Management Editor's Choice Strategy Entrepreneur

Transformasi Bisnis Kokola di Tangan Richard Cahadi

Transformasi Bisnis Kokola di Tangan Richard Cahadi

Siapa bilang label halal hanya dibutuhkan untuk produk-produk pasar domestik saja? Saat ini, tren pasar internasional sudah mengarah ke sana. Tidak percaya? Simak penuturan, Richard Cahadi, Direktur Pengelola PT Mega Global Food Industry, eksportir snack biskuit dan wafer. “Saat ini untuk ekspor ke pasar internasional, sudah banyak negara yang mempersyaratkan label halal, sifatnya sudah universal. Padahal, waktu itu, kami akan hapus label halal di kemasan untuk produk-produk Kokola yang diekspor, ternyata pihak importir malah mempersyaratkan label halal,” jelas generasi ketiga di pabrikan biskuit dan wafer yang bermarkas di Gresik, Jawa Timur itu.

Apalagi, permintaan pasar internasional yang meningkat akan produk-produk halal, mendorong PT Mega Global Food Industry (Kokola Group) sebagai salah satu produsen wafer dan biskuit nasional, makin serius mengelola kehalalan produknya. “Bagi seluruh industri, baik dalam maupun luar negeri, pasar internasional penting. Untuk itu, kali ini Kokola Group berniat makin memperkuat pasar internasional melalui berbagai langkah strategis. Salah satunya dengan mengikuti “ The 30th Trade Expo Indonesia 2015 “ yang bertempat di Jakarta Internasional Expo Kemayoran ,” ujar Richard.

Dijelaskan eksekutif yang murah senyum ini, sesuai himbauan Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia harus lebih aktif dalam kegiatan ekspor bukan hanya bahan mentah/komoditi saja, tapi juga ekspor berbentuk olahan pangan / olahan jadi. Salah satunya seperti biskuit dan wafer Kokola ini yang makin agresif menggarap pasar mancanegara.

Richard Cahadi, Direktur Pengelola PT Mega Global Food Industry (photo by Eva SWA)

Richard Cahadi, Direktur Pengelola PT Mega Global Food Industry (photo by Eva SWA)

Turnaround generasi ketiga

Biskuit Kokola setelah dikelola generasi ketiga berhasil melakukan turnaround. Transformasi gaya manajemen kuno ke modern sukses dilakukan Richard Cahadi (40 tahun) secara bertahap. Sejumlah terobosan pun dilakukan, sehingga Kokola yang awalnya hanya jago kandang di pasar Jawa Timur, kini menjadi perusahaan global di kategori snack. Tidak kalah dengan raksasa Mayora, Indofood atau Garudafood.

Namun, satu keunikan Kokola adalah: fokus menggarap pasar biskuit dan wafer saja. Tidak seperti perusahan makanan lain yang merambah ke mana-mana produknya, “Sejauh ini kami tidak terbawa arus ikut masuk ke pasar mie instan, minuman, permen, kacang atau snack yang lain. Kokola hanya fokus untuk produk-produk biskuit,” Richard menegaskan komitmen perusahaan yang berumur 30 tahun itu.

Terobosan generasi kedua ini di antaranya, masuk ke pasar ekspor. Hal ini dilakukan sejak tahun 2006. “Negara pertama ekspor biskuit Kokola adalah Australia. Setelah itu, ke rak-rak supermarket di Amerika Serikat, Eropa, China, Arab Saudi, Asia, Afrika dan lainnya. Semua itu terwujud berkat fokus perusahaan akan keamanan dan kesehatan produk yang kami hasilkan,” kata Richard yang lulusan S1 jurusan Marketing di Universitas Surabaya, dan pernah belajar Biscuit Making di Biscuit Institute, Singapura, serta mengikuti Food Safety Training dari Premisys Consulting itu.

Untuk pasar Asia, semua negara sudah ditembus biskuit dan wafer Kokola, kecuali Jepang saja. “Nggak tahu kenapa lidah orang Jepang kok beda sendiri. Padahal, produk terbaru kami rasa maca atau green tea direpons antuasias oleh konsumen Korea, Taiwan dan China, tapi di Jepang susah masuknya, “keluh Richard sembari geleng geleng kepala.

Hingga kini Kokola sudah berhasil merambah pasar ekspor dengan komposisi 50% dan sisanya sebanyak 50% untuk domestik. Jumlah itu mengalami kenaikan dari sebelumnya. Sebagai gambaran dua tahun lalu kapasitas pasar eskpor 40% dan 60% untuk domestik.

Perubahan lain yang dilakukan Richard, menerapkan konsep open kitchen. Jika dulu pabrik Kokola tertutup untuk khalayak, kini siapa pun boleh masuk asalkan sesuai prosedur. Hal ini dilakukan setelah pabrik direnovasi menjadi lebih besar, modern, bersih dan hygienis.

Konsep Total Food Safety diterapkan manajemen di area pabrik. Misalnya, sebelum memasuki tempat produksi, pengunjung wajib memakai pakaian bebas bakteri seperti, masker, pembungkus sepatu, pelindung kepala. Ruang produksi terpantau sangat bersih dari debu termasuk mesin oven otomatis yang mempunyai panjang hampir 200 meter. Meski di dalam ruang produksi, namun suhu di ruangan tidak terlalu panas.

Dengan terbukanya proses produksi Kokola untuk umum, maka manajemen membuat program kunjungan “Kokola House” dan membuat masyarakat tertarik untuk bertandang. Mulai dari anak-anak sekolah, mahasiswa, ibu ibu pengajian, organisasi datang ke Kokola House.

“Saat ini total luas pabrik Kokola di Gresik seluas 5 hektar dengan kapasitas produksi 1 line 3 ton per hari. Untuk jenis produk ada 60 SKU dan harga produk mulai Rp.1000 hingga Rp30 ribu per piece,” tambag Richard yang tubuhnya dibalut kemeja putih dan celana hitam saat ditemui di sela sela pameran Trade Expo Indonesia 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan RI, beberapa waktu lalu.

Gebrakan lain turnaround ala Richard, jika dulu hanya promosi di tingkat daerah, akhir-akhir ini sudah aktif mengikuti pameran produk makanan di dalam negeri skla nasional dan luar negeri. Salah satunya di ajang Trade Expo yang sudah diikuti selama 3 tahun terakhir. “Kami juga pernah ikut pameran makanan di Thailand, Dubai dan negara-negara lain,” jelasnya lagi.

Suasana pameran stan Kokola di Trade Expo Indonesia 2015

Suasana pameran stan Kokola di Trade Expo Indonesia 2015 (photo by Eva SWA)

Gaya manajemen modern Richard juga ditunjukkan dengan penggunaan brand ambassador. Kali ini Kokola mempercayakan ke ustadzah Mamah Dedeh. Mengapa? “Mamah itu sosok yang konsisten berdakwah. Dan ini sesuai dengan visi Kokola yang konsisten hanya menggarap pasar biskuit dan wafer saja. Selain itu, Mamah banyak pengikut atau jamaah dari kalangan ibu-ibu yang cocok dengan segmen pasar Kokola. Jadi, klop,” jelasnya seraya mengatakan susah untuk menggaet Mamah Dedeh sebagai duta merek, karena beliau sangat selektif.

“Untuk menjadikan Mamah Dedeh sebagai duta merek tidak gampang. Sampai-sampai Mamah itu harus kenal dengan ayah saya dan keluarga. Perkenalan kami dimulai saat mengundang beliau sebagai penceramah untuk pengajian karyawan,” kenang Richard.

Setelah Mamah Dedeh kenal baik dengan keluarga pemilik pabrik Kokola ini, maka tagline perusahaan ini pun mengusung kalimat “Mamah Tahu Sendiri”. Pasalnya, Mamah sudah menyaksikan sendiri kebersihan pabrik, kehalalan makanan dan proses produksi secara langsung. “Setelah Mamah Dedeh jadi bintang iklan biskuit Kokola, penjualan kami naik signifikan,” ujarnya enggan menyebut berapa fee duta merek Kokola itu.

Sejatinya, diakui Richard untuk menggunakan brand ambassador karena “terpaksa” mengikuti strategi promosi perusahaan-perusahaan di Indonesia. “Di pasar makanan luar negeri itu tidak ada tren penggunaan duta merek, lantaran yang diutamakan adalah kualitas produk. Sebaliknya, di Indonesia, jika produk makanan tidak menggunakan brand ambassador orang terkenal, produknya kurang laku. Jadi harus pandai-pandai menetapkan siapa brand ambassador yang tepat,” dia menyarankan.

Perubahan lain yang dilakukan Richard: inovasi tiada henti. Begitu ada kesempatan, maka momentum itu tidak dilewatkan begitu saja. Lihat saja terobosan dalam varian rasa. Baru-baru ini Kokola memelopori biskuit dan wafer rasa maca atau green tea yang sedang tren untuk kategori minuman. Dan Kokola mengolah maca itu ke biskuit dan wafer yang lezat plus harga terjangkau.

Gebrakan lain, membuat kemasan biskuit dari plastik dengan warna – warna pastel. Ini terkait dengan gaya hidup bahwa, makanan itu fashion juga, sehingga harus mengikuti tren mode. Secara bertahap, kemasan kaleng akan ditinggalkan karena gampak ‘penyok’ (rusak) dan karatan. Sedangkan kemasan plastik ini dengan desain yang eye catching disukai anak-anak, sehingga jika biskuit atau wafer sudah habis, maka wadahnya masih bisa digunakan untuk hal lain.

Terakhir, gebrakan yang dilakukan Richard, soal jalur distribusi. Jika dulu produk Kokola hanya dijumpai di pasar tradisional dan warung saja, kini Kokola tersebar di mana – mana. Di pasar Indonesia, distribusi produk-produk Kokola ada di jaringan hypermarket dan supermarket, seperti Hypermat, Giant, Hero, Lion Superindo, Carrefour, Yogya Toserba, Griya Toserba, Hari Hari Pasar Swaalayan, Naga Swalayan, serta Ramayana di seluruh Nusantara.

Untuk pasar luar negeri, produk Kokola tersedia di ritel-ritel modern dunia seperti Carrefour, BigW, KMart dan Woolworths. Di Australia, Woolworths sendiri merupakan jaringan ritel besar dengan 890 gerai.

Meskipun demikian, pasar tradisional tidak ditinggalkan. “Produk-produk Kokola tetap ada di pasar tradisional dan warung-warung, malah semakin luas jangkauannya,” ungkap Richard.

Yang jelas, Kokola bertujuan untuk ikut menyajikan makanan yang sehat dan aman bagi para konsumen yang pada akhirnya memberikan rasa kebahagiaan. Ha inilah yang mendasari Kokola untuk berkontribusi kepada negara dengan menghadirkan biskuit yang terjamin akan kehalalan dan keamanan. Komitmen ini adalah bukti tanggung jawab Kokola pada konsumen, seiring dengan program pemerintah yang ada, juga label halal sebagai syarat utama untuk konsumsi masyarakat muslim.

Sementara itu, Andi Fian Octavia, Public and Media Relation Kokola Group, menambahkan, untuk menciptakan biskuit halal dan aman butuh proses dan tahapan yang terjaga dan terstandarisasi. Hal ini hanya bisa dicapai dengan spirit moral yang kuat. Untuk itulah Kokola Group berkomitmen membuktikannya dengan berhasil meraih berbagai sertifikat keamanan pangan baik berstandar nasional maupun internasional.

Adapun sertifikasi yang telah berhasil diperoleh antara lain: Food Safety ISO 22000, sertifikasi halal produk dan proses dari MUI (MajelisUlama Indonesia), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), BRC Global Food Safety (British Retail Consortium), Halal Process & Halal Product Certification) dari Majelis Ulama Indonesia.

Bagaimana rencana pengembangan bisnis Kokola ke depan? “Kami targetkan konservatif pertumbuhan bisnis Kokola tahun 2016, yakni tumbuh 5-10% mengingat kondisi ekonomi nasional dan global kurang membaik. Betul, pendapatan kami 50% dari pasar ekspor. Tapi, bahan baku produk Kokola itu 90% impor, karena di negara kita tidak ada gandum,” Richard meyakinkan.

Selain itu, dalam waktu dekat Kokola akan merangsek ke jaringan Indomaret dan Alfamart. Tujuannya, untuk lebih mendekatkan diri ke konsumen.”Ini tantangan Kokola yang kini sedang digarap,” ujar bos dari 1.000 karyawan ini. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved