Management Strategy

MEA Diberlakukan, GAPKI Sudah Terbiasa Hadapi Asing

MEA Diberlakukan, GAPKI Sudah Terbiasa Hadapi Asing

Tahun 2016 Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diberlakukan. Nah, bagaimana kesiapan anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)? Menurut Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI, sebagai eksportir sawit, jelas anggota GAPKI yang mencapai sekitar 650 perusahaan, sudah terbiasa bersaing di tingkat global. Jadi, soal MEA sudah diberlakukan atau belum, tidak ada pengaruhnya bagi GAPKI.

“Yang harus ditekankan terkait MEA ini adalah pemerintah harus memproteksi pelaku usaha sawit. Pemerintah jangan mempermudah masuknya asing di industri sawit nasional,” ujar Joko menegaskan saat ditemui di sela acara diskusi dengan media “Refleksi Industri Kelapa Sawit 2015 dan Prospek 2016”. Sebab, hingga saat ini industri sawit sudah terbukti paling efisien dan produktif, karena berperan penting dalam menggerakkan ekonomi nasional.

joko gapki

(tengah batik hijau) Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI (ANT)

Dalam kesempatan yang sama, dijelaskan GAPKI memprediksi harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) global pada 2016 akan mencapai US$600/metrik ton pada kuartal pertama. Akan tetapi, dalam perkembangannya bisa saja turun. Pasalnya harga minyak mentah dunia jatuh menyentuh level US$30 per barrel. Ini akan berdampak politis, industri dan perusahaan.

Untuk itu, pemerintah sudah sepatutnya untuk meninjau kembali orientasi kebijakan ekonomi makro, apakah subsidi biodiesel masih relevan atau justru sebaliknya meningkatkan ekspor minyak sawit untuk meningkatkan devisa sehingga memperkuat posisi Indonesia di kancah global.

Menurut Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, ada empat tntangan utama GAPKI di tahun 2016 yang perlu segera diselesaikan. Pertama, mendorong Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk segera merealisasikan program kerja khususnya membantu replanting kebun rakyat dan pembiayaan riset.

Kedua, GAPKI mendukung pemerintah membentuk badan restorasi gambut. Badan yang dibentuk ini harus fokus melakukan rehabilitasi gambut yang rusak terutama di kawasan hutan dan open access. Sementara kepada perusahaan diberikan kewenangan untuk mengelola gambut lebih baik. GAPKI juga mendorong Badan Restorasi Gambut bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk sektor usaha pemegang konsesi.

Ketiga, inisiatif DPR untuk membuat Undang-Undang Perkelapawitan menjadi concern industri untuk mengadakan komunikasi dengan kementerian dan DPR supaya menghasilkan undang-undang yang menciptakan iklim industri yang baik bagi petani maupun pengusaha.

Keempat, meningkatkan kerja sama dengan negara-negara pengimpor minyak sawit seperti India, China, Pakistan dan negara-negara Eropa.

Refleksi tahun 2015

Tahun 2015 merupakan tahun yang dilewati industri sawit dengan penuh tantangan, mulai dari harga CPO global yang tidak bergairah sampai pada kasus kebakaran lahan perkebunan kelapa sawit. Harga rata-rata bulan CPO global sepanjang tahun 2015 tidak mampu mencapai US$ 700 per metrik ton. Sehingga sepanjang tahun secara otomatis ekspor CPO dan turunannya tidak dikenakan Bea Keluar karena harga rata-rata CPO di bawah US$ 750 per metrik ton yang merupakan batas minimum pengenaan Bea Keluar. Harga rata-rata CPO tahun 2015 hanya berada di angka US$ 614,2 per metrik ton. Harga rata-rata ini turun sebesar 25% dibandingkan dengan harga rata-rata tahun 2014 yaitu US$ 818.2 per metrik ton.

“Jatuhnya harga CPO global tidak terlepas dari pengaruh jatuhnya harga minyak mentah dunia yang sempat jatuh sampai US$ 30 per barrel, yang kemudian mempengaruhi harga-harga komoditas lainnya. Pertumbuhan ekonomi China yang melambat dan stagnasi di Eropa juga menjadi faktor penyebab penurunan harga CPO global,” jelas Fadhil.

Sementara itu, berdasarkan data yang diolah GAPKI, total ekspor CPO dan turunannya asal Indonesia pada tahun 2015 mencapai 26,40 juta ton atau naik 21% dibandingkan dengan total ekspor 2014, 21,76 juta ton. Adapun produksi CPO dan turunannya 2015 diprediksi mencapai 32,5 juta ton (termasuk biodiesel dan oleochemical). Angka produksi ini naik 3% dibandingkan total produksi tahun 2014 yang hanya mencapai 31,5 juta ton.

Nilai ekspor minyak sawit sepanjang 2015 mencapai 18,64 milyar dollar AS. Meskipun volume ekspor naik, nilai ekspor mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun lalu karena rendahnya harga minyak sawit global. Nilai ekspor tahun 2015 tercatat turun sebesar 11,67% dibandingkan 2014 yang mencapai US$ 21,1 miliar.

India, Negara Uni Eropa dan China masih merupakan pengimpor terbesar minyak sawit dari Indonesia.Sepanjang tahun 2015, volume ekspor minyak sawit Indonesia ke India menjadi 5,8 juta ton atau naik 15% dibandingkan tahun lalu yaitu 5,1 juta ton. Sementara ekspor ke negara-negara Uni Eropa mencapai 4,23 juta ton, dan ini menunjukkan kenaikan sekitar 2,6% dibandingkan dengan volume ekspor tahun lalu. China secara mengejutkan mencatatkan kenaikan permintaan minyak sawit sepanjang tahun 2015 sebesar 64% atau dari 2,43 juta ton tahun 2014 meningkat menjadi 3,99 juta ton pada 2015.

Peningkatan permintaan minyak sawit yang cukup signifikan sepanjang tahun 2015 dibukukan oleh Amerika Serikat sebesar 59% atau mencapai 758,55 ribu ton dibandingkan tahun lalu hanya 477,23 ribu ton. Hal ini diikuti oleh Pakistan yang membukukan kenaikan 32% atau dari 1,66 juta ton di 2014 meningkat menjadi 2,19 juta ton di 2015.

Bertolak belakang dengan hal di atas volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar baru di negara Timur Tengah tahun 2015 mengalami penyusutan. Menurut data yang diolah GAPKI volume ekspor minyak sawit Indonesia ke Negara Timur Tengah pada tahun 2015 melorot 8% dibandingkan tahun lalu atau dari 2,29 juta ton di 2014 turun menjadi 2,11 juta ton di 2015. Salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan permintaan negara Timur Tengah adalah karena jatuhnya harga minyak dunia yang secara otomatis mengganggu finansial negara-negara penghasil minyak sehingga daya beli ikut melemah.

Meskipun ekonomi negara-negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mengalami perlambatan akan tetapip ermintaan akan minyak sawit tetap tumbuh, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan minyak nabati selalu meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan populasi dan semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia untuk menggunakan energi hijau dengan menggunakan bahan bakar nabati. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved