Management Strategy

Sebelum Pensiun, Martono Soeprapto Ingin Bank DKI Capai Aset Rp 70 Triliun

Sebelum Pensiun, Martono Soeprapto Ingin Bank DKI Capai Aset Rp 70 Triliun

Bank DKI merupakan salah satu Bank Pembangunan Daerah (BPD) terbesar dan terbaik di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari kinerja keuangan mereka yang selalu positif dalam beberapa tahun terakhir. Bank ini juga mulai memimpin beberapa kredit sindikasi di proyek infrastruktur. Belum lagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang selalu siap mengucurkan tambahan modal.

Martono-DKISemester pertama tahun ini saja perseroan sudah ditambahkan modal sebesar Rp 450 miliar, sehingga modalnya menjadi Rp 2,6 triliun. Itu masih sebagian dari total modal yang akan diberikan Pemprov DKI yang direncanakan mencapai Rp 1,35 triliun di tahun ini. Penambahan modal itu tentu saja salah satunya untuk memperluas bisnis dengan membuka lagi beberapa kantor cabang di beberapa kota di Indonesia. Maka itu, SWA Online berbincang-bincang dengan Direktur Operasional Bank DKI, Martono Soeprapto, beberapa waktu lalu. Selain untuk mengenal lebih jauh soal eksekutif berusia 57 tahun yang hobi main golf ini, juga ingin mengetahui lebih lanjut soal perkembangan Bank DKI saat ini.

Bisa diceritakan bagaimana latar belakang karier Anda sebelum akhirnya berlabuh di Bank DKI?

Saya dulu lama di bank pemerintah, yaitu BNI. 23 tahun saya kerja di sana. Saya sempat ke Bank Permata lima tahun, lalu saya sempat jadi pengurus di Ikatan Bankir Indonesia (IBI), baru kemudian masuk ke Bank DKI. Saya masuk Bank DKI sejak April 2012. Waktu itu ada permintaan atau lowongan dari Bank DKI, maka saya daftar saja. Walaupun saya sudah berhenti dari Bank Permata sejak 2007. Di Bank Permata, waktu itu, saya menjabat Group Head of International Banking. Sedangkan di Bank DKI ini saya menjabat Direktur Operasional, yang mengurusi operasional kantor-kantor cabang, dan sebagainya. Jadi pengetahuan saya di bidang international banking waktu itu kurang terpakai.

Lalu, bagaimana dengan latar belakang pendidikan Anda?

Pendidikan S1 saya di Universitas Diponegoro Semarang, jurusan Ekonomi. Kemudian S2 (Master) Business Administration, dari Miami University, Florida AS. Saya lulus S2 tahun 1996.

Apa suka-duka Anda selama menjadi Direktur Operasional Bank DKI di kurun waktu setahun lebih ini?

Banyak ya suka-dukanya menjadi Direktur Operasional Bank DKI. Karena di sini masih banyak yang harus dikerjakan, dibenahi, dan diselesaikan. Target saya di bank ini ya supaya Bank DKI menjadi bank yang terbaik dan membanggakan, lalu bisa bersaing dengan bank-bank nasional yang ada. Juga bahwa di tahun 2016 dan 2017, kita akan mencapai nilai aset sekitar Rp 60-70 triliun, dengan laba Rp 2 triliun. Juni 2013, laba kita sudah Rp 413 miliar, dan di Desember 2013 nanti diharapkan akan mencapai sekitar Rp 800 miliar.

Selama ini kan BPD lebih dikenal sebagai bank yang memberikan kredit konsumtif kepada para pegawai Pemda, lalu bagaimana dengan Bank DKI sendiri? Bagaimana porsi kredit konsumtif dan produktifnya saat ini?

Kredit produktif dan konsumtif akan jadi berimbang terus nanti, karena konsumtif tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, sebab itu memberi return yang bagus. Untuk jadi BPD Regional Champion memang ada persyaratan kredit produktif harus berapa persen, makanya mulai sekarang kita naikkan porsi itu secara bertahap. Sekarang kredit konsumtif masih cukup besar, dan produktif di bawah konsumtif.

Salah satu kredit produktif yang diberikan Bank DKI adalah kredit korporasi. Jadi apa saja yang sudah dilakukan Bank DKI dalam menyalurkan kredit korporasi tersebut?

Kredit korporasi kita banyak, karena kita sebagai pengatur sindikasi. Jadi misal ada kredit bernominal besar yang tidak bisa kita biayai sendiri, lalu kita ajak BPD-BPD lain bergabung untuk melakukan sindikasi. Sektor dalam kredit korporasi yang kita berikan adalah di pertambangan, manufaktur, dan terakhir kita masuk ke perkebunan juga. Yang (kredit ke) perkebunan ini memang masih kecil karena baru masuk. Yang paling besar itu ada di infrastruktur, yakni pembangunan power plant.

Dalam kredit korporasi, kita masuknya maksimal sebesar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) kita, kalau misalnya modal kita Rp 2,5 triliun, paling BMPK kita hanya Rp 500 miliar. Jadi kita bisanya masuk pada kredit korporasi dengan nilai di bawah Rp 500 miliar. Makanya kalau kebutuhannya banyak, kita ajak bank-bank lain. Jadi misalnya (proyek) infrastruktur jalan tol Cikampek-Palimanan itu kami sindikasi Rp 2,2 triliun, antara delapan atau sembilan BPD yang bergabung. Tapi di sisi pihak bank umum adalah BCA, jadi ini joint lead antara Bank DKI dan BCA.

Bagaimana dengan perkembangan Jak Card sejauh ini?

Martono-DKI2Jak Card itu bentuk kartu e-money kami ya. Memang dari BI mengharapkan penggunaan uang kertas itu harus dikurangi. Makanya digalakkan penggunaan kartu, dan kita punya yang namanya Jak-Card. Sekarang itu sudah masuk ke Transjakarta, lalu kita akan masuk juga ke PT KAI. Ini dengan enam bank bergabung, nantinya kartu kita bisa dipakai untuk membeli tiket kereta api. Minggu lalu kita (enam bank) sudah buka puasa bersama dan membicarakan solusi ini nantinya seperti apa.

Untuk fee based income yang didapat dari Jak-Card belum besar. Bahkan kita semua juga masih rugi (yang untuk di Transjakarta), karena itu masih percobaan kan. Kita memang inginnya Jak-Card itu berpengaruh signifikan ke pendapatan 2%. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved