Management Strategy

Nabil Award 2015 Tunjuk Jakob Sumardjo sebagai Pemenang

Nabil Award 2015 Tunjuk Jakob Sumardjo sebagai Pemenang

Sastra memiliki masa kejayaannya di tahun 60-an. Namun kini hanya jadi ‘penumpang gelap’ di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Mengapa? Didi Kwartanada, Sejarawan yang bekerja di Yayasan Nabil mengatakan, gadget semakin menggantikan sastra dan memberi kedangkalan.

Kebiasaan membaca semakin tergerus oleh teknologi. “Orang yang baca sastra dianggap tidak membumi padahal sastra dan masyarakat memiliki hubungan erat untuk membangun karakter bangsa,” ungkapnya.

Melihat adanya pergeseran tersebut, Yayasan Nabil yang didirikan oleh Eddie Lembong, ingin memberi apresiasi bagi sastrawan, budayawan, dan sejarawan yang memiliki dedikasi kepada negara melalui karya-karya tulisnya. Memasuki gelarannya yang ke-9, Nabil Awards 2015 memberi penganugerahan kepada Jakob Sumardjo, dimana ia memberi sumbangsih bagi nation building dan memberi pencerahan kepada masyarakat luas dengan sastra.

Setelah HB Yasin, kritikus yang patut dibanggakan adalah Jacob Sumardjo melalui buku-buku dan ratusan artikel serta tulisannya mengenai sastra. Ia kritikus yang cukup produktif.

Jakob Sumardjo, Sastrawan Penerima Penganugerahan Nabil Awards 2015

Jakob Sumardjo, Sastrawan Penerima Penganugerahan Nabil Awards 2015

Sebagai seorang ilmuwan publik yang rajin mengomunikasikan pemikirannya di media massa, ia juga mengamati perilaku manusia Indonesia. Sudah hampir 50 buku dan ratusan artikel yang ditulisnya. Banyak esai sastranya yang kaya akan data empiris dan kuantitatif. Sampai saat ini, buku Masyarakat dan Sastra Indonesia Populer (1979) serta Perkembangan Teater Modern dan Sastra Indonesia (1992) masih menjadi acuan di sekolah dan kampus.

Tulisan-tulisannya mengenai kesusasteraan Melayu Tionghoa sejak akhir 1970-an telah membantu diterimanya genre sastra ini ke dalam narasi besar sejarah sastra Indonesia modern. “Jika melihat dari segi silang budaya, sosoknya sebagai seorang jawa, malah dikenal luas hingga ke mancanegara sebagai pengkaji sastra Melayu Tionghoa dan Sastra Lisan Sunda,” katanya.

Ya, tidak banyak akademisi atau budayawan pelintas batas, yang melakukan aktivitas silang budaya di luara budayanya sendiri. “Karena itu ia unik,” tambahnya.

Kekurangfasihannya dalam Bahasa Sunda tidak menyurutkan minatnya untuk meneliti Sastra Lisan Sunda, khususnya pantun. Untuk menutupi kekurangannya, ia harus gigih berkonsultasi dengan Kamus Bahasa Sunda. Ia pun rajin mendatangi situs-situs kepurbakalaan Sunda. Usahanya membuahkan hasil, dua guru besar dari Jawa Barat, Ayatrohaedi dan Saini KM menjulukinya sebagai ‘juru tafsir’ Pantun Sunda.

Selain itu yang cukup menonjol dari pemenang Nabil Award ini adalah askestismenya selaku intelektual. Ia tidak mempersoalkan hasil uang dari menulis. Ia lebih bangga bukunya dibaca dan dijadikan referensi literature studi.

“Ketika saya menulis buku tentang budaya saya diberi sambutan, yaitu berupa penolakan, ujar sastrawan yang setia menulis dengan mesin tik Royal 200 yang dibelinya pada tahun 70-an. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved