Management Trends

Perlunya Demarketing Produk SKM yang Tepat

Peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Natalya Kurniawati

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan aturan tentang label, promosi dan penggunaan produk kental manis melalui PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan tersebut menyebutkan aturan akan disosialisasikan selama 30 bulan untuk memberi cukup waktu perbaikan label bagi produsen susu kental manis (SKM) dan analognya.

Terdapat 2 pasal yang mengatur tentang SKM, yaitu pasal 54 dan 67 huruf W dan X. Pasal 54 memuat kewajiban produsen untuk mencantumkan tulisan pada label yang berbunyi: “Perhatikan! Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu. Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan. Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi.

Sementara pasal 67 butir W memuat larangan berupa pernyataan/visualisasi yang menggambarkan bahwa susu kental dan analognya disajikan sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan sebagai satu-satunya sumber gizi. Butir X memuat larangan pernyataan/visualisasi yang semata-mata menampilkan anak di bawah usia lima tahun pada susu kental dan analognya.

Kehadiran kedua pasal tersebut dalam regulasi yang dikeluarkan oleh BPOM seharusnya dapat menjadi langkah preventif sejumlah persoalan kesehatan masyarakat seperti diabetes, obesitas dan penyakit tidak menular lainnya. Namun, yang terlihat adalah setelah 2 tahun berjalan, belum terlihat langkah strategis sosialisasi peraturan untuk masyarakat yang diterapkan oleh pemerintah, baik BPOM maupun Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi aturan mengenai produk kental manis perlu terus di optimalkan. Sosialisasi peraturan seharusnya dilakukan pemerintah secara menyeluruh kepada masyarakat. Sebab, yang mengalami mispersepsi akibat iklan kental manis selama ini adalah masyarakat, tentunya pemerintah dan juga produsen harus dapat bertanggung jawab memperbaiki asumsi yang salah terhadap kental manis tersebut.

Di sekitar Jabodetabek misalnya, masih banyak ditemukan orang tua yang memberikan kental manis sebagai konsumsi anak dengan alasan belum mengetahui aturan BPOM. Selain itu, pada banyak minimarket, produk kental manis masih disandingkan dengan produk-produk susu, baik susu anak maupun keluarga. Hal ini yang mengakibatkan masih banyaknya masyarakat yang tidak paham fungsi kental manis.

Melihat fenomena tersebut, Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) meminta BPOM: Pertama, revisi ketentuan tentang susu kental manis pada PerBPOM No 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan: (a) Peningkatan batasan usia pada label menjadi 5 tahun. (b) Penambahan ketentuan yang melarang susu kental manis disajikan dengan cara diseduh untuk dikonsumsi sebagai minuman (sesuai ketentuan no 1 point C pada SE ) .

Kedua, pemerintah ikut serta melakukan sosialisasi berkesinambungan kepada masyarakat melalui iklan layanan masyarakat, sosial media dan penyampaian materi sosialisasi melalui kegiatan posyandu.

Ketiga, produsen ikut bertanggung jawab dengan cara mengedukasi masyarakat melalui iklan yang benar-benar menjelaskan bagaimana penggunaan SKM yang benar, yang boleh dan yang tidak boleh.

Dalam diskusi terbatas 2 Tahun PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang diselenggarakan secara virtual Kamis (15/10), Rizal E Halim, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), mengakui ada inkonsistensi dalam peraturan BPOM tersebut. “Kental manis walaupun ada kandungan susu, tapi tidak dominan dan itu relatif kecil. Saya setuju dengan apa yang disampaikan KOPMAS bahwa ada persoalan inkonsistensi, dan hal itu berpotensi konflik. Kita pernah berdiskusi dan kita sepakat kata susu akan dihilangkan. Waktu itu permintaan kami adalah pre edukasi masyarakat. Edukasi harus dilakukan, karena ini repetisi puluhan tahun menggunakan iklan. Di sisi lain, apakah melanggar etika? Kalau melanggar etika harus dicegah. Kalau SKM kita sudah lama sepakat,” jelas Rizal

Menurutnya, yang bisa dilakukan ke depan, selain mengkritisi peraturan, perlu dilakukan upaya demarketing. Ia menegaskan demarketing tersebut tidak akan mengganggu usaha, sehingga pelaku usaha tidak perlu khawatir. “Ada strategi lain dalam pemasaran yang dapat dilakukan,” ujar Rizal.

Sementara itu, menurut Dra Chaerunissa, M.Kes, Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah mengusulkan, perubahan istilah produk susu kental menjadi produk penambah rasa dan batasan penggunaan SKM di atas 5 tahun karena pada usia ini, merupkan usia emas. Ia menyayangkan sikap BPOM yang belum pernah melibatkan organisasi seperti Aisyiyah dalam hal sosialisasi. Padahal, pihaknya adalah salah satu organisasi perempuan yang juga gencar mengedukasi masyarakat tentang gizi anak. Aisyiyah bahkan pernah melakukan survei mengenai persepsi masyarakat tentang kental manis.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Natalya Kurniawati. Menurutnya, persoalan kental manis disebabkan karena mindset bahwa produk ini adalah susu telah mengakar selama bertahun-tahun. Ditambah literasi gizi masyarakat menangah ke bawah masih rendah.

“Riset tentang literasi pangan, di tahun 2018, di mana masyarakat sebenarnya masih tahunya empat sehat lima sempurna, belum ke pedoman gizi seimbang. 65\% dari responden yang YLKI survei dari 400 rumah tangga di Depok dan Solo, menyatakan tidak tahu tentang pedoman gizi seimbang bahkan selepas ASI menggunakan kental manis untuk balitanya,” ujar Natalya.

Hasil riset tersebut juga menunjukan susu menjadi hal krusial di masyarakat di mana konsumen di Depok, sebesar 21,2\% menempatkan susu kental manis sebagai tambahan gizi di menu makannya. Kemudian 35\% di Solo menyatakan kental manis masuk menjadi menu makanan sehari-hari di mana dalam keluarga ini terdapat anak-anak usia 5-18 tahun.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved