Management Strategy

Minim Penghargaan, Peneliti Ogah Pulang ke Indonesia

Minim Penghargaan, Peneliti Ogah Pulang ke Indonesia

Pemerintah Indonesia tak kurang mengirimkan lebih dari 1.000 orang untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 dan S3 keluar negeri setiap tahun. Namun, sumbangsih yang diberikan setelah lulus masih sangat minim. Mahasisa yang cemerlang bahkan lebih memilih meneruskan pendidikan sebagai post-Doctoral atau menjadi peneliti/dosen di luar negeri. Irawan Satriotomo, Peneliti Senior Center for Translational Research in Neurodegenerative Disease, University of Florida USA prihatin melihat kondisi ini. “Dana pendidikan untuk mengirimkan pelajar Indonesia keluar negeri setiap tahunnya mencapai triliunan rupiah. Contoh, untuk tuition dan biaya hidup seorang pelajar di Amerika Serikat saja mencapai US$ 40-50 ribu per tahun,” katanya.

irawan

Irawan Satriotomo, Peneliti Senior Center for Translational Research in Neurodegenerative Disease, University of Florida USA

Salah satu penyebabnya, lanjut dia, adalah minimnya penghargaan kepada peneliti, pendidik, termasuk profesional di bidang medis. Inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah jika tidak ingin kehilangan orang-orang terbaik di bidangnya (brain drain). Rata-rata, mereka yang tidak puas atau merasa tidak dihargai memilih hijrah keluar negeri seperti Australia, Amerika Serikat, atau negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Bisa juga mereka pindah dari lembaga pemerintah ke lembaga swasta yang memberi kompensasi lebih baik untuk kehidupannya. Dari data Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4), ada banyak orang Indonesia yang punya reputasi di bidangnya masing-masing.

“Sebaiknya, mereka difasilitasi misalnya sebagai adjunct professor atau fellow di lembaga riset atau institusi pendidikan di Indonesia sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan di Tanah Air. Singapura sudah lama menerapkannya. Malaysia yang baru-baru ini menerapkan tampak sekali produktivitasnya meningkat beberapa tahun terakhir,” ujar dia yang sempat menerima tawaran research fellow di Neurosurgery Department, University of Wisconsin-Madison pada tahun 2004 ini.

Irawan yang menyelesaikan studi S1-S2 di Universitas Gadjah Mada, tak melupakan Tanah Airnya. Status sebagai peneliti senior di Amerika Serikat justru menambah kuat keinginannya untuk berbakti pada Indonesia. Ia tengah membantu Prof. Yohanes Surya untuk membangun laboratorium otak pertama (Indonesian Brain Research Center) dan sempat menggelar konferensi nasional neurosains pertama di Indonesia dengan mengundang Prof Jun Takahashi, pakar stem sel dan ahli bedah saraf dari University of Kyoto, Jepang. Acara ini diikuti oleh banyak klinisi bedah, saraf, ilmu saraf, psikiater, psikolog, serta ahli ilmu biomedik dari dalam maupun luar negeri.

“Sayang, proyek ini terhenti karena ketiadaan dana. Saya melihat Indonesia terlalu banyak menggelar penelitian tentang produk atau hal-hal yang bersifat aplikatif. Hal ini sangat berbahaya. Kelemahan kita pada penguasaan ilmu-ilmu dasar akan menimbulkan banyak klaim pengetahuan yang tidak berdasar,” kata lulusan PhD di bidang neurosains dari Kagawa Medical University tahun 2002 ini. (Tiffany Diahnisa)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved