Management Strategy

Menkeu: Daya Tahan Ekonomi Indonesia Kuat Hadapi Krisis

Dari kiri: Dirut BEI Tito Sulistio, Menteri Keuangan RI Bambang Brodjonegoro, Ketua RMP, Maruarar Sirait. Dirut Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin, dan Ketum HIPMI Bahlil Lahadalia.

Dari kiri: Dirut BEI Tito Sulistio, Menteri Keuangan RI Bambang Brodjonegoro, Ketua RMP, Maruarar Sirait. Dirut Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin, dan Ketum HIPMI Bahlil Lahadalia.

Dalam menanggapi kondisi ekonomi global yang lemah dan berakibat pada depresiasi rupiah. Menteri Keuangan RI Bambang Brodjonegoro memastikan bahwa Indonesia memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi krisis saat ini. Menurutnya, dalam melihat ekonomi makro, secara umum terdapat suatu siklus yang naik dan turun. Banyak pengusaha di Indonesia yang tidak antisipasi terjadi kemerosotan harga saat harga komoditas sedang naik.

“Seperti harga batu bara sedang naik, banyak pengusaha yang beralih ke batu bara. Nah, saat harga turun banyak yang terlambat mengantisipasi kondisi tersebut,” ungkap Bambang saat diskusi daya tahan ekonomi Indonesia yang diselenggarakan oleh Relawan Merah Putih (RMP) di Jakarta (7/9/2015).

Menanggapi soal komoditas, Ketua Umum HIPMI Bahlil Lahadalia menjelaskan dari zaman VOC hingga era saat ini, komoditas masih menjadi andalan di negeri ini. Ia berpendapat jika barang baku tersebut (komoditas) bisa diolah dalam negeri, akan menyerap hilirisasi dengan baik. Tenaga kerja terserap, daya saing global meningkat dan daya tahan ekonomi dapat lebih kebal.

Sementara itu, Dirut BEI, Tito Sulistio, menjelaskan dibanding krisis tahun 1998 dan 2008 krisis saat ini jauh berbeda. Tito menjelaskan saat krisis 1998 melanda Indonesia, 70% perusahaan yang terdaftar di BEI mengalami kerugian. Sebaliknya, meski kondisi ekonomi global sedang melemah, namun 80% perusahaan yang ada di BEI mengalami kenaikan. Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa ketahanan ekonomi Indonesia tidak bermasalah. Yang bermasalah adalah tidak adanya strategi pembangunan nasional yang jelas dan mengakibatkan kebingungan.

“Apalagi sejak dihapusnya GBHN yang sebenarnya menjadi acuan strategi ekonomi dan pertahanan. Sejak GBHN dihapus, kita jadi bingung arah dan tujuan negara ini mau ke mana?” jelas Tito.

Senada dengan Tito, Dirut Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan secara fundamental dan teknis, Indonesia lebih punya daya tahan yang kuat. Dibanding dengan krisis 1998 dan 2008 yang kondisinya lebih parah. Ia lalu memberi contoh dengan likuiditas, inflasi dan situasi saat ini yang lebih bagus. Tahun 1998 indeks di Bursa turun drastis sampai 60%, sedangkan saat ini turun hanya 20-25%. Bunga bank tahun 1998 naik sampai 60%. Tahun 2008, government year sampai 21%, saat ini 10 year bond yield nya di bawah 9%.

“Jadi, masalahnya bukan pada fundamental tapi pada faktor psikologis dan emosional yang terlalu berlebihan menanggapinya. Kalo 1998 dan 2008 saja kita bisa selamat, loginya sekarang pasti bisa doong,” ujar Budi optimis. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved