Management Strategy

Meredam Ratifikasi FCTC untuk Lindungi Petani Tembakau

Meredam Ratifikasi FCTC untuk Lindungi Petani Tembakau

Di pengujung tahun 2013, produksi tembakau Indonesia diprediksi hanya 120 ribu ton, padahal tahun lalu mencapai 200 ribu ton. Penurunan tersebut disebabkan adanya musim kemarau basah yang melanda di sebagian besar wilayah di Indonesia. Faktanya, kebutuhan tembakau nasional mencapai 300 ribu ton/tahun.

Saat ini pemerintah berencana meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang akan berdampak terhadap petani tembakau dan mengancam industri rokok kretek. Namun, kehadiran produk hukum hasil ratifikasi belum tentu efektif menekan jumlah perokok. Pasalnya, aturan-aturan yang sudah berlaku sebelumnya saja belum dipatuhi. Contoh, PP No. 109 Tahun 2012, kemudian produk turunannya Permenkes No. 28 Tahun 2013 dan No 40 Tahun 2013.

Enny Ratnaningtyas, Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementrian Perindustrian (Kemenperin), berpendapat sebaiknya pemerintah berpikir ulang, sebelum berambisi meratifikasi FCTC. Sebab, meneken FCTC hanya menghitung dampak buruk terhadap kesehatan perokok, tapi melupakan sisi kesejahteraan masyarakat terutama petani.

“Rasio ketergantungan (defendency ratio) BPS, terdapat 3 orang yang menggantungkan diri dari 1 petani. Jadi harus dipikirkan lebih dalam soal pengaruh ekonomi sosial,” kata Enny dalam diskusi Urgensi Ratifikasi Pengendalian Produk Tembakau/Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Menurut Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, industri rokok dipaksa menyesuaikan diri untuk memenuhi seluruh kewajiban yang diatur dalam hukum internasional. Langkah bisnis industri rokok akan berat jika pemerintah aturan yang kental dengan kepentingan asing. “Pemerintah harus cerdik melihat siapa dan apa kepentingan di balik FCTC yang digagas oleh WHO. Aturan internasional sebenarnya dapat dilihat sebagai bentuk kolonialisme baru,” ujarnya.

Poempida Hidayatullah, anggota Komisi XI, menyayangkan langkah pemerintah ngotot, tanpa mempertimbangkan kontribusi besar industri rokok terhadap penerimaan negara.

“Pemerintah harus bersikap cerdas dalam hal ini. Jangan terkesan tergesa-gesa, justru hal itu menimbulkan dugaan kuat adanya intervensi asing,” tegas Poempida.

Secara keseluruhan pekerja di sektor industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 4,1 juta. Dari jumlah itu sebanyak 93,77% diserap kegiatan usaha pengolahan tembakau, seperti pabrik rokok. Sedangkan, penyerapan di sektor pertanian tembakau menyerap sekitar 6,23%. Di sisi lain sebagai gambaran pendapatan cukai tahun ini ditargetkan sekitar Rp 104,7 triliun (lebih tinggi 10,2%) dari realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 90,6 triliun. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved