Management Strategy

Pemberlakuan Asas Cabotage Dorong Bisnis Pengapalan Lokal

Pemberlakuan Asas Cabotage Dorong Bisnis Pengapalan Lokal

Pemberlakuan asas cabotage di tahun 2015 dinilai penting bagi pelaku industri maritim nasional. Penerbitan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menjadi payung hukum asas cabotage di laut. Asas cabotage mewajibkan komoditas domestik wajib diangkut oleh pelayaran nasional.

pengapalan

Hal ini termaktub di pasal 8 UU Pelayaran yang menyebutkan kegiatan angkutan laut domestik dilakukan oleh perusahaan pelayaran nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia, awaknya dari Indonesia, dan kepemilikan kapalnya setidaknya 51% dari Indonesia.

Nah, peraturan ini memberi keuntungan untuk pelayaran nasional. Dampak turunannya dari asas cabotage yakni memicu perkembangan industri pelayaran. Sebut saja, industri galangan kapal, usaha bongkar muat, bisnis keagenan, logistik, hingga suku cadang kapal.

“Dampak lain yang ditimbulkan dari cabotage adalah, industri lain yang berkaitan dengan pelayaran akan berkembang. Contohnya, galangan kapal, asuransi, bank, atau pelabuhan,. Jadi, itu semua bukan hanya untuk kepentingan pelayaran, tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas,” kata Carmelita Hartoto, CEO PT Andhika Lines di Jakarta, baru-baru ini.

Dia menambahkan, pihaknya berharap pemerintah tetap memberlakukan asas cabotage di tahun 2015. “Cabotage sudah diberlakukan di Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Eropa. Cobotage sangat penting bagi negara maritim seperti Indonesia,” kata Carmelita. Andhika Lines adalah perusahaan pelayaran niaga dan logistik yang tercatat dalam lima besar perusahaan niaga nasional.

Carmelita Hartoto, CEO Andhika Lines

Carmelita Hartoto, CEO Andhika Lines

Selain itu, asas cabotage juga berdampak positif terhadap peningkatan nilai investasi dan jumlah kapal. Data Indonesia National Shipowners Association (INSA) menunjukkan penambahan jumlah kapal yang semakin bertambah dari hari ke hari. Jumlah armada kapal niaga nasional hingga pertengahan tahun 2013 tercatat naik 132,8%, menjadi 14,064 unit atau dari sebelumnya 6,041 unit di tahun 2005.

Pertumbuhan jumlah kapal niaga ini bisa jadi untuk mengantisipasi rata-rata pertumbuhan volume kargo yang terus tumbuh di kisaran 15%-25% per tahun. Angka ini menunjukkan masa depan bisnis pelayaran nasional terlihat cerah di masa mendatang. Apalagi Indonesia akan menyasar pembangunan maritim dan akan menghadapi pasar tunggal ASEAN 2015.

Kendati kapal niaga terus tumbuh, jumlahnya masih dirasakan kurang memenuhi jumlah ideal. Hal ini harus terus diantisipasi oleh pelaku pasar dan pemerintah. Jika tidak, kita berpotensi kehilangan devisa yang jumlahnya mencapai lebih dari 100 triliun rupiah per tahun.

Karena itu, kapal berbendera Indonesia didorong untuk berani menggarap angkutan komoditas ekspor dan impor, walau permintaan komoditas global sedang menurun. Jika kondisi perekonomian global kembali pulih, keadaannya akan berbalik di masa yang akan datang. Peluang komoditas kembali menjadi primadona bukanlah hal yang mustahil. Ujung-ujungnya bisnis pengangkutan kapal bisa semakin kinclong.

Untuk mengantisipasi membludaknya angkutan ekspor-impor, Indonesia harus bersiap-siap mengantisipasinya i. Setidaknya, INSA memprediksi kurang lebih 1.000 unit kapal per tahun diperlukan oleh industri pelayaran. Memang ini bukan pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan lantaran investasinya akan menyedot uang dalam jumlah banyak.

Carmelita mengatakan, saat ini pelayaran barang Andhika Lines ke luar negeri tidak terlalu banyak. “Mudah-mudahan tahun 2015, kondisinya bisa lebih baik. Saya berharap kepada Menteri Perdagangan, Rahmat Gobel, untuk menggalakkan kembali term of trade. Dengan demikian pelayaran Indonesia bisa mengangkut ekspor dan impor,” jelasnya

Kini, pemilik barang lokal cenderung menggunakan kapal dari luar negeri dibandingkan kapal niaga nasional. Bagi Carmelita, ini adalah tantangan karena potensi pasar pengapalan ekspor-impor sangat besar di masa mendatang. “Saat ini saja kita cuma bisa mengangkut 9,5% saja,” tambahnya.

Agar bisa bersaing dengan perusahaan asing, Carmelita menyarankan pemerintah memberikan insentif fiskal yang berpihak kepada perusahaan kapal niaga Indonesia. “Regulasi tidak pro ke pengusaha. Misalnya, tarif yang sangat tinggi yang dikenakan untuk kapal-kapal yang melewati pelabuhan sehingga biaya logistiknya membengkak. Padahal seharusnya biaya logistik di laut bisa lebih murah daripada di darat,” keluhnya seraya menyebutkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bisa mengurangi daya saing industri.

Kebijakan fiskal yang kurang berpihak menjadikan perusahaan pelayaran nasional bisa mengurangi daya saing dan tidak kompetitif, khususnya jika harus bersaing untuk angkutan luar negeri.

Padahal industri maritim di masa mendatang sangat prospektif. Potensi pasar industri ini bernilai triliunan rupiah. Kementerian Perindustrian telah menyiapkan peta jalan (road map) pembangunan industri perkapalan di Indonesia hingga tahun 2025. Industri ini pun diharapkan bisa memproduksi dan mereparasi semua jenis kapal berukuran kecil hingga besar. Salah satu sasarannya pada 2020, klaster industri perkapalan nasional sudahmampul memproduksi kapal berbobot 200 ribu ton. (VKY)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved