-nya,” Eko menuturkan. Diakuinya, bisnis anyar tersebut berisiko lebih tinggi dibandingkan sekadar mengandalkan menang tender. Yaitu, mulai dari telatnya pembayaran hingga masalah lain terkait konflik proyek karena kehabisan dana. Itulah sebabnya, HK melakukan mitigasi risiko agar bisa diperhitungkan semuanya ke depan.

Riri Satria menilai restrukturisasi HK ada plus-minusnya. “HK telah melakukan perubahan fundamental melalui restrukturisasi. Namun, jika dilihat dari persaingan bisnis, sesungguhnya bisnis HK sekarang bergeser ke arah red ocean sehingga harus istimewa jika tidak ingin dilibas. Sebab, kompetitornya telah melakukan restrukturisasi lebih dulu, seperti Wijaya Karya dan Adhi Karya,” papar pengamat manajemen yang juga dosen di Magister Teknologi Informasi Universitas Indonesia dan Magister Manajemen PPM itu.

Riri juga memotret restrukturisasi HK ke dalam teori 7S McKinsey. Pertama, share value. HK melakukan perubahan share value yang sangat fundamental. Dari budaya pegawai negeri ke budaya kompetisi. Ada pergeseran share value yang sangat fundamental. Betul, banyak organisasi melakukan restrukturisasi, tetapi tidak menjamah share value, sehingga hanya menyentuh kulitnya. Sementara itu, restrukturisasi HK berhasil hingga ke nilai-nilainya.

Kedua, strategi, yang menurut Riri berubah sangat besar dalam mengelola bisnis. “Mereka lebih kompetitif,” imbuhnya. Komponen ketiga, struktur: mengubah struktur dari organisasi yang gemuk menjadi lebih ramping. Komponen S berikutnya adalah sistem, yang menurut Riri sudah dilakukan di setiap sistem dalam perusahaan seperti SDM dan kinerja. Lalu, style: direksi banyak turun ke bawah. Komponen ketujuh: skill. Dengan mengadopsi manajemen SDM berbasis kompetensi, mereka sudah mengidentifikasi skill-skill yang kredibel untuk bisa sukses di bisnis konstruksi ini.

Selain itu, Riri melihat ada upaya manajemen untuk membawa organisasi BUMN ini ke jalan yang lebih baik nantinya. Jika itu dikomunikasikan dengan baik pula ke karyawan, dia yakin bakal menumbuhkan semangat baru: bahwa HK akan tampil dengan wajah baru di masa depan. Konsekuensinya, perubahan besar-besaran yang mencakup seluruh aspek S organisasi atau perubahan transformasional itu membutuhkan figur pemimpin yang tegas dan kuat. Contoh sukses perubahan ini adalah Bank Mandiri, yang awalnya dikawal Robby Djohan.

Perubahan transformasional HK akan terlihat nyata hasilnya untuk jangka panjang. Untuk itu, kuncinya adalah menjaga spirit perubahan tetap berkobar. Caranya, lanjut Riri, pertama, melalui efek psikologis dari quick win (kemenangan jangka pendek) agar karyawan merasakan langsung perubahan positif yang dilakukan manajemen. Kedua, menjaga agar karyawan kelas satu tidak hengkang. Maklum, jika migrasi besar-besaran dilakukan best talent, akan berbahaya. Ketiga, memberikan reward dan punishment secara konsisten. Keempat, perubahan HK harus didukung oleh pemerintah sebagai pemegang saham.

Untuk 10 tahun mendatang, tujuan HK adalah go public. Menurut Eko, ini dilakukan karena modal perusahaannya terbatas. Hingga akhir 2010 total modalnya hanya Rp 400 miliar. Jika ingin mengejar omset penjualan 10 kali saja, dibutuhkan dana Rp 4 triliun. Padahal, kompetitornya yang sudah melantai di bursa modalnya Rp 1,5 triliun dan jika dikalikan 10 akan mencapai Rp 15 triliun. Itulah yang ingin dicapai: berjalan tegak sejajar dengan BUMN konstruksi lain yang sudah mapan. “Saya pikir kunci sustainability dan konsistensi restrukturisasi adalah keyakinan kami pada jajaran BOD yang berusaha membawa HK ke arah lebih baik,” Budi Rachmat menimpali dengan tandas. (*)

Eva Martha Rahayu dan Herning Banirestu; Riset: Evi Maulidyyah Amanayati

INFOGRAFIS:

Langkah-langkah Restrukturisasi HK

Untuk menjadi pemain konstruksi terkemuka, inilah lompatan emas yang dilakukan Hutama Karya:

Visi

Menjadi pemain industri konstruksi dari hulu ke hilir.

Berdiri sejajar dengan BUMN konstruksi lain.

Organisasi

Merampingkan wilayah, dari sembilan menjadi lima plus dua divisi.

Fokus pada bisnis inti yang menjadi tulang punggung: gedung dan jalan-jembatan.

SDM

Mengubah penilaian karyawan, tidak lagi berdasarkan senioritas, tetapi berbasis kompetensi.

Assessment tidak lagi di level manajer ke atas, tetapi hingga ke level staf.

Strategi Bisnis

Berubah dari product oriented menjadi customer focus.

Mendirikan tiga anak usaha untuk mendukung laju bisnis, yang bergerak di properti, aspal dan mixing plant, serta pembuatan tiang listrik dan pengerjaan baja.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved