Management Strategy

Mahendra Siregar: Kegelisahan Investor Tidak Tergambar

Oleh Admin
Mahendra Siregar: Kegelisahan Investor Tidak Tergambar

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis data realisasi investasi di tahun 2013. Sekalipun perekonomian Indonesia cenderung menurun hingga akhir tahun lalu, investor ternyata masih cukup antusias dalam menanamkan modalnya di Tanah Air. Bahkan, investor Jepang disebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling menarik bagi mereka untuk berinvestasi.

“Kalau melihat angka yang kami laporkan tadi (Selasa pagi) maka nampaknya apa yang disebut dalam judul pembicaraan kita siang ini, kegelisahan investor, tidak tergambar. Karena dalam realisasi investasi yang tercatat di BKPM untuk satu tahunnya adalah Rp 398,6 triliun, meningkat sebesar 27,3 persen dibandingkan 2012,” ujar Mahendra Siregar, Kepala BKPM, di acara Indonesia Investor Forum 3 yang bertajuk “Pemerintahan, Investor, dan Masyarakat Demi Kesejahteraan Bersama, Solusi Atas Kegelisahan Investor dan Masyarakat Menyongsong Tahun Politik 2014.”

mahendra siregar

Realisasi investasi di tahun 2013

Di lain pihak, yang lebih penting adalah kalau dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di mana jumlah investasi perluasan dengan investasi baru biasanya 50-50, di tahun 2013 ini, nilai investasi baru justru mencapai 63 persen dari total investasi.

Selain itu, nilai investasi dari penanam modal dalam negeri mencapai lebih dari 30 persen dari investasi keseluruhan. Kalau di waktu sebelumnya, biasanya investasi dari dalam negeri berada di kisaran 25-27 persen, maka tahun 2013 mencapai 32 persen. Jadi, ini mencerminkan angka-angka yang sebenarnya memberikan konfirmasi bahwa investasi langsung, baik internasional maupun dalam negeri, baik dalam bentuk perluasan maupun investasi baru, itu tetap bullish (bagus dan bertumbuh) terhadap kondisi Indonesia.

Ketertarikan investor Jepang terhadap Indonesia

Bicara mengenai persepsi yang dikuantifikasi, saya ingin mengacu atau mengutip pada survei yang diterbitkan suatu lembaga keuangan Jepang yang bernama JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Menurut survei JBIC yang terakhir pada tahun lalu, untuk pertama kalinya sejak survei JBIC itu dilakukan lebih dari 20 tahun, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara yang paling menarik bagi investor Jepang di seluruh dunia, menggantikan Republik Rakyat China yang selama 14 tahun sebelumnya selalu nomor satu dan sekarang turun ke nomor empat. Sedangkan, nomor dua dan tiga adalah India dan Thailand.

Yang disebut menarik untuk Indonesia adalah karena, pertama, pasar dalam negeri besar. Kedua, faktor lebih penting lagi adalah prospek pasar dalam negeri ke depan lebih besar lagi. Ketiga adalah karena sudah banyak industri pendukung yang ada di Indonesia yang mulai bisa memberikan suatu keuntungan untuk aglomerasi dan struktur industri yang terintegrasi. Keempat adalah relatif tenaga kerja Indonesia kompetitif.

Tetapi, di lain pihak, ada resiko ataupun concern yang menjadi perhatian para investor Jepang tadi itu, antara lain, kondisi infrastruktur, tenaga kerja yang secara menyeluruh upahnya mulai meningkat, dan kepastian hukum. Sebenarnya, tidak ada yang baru terkait hal itu. Tapi, yang saya mau sampaikan bahwa pasar atau permintaan adalah daya tarik yang utama. Dan yang jadi tantangan bagi kita adalah bagaimana daya tarik tadi jangan kita abaikan, tapi justru kita kapitalisasi untuk mendorong investasi yang lain. Dengan angka yang disebutkan tadi di 2013, sebenarnya kita sudah bisa melakukan hal tadi, tinggal akselerasinya. Akselerasi ini menjadi sangat penting untuk ditunjang oleh faktor yang cukup atau paling menguntungkan antara lain, ada keberadaan infrastruktur. Untuk keberadaan infrastruktur ini, kami rasa sudah banyak kebijakan yang dilakukan baik oleh pemerintah, pemda, maupun oleh kalangan investor sendiri.

Ciptakan kondisi kondusif agar investasi di infrastruktur meningkat

Kebetulan, pada hari Sabtu lalu, kami berkesempatan mendampingi Gubernur Kalimantan Timur untuk mengunjungi Kalimantan Utara, provinsi muda kita. Yang tidak dibayangkan oleh kami sebelumnya, mungkin juga oleh sebagian dari kita, yaitu meresmikan groundbreaking pembangkit listrik tenaga air tahap pertama sebesar 600 MW, dari seluruh lima tahap dengan total 6.000 MW. Tidak terbayang ada 6.000 MW yang mau diinvestasikan di perbatasan Indonesia-Malaysia.

Sehari sebelumnya, kami meninjau infrastruktur lain yang sedang dalam proses finalisasi di pinggir Kota Surabaya, yaitu Pelabuhan Teluk Lamong, yang dimiliki oleh salah satu pelabuhan BUMN kita, yang pada saat dia beroperasi penuh akan menampung setidaknya 4,5 juta TEUs. Yang tahap pertama akan diresmikan rencananya April atau Mei ini untuk 1,25 juta TEUs.

Jadi, ini sebenarnya angka-angka yang mulai merespons. Dan bahkan, secara proaktif mengantisipasi, seperti yang di Kalimantan Utara itu, apa yang merupakan kebutuhan sekarang dan sepuluh tahun ke depan. Ini yang saya rasa lebih merupakan tantangan bagi kita semua untuk memunculkan kondisi yang lebih kondusif lagi supaya infrastruktur investasinya baik, yang dilakukan di tingkat bisnis. Kalau yang di Teluk Lamong jelas sepenuhnya oleh pihak Pelindo III. Demikian juga yang di PLTA Sungai Kayan di Kalimantan Utara itu sepenuhnya adalah b-to-b (business to business). Tapi, banyak juga infrastruktur yang dilakukan melalui kemitraan publik dan swasta, atau pemerintah dan swasta, dan juga banyak infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah. Sebenarnya lebih kepada bagaimana kita mempercepat respons dan antisipasi dari segi infrastruktur saja. Tapi, kalau momentumnya, saya rasa kami sudah mendapatkan itu.

Untuk tahun ini sendiri, kami tadi ditanya oleh media, berapa perkiraan pertumbuhan investasi langsung, kami sampaikan itu realistis saja yakni setidaknya kalau 15 persen pasti bisa didapat. Dan, bahkan agak optimis untuk upside possibility-nya. Tapi, lebih baik kami tunggu sampai kuartal pertama ini berjalan, kalau ada peningkatan lebih lanjut.

Tetapi, sekalipun itu sudah menjadi momentum sendiri, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah dan didukung oleh berbagai pihak lain, termasuk oleh undang-undang, itu pun memberikan momentum tersendiri. Saya sebutkan saja, untuk penutup, dua industri yang banyak disebut belakangan ini, pertama adalah industri pengolahan barang tambang untuk pemrosesan atau pemurnian yang merupakan implikasi dari diberlakukannya UU Minerba. Pada saat ini, di BKPM, sudah diterbitkan izin untuk investasi bagi 30 perusahaan smelter yang tiga diantaranya akan beroperasi di tahun ini. Sisanya diharapkan dalam dua-tiga tahun ke depan, dengan total investasi keseluruhan Rp 150 triliun. Itu adalah akibat satu kebijakan tadi itu.

Kedua adalah adanya suatu antusiasme baru dalam meningkatkan pemrosesan bahan bakar nabati yang diharapkan bisa memperkuat daya tahan energi maupun juga mengurangi ketergantungan impor BBM ataupun minyak mentah. Dalam catatan BKPM, malah setidaknya sudah hampir 50 perusahaan yang diberikan izin untuk melakukan investasi di biodiesel ataupun di bio berbasis sawit lainnya, apakah pure palm oil ataupun CPO itu sendiri yang dipakai PLN. Karena perkembangan terakhir, PLN bekerja sama dengan BPPT sudah bisa menggunakan mesin yang sepenuhnya atau 100 persen berbasis CPO, tanpa ada campuran. Dan untuk yang hampir 50 perusahaan itu di pipeline sudah diberikan izin untuk investasi Rp 40 triliun. Jadi, ini sebenarnya persoalan bagaimana kita mempercepat proses pembangunan infrastruktur, bagaimana kita menerapkan kebijakan dan implementasinya dengan konsisten, dan bagaimana kita terus memperbaiki iklim investasi seperti yang dilakukan di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dengan konsisten sehingga investasi bisa masuk langsung, bahkan untuk ukuran yang begitu luar biasa. Dan tentu saja, pemerintah pusat dalam hal ini akan memfasilitasi secepat mungkin. Kalau ini bisa dijaga, saya merasa bahwa momentum tahun pemilihan umum, pemilihan presiden, lebih dianggap sebagai faktor positif menjadi katalisator lagi dari suatu momentum yang sebenarnya sudah terbangun baik. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved