Management Strategy

Titik Api Marak, Pemerintah Siap Siaga

Titik Api Marak, Pemerintah Siap Siaga

Pemerintah mulai siap siaga menghadapi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dari sanalah emisi terbesar gas karbon dihasilkan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan kementerian LHK terus berkoordinasi dengan kementerian pertanian serta pemerintah daerah terkait.

“Kami sudah keliling daerah di Indonesia, 16 Februari lalu masih ada 15 titik api dari sebelumnya 21-25. Di lapangan yang terjadi adalah pembakaran 5-6 spot, ciri-cirinya di lapangan terbuka. Ada di perusahaan perkebunan, di pinggir-pinggir HTI (hutan tanaman industri),” katanya di Jakarta.

Dari hasil pembahasan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lanjut dia, pemerintah akan meminta izin untuk menyatakan kondisi siaga darurat, khusus untuk Provinsi Riau dan Jambi yang sudah mulai muncul beberapa titik api. “Saya sudah menyurati kementerian pertanian dan menghubungi Dirjen perkebunan agar memerhatikan kebun-kebun di lapangan,” katanya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya

Siti menjelaskan, sejak November-Desember, lahan gambut sudah mulai basah oleh hujan. Dengan penambahan sekat kanal, gambut akan tetap lembab sehingga tidak mudah terbakar. Namun, biaya pembuatan sekat ini tergolong mahal. Yang paling murah hanya Rp6 juta untuk setiap lahan. Namun, sekat seperti itu tidak permanen.

“Kalau yang permanen, bisa sampai Rp300 juta. Bahkan, ada yang akhirnya dimanfaatkan masyarakat sebagai kolam dan tempat rekreasi. Kami sudah berkoordinasi dengan BNPB dan pemda. Masyarakat harus dibantu (pembuatan sekat kanal). Air hujan buatan juga sudah dibuat untuk memadamkan 5-6 titik api. Kami sedang menunggu informasi terkini dari Jambi,” katanya.

Pembangunan sekat kanal ini juga sangat membantu petani yang menanam sagu di lahan gambut. Seperti di Riau, air yang terbendung di kanan mampu membasahi areal di kanan dan kiri kanan sejauh kurang lebih 7 kilometer. Dengan begitu, lahan gambut yang ditanami sagu tetap aman dari kekeringan dan kebakaran hutan.

Air yang ditampung di kanal berwarna coklat kehitaman namun sehat karena berasal dari akar-akaran dan tumbuh-tumbuhan. Banyak warga yang memanfaatkannya untuk mandi. Jadi, tidak hanya mencegah kebakaran, sekat kanal juga punya beragam manfaat lainnya.

Dari data yang dihimpun SWA, perubahan lahan dan kehutanan menyumbang terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia, yaitu 36%. Disusul kebakaran lahan gambut sebesar 26%, pemanfaatan energi (22%), limbah (9%), pertanian (2%), dan industri (2%).

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan kerjasama internasional pada akhir tahun 2020. World Resources Institute (WRI) melaporkan pada Oktober 2014 lalu, Indonesia ada di urutan keenam penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia sebesar 2,05 miliar ton. Tiongkok masih berada di peringkat pertama yakni lebih dari 10,26 miliar ton. Disusul India sebesar 2,4 miliar ton.

Brasil ada di posisi ketujuh dengan 1,419 miliar ton. Total emisi CO2 dunia sebesar 46 miliar ton. Tahun 1990-an, sekitar dua pertiga dari emisi CO2 berasal dari negara-negara maju. Kini, emisi negara berkembang mulai meningkat. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved