Management Editor's Choice Strategy

Sebanyak 95% Pemimpin Unilever Berasal dari Pengembangan Internal

Sebanyak 95% Pemimpin Unilever Berasal dari Pengembangan Internal

Enny Sampurno, HR Director PT Unilever Indonesia Tbk, menjelaskan, pengembangan SDM di perusahaannya selalu terintergasi dengan agenda bisnisnya. “What is the business agenda, what is the business ambitions, dari situlah SDM disiapkan agar sejalan dengan bisnis kami,” jelas perempuan yang sudah 22 tahun bekerja di Unilever ini kepada Herning Banirestu.

Ibu dua anak ini menyatakan, talent harus dekat dengan arah bisnis perusahaan. Bagaimana cara dapatnya, apakah ada area baru yang akan dimasuki Unilever? Itu semua disiapkan talent-nya seperti apa skill dan kapabilitasnya. Integrasi itu dari semua level, mulai dari Management Trainee (MT) yang merupakan future leader di Unilever.

MT merupakan hasil rekrut lulusan baru, yang menurut Enny tentu tidak bisa langsung diterjunkan bekerja. Pihaknya mendesain mereka dengan tiga tahun program, yang di dalamnya, para MT ini diberi berbagai exposure ke berbagai bagian di Unilever. “Jika si MT ini berada di bagianmarketing, maka dia akan dipindah-pindah ke berbagai bagian, selama tiga tahun, supaya dia belajar banyak hal sebelum menjadi manajer,” katanya.

Unilever sebagai perusahaan multinasional, mengharapkan para talent ini juga tidak hanya berkiprah di Indonesia, namun juga disiapkan menjadi pemimpin global. “Dalam tiga tahun program tersebut, MT ini juga diberi kesempatan 6 bulan untuk berkarier di luar negeri. Ini bagi mereka yang masuk MT atau UFLP (Unilever Future Leader Program),” jelasnya. Perpindahan di satu posisi ke posisi lain selama tiga tahun itu terjadi per 9 bulan.

“Selama tiga tahun itu terus dievaluasi, jika tidak lulus selama itu, ya harus keluar. Jika dia lulus, mereka mendapat kesempatan exposure ke luar negeri,” katanya.

Tujuannya, agar para MT ini belajar bagaimana berhubungan dengan orang yang berbeda kulturnya, melakukan negosiasi. Pihaknya tidak hanya mengembangkan talent melalui MT, namun juga ada meet career recruit (MCR), ini yang masuk setelah dia berkarier di tempat lain.

“Kami percaya pengembangan SDM itu 70% on the job training, 20% coaching atau mentoring, 10% in the class (training),” kata Enny.

Dalam on the job training yang 70% itu, dia belajar melalui job rotation, yang mendorong mereka belajar banyak tidak hanya di satu bidang. Bahkan di marketing, dengan banyak kategorinya banyak, mereknya banyak, dia bisa pindah dari satu merek ke merek lain. “Menangani Blue Band dengan SunSilk itu berbeda,” tuturnya. Bisa juga dia dipindahkan dari marketing ke sales. Atau seperti saya dari finance, pernah di supply chain, lalu sekarang di HR,” imbuhnya.

Lalu, dalam 20% coaching oleh line manager-nya. “Talent development itu adalah pekerjaannya line manager, sebenarnya HR di sini pekerjaannya lumayan berkurang karena line manager membantu mengembangkan orang-orang di bawahnya,” jelasnya. HR memfasilitasi pengembangan saja, karena hari-hari para MT ini berada di bawah line manager-nya. Line manager ini wajib memberikan coach ke anak buahnya, memberi feed back, mengajarkan apa yang bisa mengembangkan kemampuannya.

“Kami punya agenda tetap berkumpul hanya membicarakan people yaitu di Financial Recources Committee, semua line manager itu ada agenda tetap setahun dua kali untuk membicarakan people di bawahnya,” ujarnya. Pada divisi marketing misalnya, semua senior manager di marketing saat itu, membicarakan hingga dua layer di bawahnya, satu per satu. Bagaimana perkembangannya? Kinerjanya? Kekuatannya? Apa yang masih harus dikembangkan dari dia? Setelah dari sini mau dipindah ke mana? Apakah dia potensial untuk dinaikan atau tidak? Jika ia potensial dinaikan apalagi program yang harus diberikan?

“Kami sebut sebagai FRC, dan itu ber-layer-layer pembicaraan soal people. Mulai dari senior manager membecarakan manajer dan asisten manajer, board pun membicarakan senior manajer dan di bawahnya, bahkan regional hingga global pun demikian,” katanya. Jadi pihaknya memang punya sistem yang terintegrasi dalam pengembangan talent.

Jadi, dalam setiap FRC, yang dibicarakan adalah talent, organisasi, skill, dan kulturnya seperti apa. Empat elemen itulah yang penting dibicarakan. Tidak mungkin HR yang melakukan sendiri, linemanager-lah yang melakukannya. Bagaimana talent engage? Menurut Enny, tentu itu juga tanggung jawab line manager. HR yang memfasilitasi, line manager-lah yang menggerakannya.

“Setahun dua kali membicarakan people melalui FRC, dan plus sekali di country. Jadi, setahun tiga kali paling tidak, seorang talent itu dibicarakan di perusahaan dengan serius,” imbuh Willy Saelan, Head of HR—Sales and Marketing PT Unilever Indonesia Tbk, pria yang memimpin presentasi saat penjurian HR Excellence mewakili Unilever. Untuk “country”, maksudnya, kala line manager membuat proposal pengembangan untuk satu talent, dia harus mendapat persetujuan dari satu layer di atasnya.

“Jadi direktur-direktur di marketing setahun kumpul dua kali membicarakan anak-anak marketing, lalu board of directors ya marketing, HR dan lainnya kumpul lagi untuk membicarakan proposal-proposal itu, adakah masukan dari lintas direktur,” jelas Enny. Bahkan setelah di country pun, ada kumpul lagi di Singapura membicarakan proposal pengembangan talent itu, satu per satu.

Rencana karier setiap talent tidak eksak. Jadi, ada long term, medium dan short term. Succession plan pun sudah disiapkan, siapa menggantikan siapa sudah ada. Itu dibicarakan dengan detil.

Maka tidak heran jika 95 persen pemimpin di Unilever Indonesia adalah hasil pengembangan internal, bahkan Enny menjamin level tiga (senior manajer/GM) angkanya mencapai 97 persen, hanya dua atau tiga yang bukan dari MT. Enny mengatakan board of directors di perusahaannya 90 persen berasal dari MT. “Hanya Pak Andrianus yang berasal dari MCR (meet career recruit),” imbuhnya.

Enny memandang, tentang pengembangan talent di perusahaannya yang sangat lokal lebih pada kultur di dalamnya. Pihaknya selalu membuat bagaimana pengembangan HR tidak lepas dari kekhasan Indonesia walau patokannya program dari global. Banyak program HR menurut Enny adalah dari global, tapi implementasinya sangatlah lokal. Contohnya, performance culture, orang didorong dan dinilai berdasarkan performance secara ketat, how atau bagaimana menyampaikan ke orang adalah sesuai dengan budaya Indonesia.

“Seperti respect each other, memberi feed back itu beda dengan gayanya orang bule,” tuturnya. Unsur lokal tidak dihilangkan, budaya team work atau team bonding di Indonesia sangat kuat, kata Enny, ini tidak dihilangkan.

Willy menambahkan nilai lokal dalam pengembangan HR, termasuk di dalamnya adalah bagaimana melihat orang tidak dalam jangka pendek, kala tidak perform, langsung dipecat. Respek dan team work menjadi kekuatan HR di Indonesia. Solusi ini justru dilihat positif, bahkan dilihat global dan ditarik menjadi inisiatif global.

Pihaknya selalu memberikan intervensi ke arah membentuk company culture, seperti team bonding, open house dengan chairman, annual conference yang nuansanya lokal. Ini bagian dari bagaimana menciptakan suasana kerja yang mendukung. Itu semua menurut Enny merupakan inisiatif lokal.

Tentang employee engagement atau people retention, memahami orang keluar dari suatu perusahaan karena apa? Menurut Enny justru beyond reward. “Reward itu saya yakini itu paling akhir alasannya, lebih pada working environment, hubungan anak buah dan bawahan, bahkan nomor satu alasannya adalah karena atasan yang menyebalkan,” jelasnya.

Enny menyadari menjaga talent untuk tidak dibajak, bukan semata memberikan gaji gede-gedean. Memberikan job yang menantang juga salah satu cara yang digunakannya. Job yang exiting dan menantang salah satu cara pihaknya menjaga mereka. Unilever terkenal sebagai University of Ever. “Kami selalu menantang para talent untuk raising the bar, mereka ditantang untuk tidak pintar di satu hal saja. Anak-anak muda kan suka tantangan, selalu punya hal baru itu bisa menjaga mereka, ini disukai mereka yang suka belajar. Mereka memberi tapi juga diberi,” jelasnya. Job rotation setiap tiga tahun sekali membuat dia tidak jenuh, belajar hal baru membuat mereka tidak bosan, inilah cara-cara Unilever menjaga orang-orang terbaiknya selain lingkungan kerja yang dibuat senyaman mungkin seperti dalam keluarga.

“Mereka akan menganggap Unilever sebagai keluarga sendiri, karena 8 jam lebih waktu mereka dihabiskan di perusahaan,” ujarnya.

Pekerjaan banyak, load-nya juga besar, selain kompleksitasnya juga tinggi karena perusahaannya besar, menurut Enny, itu diimbangi dengan memberikan banyak fasilitas menyenangkan bagi para karyawan untuk personal balance mereka. Pihaknya mendukung 22 klub karyawan mulai dari olah raga, seni, band, memancing, runner, golf, dan sebagainya. Semua difasilitasi dengan baik. “Ada fasilitas gym yang lengkap, yang tidak dibatasi kapan dan berapa lama dia di sana, asal tanggungjawabnya selesai,” ujarnya. Untuk mempererat mereka ada acara POR (Pekan Olah Raga) bagi karyawan, termasuk lomba band dan karaoke.

Menurut Willy, bekerja di Unilever makin nyaman dengan memberikan flexi hours bagi karyawan bekerja. Sudah sejak lama pihaknya memberikan keleluasan karyawan bekerja darimana dan bagaimana saja ia nyaman bekerja. Karyawan bisa memilih bekerja dari rumah sekalipun boleh, atau mereka bisa memilih bekerja malam hari saja juga boleh (ngalong). “Yang penting result,” tegasnya. Memungkinkan bekerja dari rumah sudah dimulai sejak 2009, sebelumnya dimulai dengan kenyamanan karyawan memilih jam berapa masuk dan pulang 10 tahun lalu lebih sebelumnya.

“Bagi supply chain yang ada di pabrik, memang ada core hours-nya namun setelah itu mereka bebas, di head office itu lebih fleksibel lagi, yang penting result,” ujarnya.

Apakah kinerja perusahaan menurun karena kebijakan ini? Justru menurut Enny sebaliknya, meningkat. Sebab mereka diberi tanggung jawab penuh atas keputusan itu. “Saya jika butuh bekerja yang mikir, sangat strategic, justru pilih bekerja di rumah, karena kerja di kantor suka diselingi chit chat dengan rekan kerja,” imbuhnya.

Flexi hours tidak diterjemahkan hanya sekadar working from home, bisa juga karyawan memilih working from cafe atau tempat lain yang membuat mereka nyaman bekerja. Ada yang milih bekerja di kantor lalu pulang urus anak, bisa kembali lagi hingga malam untuk membereskan pekerjaannya. Pihaknya sedang mengumumkan, jika ada email yang bukan ASAP di-reply dikirim jam 11 malam, tidak harus reply saat itu juga tidak apa. Mungkin karena yang kirim senang kerja malam. Jadi fleksibel, yang penting delivered hasil. Namun demikian jika ada rapat penting yang harus hadir, mereka tidak boleh mangkir.

Tentang reward, Enny menjamin apa yang diberikan Unilever cukup menarik. Bukan saja gaji yang kompetitif, juga pinjaman untuk kepemilikan rumah dan mobil bagi talent yang sudah 4 tahun bekerja di Unilever. Namun jika mereka keluar dari Unilever sebelum lunas, mereka harus bayar lunas plus bunga. Ini sebagai cara retention Unilever. “Jadi bagi yang mau bajak, harus berani bayarin itu,” katanya sambil terbahak. Banyak sekali benefit yang diberikan perusahaannya, termasuk day care bagi anak-anak kala pembantu pulang (nursery room plus dokter anaknya), pembelian ponsel tiap 2 tahun, rawat inap rumah sakit yang terbaik, dan sebagainya.

“Kami selalu survei bagaimana benchmark dengan external market. Juga kami memberi variable bonus, jika target tercapai melebihi rating yang sudah ditetapkan, maka bonusnya makin besar,” katanya. Ditambahkan Willy rating-nya dari 1 hingga 5, tiap rating ada persentase bonusnya, untuk mereka yang bisa menembus rating target lebih dari 4 itu hitungannya persentase maksimum.

“Kalau memberi salary tertinggi, itu tentu kami bukanlah yang tertinggi, masih ada bank, konsultan dan perusahaan oil and gas. Reward bukan hal utama untuk menjaga para talent,” ujar Willy

Namun demikian, pihaknya harus berkompetisi untuk menjaga mereka untuk terus engage dengan karyawan. Menurut Willy, 90% manajer Unilever mungkin pernah ditawari headhunter untuk pindah. Reward itu memang tidak bisa menjaga talent, justru lebih memberikan job menantang dan lingkungan kerja yang kondusiflah yang utama dalam retention talent.

Perginya talent terbaik, tidak disesali Willy dan Enny, karena menurut mereka jika ada pabrik menghasilkan barang terbaik, Unilever pun menghasilkan pemimpin-pemimpin bisnis terbaik di Indonesia. Dan itu membuat mereka bangga kala melihat kolega mereka di tempat lain berhasil. Ini tidak bisa dihindari.

Unilever berhasil mengekspor pemimpin ke global. Disebut Willy saat ini ada 58 orang Indonesia yang memimpin bisnis di berbagai kantor cabang Unilever di negara lain. Enny menyebut Direktur Supply Chain di Philipina, Sales Director di Myanmar, Marketing Director di Malaysia (baru tahun lalu), Oral Brand Development di Malaysia juga orang Indonesia. “Kontribusi Indonesia ke dunia itu besar, kami ingin mencetak juga leader Indonesia menjadi global leader,”jelas Enny.

Tentu saja yang dikirim adalah yang terbaik, sehingga yang di global berprestasi juga kala ditempatkan di sana. Willy mencontohkan sales manager di Malaysia, orang Indonesia mendapat chairman award. Award itu adalah yang tertinggi diberikan di sana dan diberikan ke talent dari Indonesia. “Alhamdulillah so far prestasi mereka so good,” ujar Enny.

Ditekankan Willy, semua hasil baik itu dihasilkan dari awal, mulai dari rekruitmen. Bagaimana men-track the best student, rekrutmen, mengembangkan mereka, coaching, training, reward juga harus bagus, benefit banyak, lingkungan kerjanya juga dijaga. Semua itu satu kesatuan . “Team work dan can do spirit itu value yang selalu dijaga di Unilever,” imbuh Enny.

Penghargaan selalu diberikan sekecil apapun yang karyawan berikan ke perusahaan. Sehingga karyawan selalu memberikan beyond company expectation. Contohnya ada karyawan yang dengan rela menyerahkan dalam waktu mepet ke partner bisnis Unilever tiket nonton gratis, muter-muter dengan inisiatif sendiri, memastikan mereka mendapatkan tiket sepak bola pertandingan Timnas — karena saat itu Clear sponsornya. Tiket saat itu baru didapat memang mepet. Si Karyawan memahami, para partner ini sangat mengharapkannya. Karyawan itu beyond the call of duty dalam waktu dua jam saja jelang pertandingan semua tiket terkirim olehnya. Perusahaan memberikan penghargaan pahlawan tanpa pamrih plus memberikan hadiah jalan-jalan ke Thailand untuknya karena aksinya itu.

Tentang bagaimana mengelola karyawan yang berada di bawah rata-rata performance-nya, menurut Enny, ada dua langkah. Pihaknya melakukan diferensiasi, ranking 10 tidak selalu jelek. Karena menurut Enny, dalam sekolah unggulan tetap saja ada ranking 10. “Kami pikirkan bagaimana pengembangannya agar mereka performance-nya maksimal, sangat serius dipikirkan. Atau bisa juga jika sudah banyak program pengembangan diberikan, dia tetap berada di bawah, dia sudah tidak sesuai dengan company,” jelasnya.

Willy menegaskan pihaknya tidak menoleransi karyawan dengan poor performance. “Kami mengembangkan yang high performance, tapi kami juga mengelola yang poor, namun tidak menoleransi lebih jauh,” ujarnya. Tapi pihaknya tetap sebelumnya memberikan banyak pengembangan lebih dahulu sebelum bicara dengan mereka. Program pengembangan itu bukan sekadar tuntutan pekerjaan harus diselesaikan, tapi pihaknya mencari tahu sebenarnya dia itu apa lagi yang bisa dikembangkan potensinya yang belum terlihat.

Enny berkomentar tentang Gen Y bukanlah suatu generasi yang harus diurusi khusus. Belum. “Bisa jadi waktu saya seumuran mereka, saya pun demikian, bahwa senior saya memandang, ini anak kok kelewat pede,” ujarnya sambil tersenyum. Mereka masih muda, memang tuntutan zamannya.

Menurut Enny, generasi ini butuh clarity, kejelasan, karier mereka mau kemana? Kenapa si A dapat promosi, dia tidak, apa alasannya? Tidak bisa dibiarkan begitu saja. “Jadi harus jelas alasannya, tidak bisa “pokoknya”. Anak sekarang, bisa datang ke atasan, kenapa dia bisa dipromosi, bukan saya? Oh, generasi saya tidak berani begitu, anak sekarang berani tanya,” katanya sambil terbahak. Intinya memang kejelasan. Memang anak sekarang atau Gen Y, diakui Enny senang sekali instan, click one click. “Saya pikir transparan pada mereka penting, mereka berani bertanya kenapa?” ujar ibu dua remaja ini. Mereka memang haus tantangan, semua bisa dicari di google, apapaun mereka bisa cari. “Saya selalu bilang ke mereka, pintar saja tidak cukup, harus bisa kerjasama, memengaruhi orang lain, people management penting,” ujar Enny.

Bahwa Unilever dianggap excellence dalam pengelolaan HR, itu karena kerja sama semua orang di perusahaan dalam pengelolaan talent, bukan sekadar kerja orang HR. “Kami menganut 360 derajat feedback, atasan juga harus mendapat penilaian dari bawahan, piers, se-level,” kata Enny. Jadi, ini semua merupakan kerja semua pihak di Unilever.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved