Management

WWF: Meski Terbesar, Industri Perikanan Indonesia Belum Aman

Oleh Admin
WWF: Meski Terbesar, Industri Perikanan Indonesia Belum Aman

Indonesia kini menduduki peringkat ketiga dunia penghasil ikan terbesar setelah Cina dan India. Namun menjadi ternyata hal tersebut tak menjamin Indonesia memiliki industri perikanan yang baik. Inisiatif menangkap ikan dengan cara aman demi keberlangsungan usaha belum diserap industri perikanan. Tak heran bila belum ada perusahaan Indonesia bersertifikat Marine Stewardship Council (MSC).

Ahmad Hafizh Adyas, Koordinator Penanganan Bycatch, Program Kelautan dan Perikanan WWF Indonesia

Dengan memiliki sertifikat dari MSC, perusahaan telah terbukti ramah terhadap lingkungan kelautan. Perusahaan tersebut menangkap ikan tidak menggunakan alat dan bahan berbahaya sehingga keberlangsungan usaha perusahaan maupun biota laut pun terjamin. Dari sisi bycatch, mereka pun mengembalikan biota laut yang memang bukan target penangkapan seperti penyu ke alamnya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang industri perikanan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan laut, reporter SWA Online, Tika Widyaningtyas, mewawancarai Ahmad Hafizh Adyas, Koordinator Penanganan Bycatch, Program Kelautan dan Perikanan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Berikut kutipannya.

Perusahaan mana saja di dunia yang sudah sadar pentingnya ramah lingkungan kelautan?

Coca cola sudah. Aksinya membersihkan pantai, mengedukasi ritel dan konsumen jangan buang sampah ke luat. Ritel Wal-mart mulai tahun 2012 hanya terima ikan certified ramah lingkungan. Ranch market juga bersedia beli ikan ramah lingkungan dengan harga yang sedikit lebih mahal. Tujuannya supaya mengedukasi ke pembeli bahwa seekor ikan sampai ke piring itu tidak cuma begitu saja, ada proses penangkanpannya. Proses penangkapannya itu yang harus diperhatikan. Mereka mengedukasi ke supplier juga bahwa banyak lho yang mau makan ikan ramah lingkungan, bukan hanya sekedar ikan. Nah, supplier akan didik ke nelayannya juga, kalau tangkap ikan jangan pakai bom, potas, pakai yang ramah lingkungan saja.

Memang alat tangkap ikan yang ramah lingkungan itu apa?

Pancing. Itu paling aman.

Bukankah itu pasti butuh waktu dan kesabaran ekstra yang kurang bisa ditolerir industri?

Pernah dengar longline fishing? Alat tangkap yang pakai ratusan sampai ribuan pancing dalam satu rangkaian. Jadi kapal mereka sudah pakai radio buoy. Satu rangkaian paling sedikit 800 pancing, paling banyak 2500 pancing, biasanya buat tangkap tuna di laut lepas. Satu kapal, panjang talinya itu bisa 80 kilometer sampai 100 kilometer. Ada juga alat tangkap berupa kait melingkar atau pancing lingkar. Jadi kalau nelayan pakai alat itu, penyu jarang tertangkap. Efeknya, kemungkinan bisa menangkap tuna lebih besar. Yang kedua, mereka tidak perlu buang waktu untuk melepaskan penyu. Dengan perubahan dari sisi saja bisa menghindari resiko nelayan terkena bom, terserang penyakit karena potasium, dan ikan yang didapat lebih baik mutunya.

Bagaimana dengan penerapannya di Indonesia?

Di Indonesia perusahaan yang aware dengan masalah ini masih sangat sedikit. Yang pernah kerja dengan kami ada tiga. Mereka perusahaan penangkap ikan karang hidup di Kalimantan dan Bali, Pulo Mas, Valla. Mereka memastikan ikan-ikan yang mereka tangkap itu ramah lingkungan. Mereka juga sudah sadar bahwa kalau ikan di laut habis, laut rusak, mereka tidak bisa cari uang. Kalau yang dapat sertifikat MSC belum ada sama sekali.

Ya keuntungan instan. Kalau dapat ikan dengan bom potas kan gampang. Apalagi cari ikan sekarang susah, sudah terlalu banyak ‘tekanan’ dari laut. Penangkap ikan juga semakin banyak.Selain itu nelayan Indonesia banyak terpaku pada kuantitas. Yang penting tangkap yang banyak tapi kualitasnya jelek. Dan fairtrade dengan supplier juga belum ada. Nelayan bilang kualitas A, supplier bilang kualitas B. Itu yang kemudian memacu nelayan menangkap sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan kualitas. Kalau di luar negeri, mereka sudah mulai mengerti bahwa yang penting itu kualitas. Tidak perlu tangkap sampai sepuluh nih, dua saja cukup tapi kualitasnya baik setara sepuluh ikan.

Apakah ada perbandingan harga antara yang ramah lingkungan laut dengan yang tidak?

Kalau selisih harga, saya kurang tahu. Tapi sebenarnya harga itu hal terakhir. Kami lebih mengedukasi bahwa aksi ini adalah untuk kelangsungan mata pencaharian kalian (pelaku industri perikanan) juga. Dengan pakai potas atau bom itu akan merusak terumbu karang. Kalau terumbu karang rusak, ikan-ikan juga tidak akan ada. Terumbu karang itu kan rumah ikan. Yang sudah berjalan, bentuk penghargaan dan keuntungannya tidak hanya harga yang lebih tinggi, tapi juga lebih safe dalam melakukan penangkapan. Mereka juga terus menerus dapat ikan, terjamin mata pencahariaan juga. Jangan sampai seperti di tempat lain, 5 tahun saja ikan sudah habis.

Bagaimana dampaknya kalau situasi ini tidak membaik, industri perikanan masih acuh dengan lingkungan laut?

Ada peneliti dari Kanada, Boris Worm, yang memprediksi kalau tidak ada perbaikan tingkat eksploitasi dari yang sekarang terjadi, 50 tahun lagi perikanan dunia akan colapse. Itu dinyatakan tahun 2005 atau 2006. Sekarang coba saja kalau jalan ke pelabuhan, bertemu nelayan, tanya, “Pak, rata-rata hasil tangkapan sekarang dengan 5 tahun lalu bagimana?” Pasti jawabannya hasil tangkapan semakin susah, ukuran ikan semakin kecil, daerah tangkapan semakin jauh. Itu gejala terjadi over-fishing.

Apa yang dilakukan WWF untuk mencegah hal tersebut?

Untuk konsumen, ada yang namanya aplikasi Seafood Guide yang bisa didownload di BlackBerry. Kami mengedukasi ke konsumen bahwa untuk makan seafood harus hati-hati dalam memilih. Di aplikasi itu ada seafood warna merah, kuning, dan hijau. Jadi kalau ikan yang mau dimakan itu di kategori merah, sebaiknya jangan dimakan karena tingkat eksploitasi tinggi. Kalau hijau aman, boleh dimakan. Kategori itu kami susun berdasar jenis ikan dan cara tangkapnya. Aplikasi ini sangat user friendly. Diluncurkan tahun 2006, tapi terus kami update. Harapannya, seafood yang tadinya di kategori merah bisa pindah ke kuning, kuning bisa pindah ke hijau. Ke nelayan, kami membina, memberi panduan. Jadi nelayan itu benar-benar kami minta turut aktif berperan dalam kegiatan perikanan yang bertanggung jawab. Karena kami sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat tidak punya kekuatan hukum maupun pengaruh untuk memaksa, yang kami lakukan lebih ke pendampingan, ngobrol santai, bangun kepercayaan. Masyarakat pesisir itu sangat susah ditembus. Kami bisa menghabiskan tiga hari sampai seminggu hanya untuk nongkrong di pelabuhan seharian, ngobrol sambil ngopi. Kalau hubungannya sudah enak, baru tanya, “Pak tangkap ikannya bagimana?”, kemudian ikut ke laut. Kita harus mendapatkan hati mereka dulu sebelum bekerja dengan masyarakat. Terkadang harus atur strategi juga, bilang sedang penelitian. Paling susah itu dengan nelayan jaring trol atau pukat harimau di Laut Arafura dan Sumatra Utara.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved