Management Strategy

Pengusaha Batik Mulai Kurangi Jam Kerja, Ini Alasannya

Oleh Admin
Pengusaha Batik Mulai Kurangi Jam Kerja, Ini Alasannya

Para pengusaha batik tradisional yang ada di Kota Solo memilih mengurangi jam kerja untuk mengurangi ongkos produksi. Selain terkena dampak dari tingginya nilai tukar dolar Amerika Serikat, mereka juga menghadapi masalah menurunnya volume penjualan sejak beberapa bulan terakhir.

Sekretaris Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Gunawan Muhammad Nizar, mengatakan penurunan omzet mulai terasa sejak awal tahun lalu. “Sejak munculnya aturan pegawai negeri dilarang rapat di hotel,” kata Nizar, Kamis, 17 September 2015. Namun, sepinya pembeli masih terus terjadi meski aturan tersebut sudah dicabut.

Belum lagi pulih, para perajin batik kembali dihajar oleh tingginya nilai tukar dolar AS atas rupiah. Kondisi itu membuat ongkos produksi para perajin membengkak. “Zat kimia yang digunakan dalam proses membatik merupakan barang impor,” kata Nizar.

Menurut Nizar, para perajin harus mengeluarkan biaya produksi 30 persen lebih besar dari biasanya lantaran kenaikan harga zat-zat kimia, terutama bahan pewarna. Di sisi lain, mereka tidak berani menaikkan harga produk batik terlalu tinggi lantaran lesunya penjualan.

Pelatihan Batik - 2

“Harga produk batik hanya naik sekitar 10 persen,” ujar Nizar. Para perajin memilih untuk memangkas keuntungan dibanding menaikkan harga produk batik terlampau tinggi. Mereka khawatir pembeli semakin sepi jika harga dinaikkan terlampau tinggi.

Selain itu, para perajin juga harus mengurangi jam kerja para buruh batik untuk menekan ongkos produksi, terutama buruh canting dan buruh cap. “Sehari masuk, sehari libur,” katanya. Tentu saja penghasilan buruh canting dan cap merosot hingga 50 persen. “Bayaran mereka dihitung berdasar helai kain yang dikerjakan.”

Kondisi yang sama juga dirasakan oleh perajin di sentra kerajinan batik Kauman. “Jam kerja memang dikurangi meski tidak separah di Laweyan,” kata Koordinator Kampung Batik Kauman, Gunawan Setyawan. Mereka tetap meminta buruhnya untuk masuk tiap hari. “Hanya jam kerjanya memang dipangkas,” katanya.

Dia mengakui bahwa perajin batik menghadapi masalah dengan naiknya harga bahan kimia yang digunakan dalam proses batik. “Terutama memang pewarna,” kata Setyawan. Namun, pihaknya memiliki strategi lain untuk menekan ongkos produksi.

“Salah satunya, kami semakin mengintensifkan penggunakan pewarna alam,” ujar Setyawan. Pewarna tersebut dibuat dari tumbuhan, misalnya tanaman indigo serta kunyit. Batik dengan pewarna alam juga memiliki segmen pembeli khusus.

Hanya, memasarkan batik pewarna alam diakui memang tidak mudah. “Warnanya memang kurang cerah,” katanya. Para pedagang batik juga harus melakukan edukasi terlebih dahulu kepada pembeli mengenai keunggulan penggunaan pewarna alam, terutama dari sisi lingkungan.

Tempo


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved