Management Strategy

Revisi DNI Film, Angin Segar bagi Perfilman Indonesia

Revisi DNI Film, Angin Segar bagi Perfilman Indonesia

Film produksi Indonesia sulit mendapat ruang, biaya produksi, jumlah layar, tidak meratanya distribusi film, masih banyak masyarakat yang tidak mendapat akses ke bioskop karena tidak ada gedung bioskop di daerahnya, dan jumlah jam tayang film Indonesia di bioskop hanya 20 persen. Itulah sederet permasalahan yang dihadapi para filmmaker Indonesia.

Dalam kurun 5 tahun terakhir, angka pertumbuhan perfilman Indonesia hanya sebesar 13 persen. Selama ini yang terjadi adalah co-financing dengan jumlah dana yang sangat kecil. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan stimulus melalui investasi.

Pemerintah sedang melakukan pembahasan untuk membuka Daftar Negatif Investasi (DNI) film baik di sektor teknik, eksibisi, dan distribusi. Dalam hal ini, eksibitor adalah investor asing yang menanamkan modal untuk memproduksi film lokal dan membantu dana pembuatan bioskop. Saat ini jumlah layar bioskop hanya 1117 dan 50 independen. Sebanyak 87 persen bioskop berada di pulau Jawa, dimana sebesar 35 persen di Jakarta. Sebanyak 80 persen bioskop dikuasai satu grup besar.

Konferensi Pers Pernyataan Setuju Para Pkerja Film Terhadap Revisi DNI (Daftar Negatif Investasi) Film

Konferensi Pers Pernyataan Setuju Para Pekerja Film terhadap Revisi DNI (Daftar Negatif Investasi) Film

Para sineas dan filmmaker melihat positif dengan revisi DNI film ini. Dimana akan memperbesar market share dengan penambahan jumlah layar, kebutuhan produk film lokal akan meningkat baik kualitas maupun kuantitas, meningkatkan tenaga kerja baru dan penjualan tiket yang menambah pemasukan pajak bagi negara serta memberi akses film lokasl ke pasar luar negeri.

Alhasil, akan terbuka channel baru untuk distribusi film Indonesia dapat masuk ke negara lain. Selain itu kanal baru ini dapat memberi peluang kedisiplinan dan akuntabilitas serta transparansi untuk mengelola modal. “Sehingga kami memiliki konten yang dapat bersaing,” ujar Angga Dwi Sasongko, Sutradara.

Akan tetapi terdapat kekhawatiran dengan masuknya investor, maka mereka akan mengatur konten film. Menurut Manoj Punjabi, Produser Film MD Pictures, orang asing tidak bisa membuat film seperti filmmaker Indonesia, karena mereka tidak mengerti budaya Indonesia dengan baik.

Hal serupa dikatakan oleh Joko Anwar, sutradara dan produser film. Menurutnya,dengan masuknya investasi maka akan banyak produksi film, dimana masih banyak tematik film yang belum diproduksi seperti film bertema budaya. Film-film bergenre seperti itu masih belum mendapat prioritas di bioskop karena dianggap kurang dapat menarik penonton, disamping jumlah layar yang terbatas.

“Faktanya selama ini beberapa film Indonesia yang kental budaya dan berbahasa Jawa itu dibiayai investor dari Italia dan Austria. Film itu ada dua. Pertama yang dapat menarik penonton ke bioskop dan cultural. Mayoritas yang cultural dipinggirkan dulu. Sebaliknya, di daerah film Indonesia menjadi raja” tambahnya.

Saat ini Indonesia kekuarangan jumlah layar sebanyak 2 ribu hingga 4 ribu, dimana selama 3 tahun hanya lahir sekitar 40 layar. Sedangkan Jokowi mengatakan Indonesia membutuhkan 5 ribu layar. “Investor mau buka layar sekitar 3 ribu saja sudah menguntungkan film dalam negeri, sehingga nantinya dapat meningkatkan jumlah penonton. Butuh Rp 20 triliun sampai Rp 30 triliun. Dan jika tanpa investasi, kita tidak memiliki biaya,” ungkap Manoj. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved