Marketing Strategy

Buya Bomba, Bunganya Donggala

Buya Bomba, Bunganya Donggala

Di Indonesia Islamic Fashion Fair (IIFF) 2013, bunga dari Donggala merekah di tangan perancang Nieta Hidayani. Namanya buya bomba. Warnanya pun macam-macam. Ada ungu yang mirip anggrek Dendrobium. Ada pula jingga, seperti soka. Sebenarnya apa “bunga” ini?

Hasdaniaty S. Djafar, Bendahara Dekranasda Provinsi Sulawesi Tengah

“Buya berarti ‘sarung’, sedangkan bomba ‘bunga’,” tutur Hasdaniaty S. Djafar, Bendahara Dekranasda Provinsi Sulawesi Tengah, sambil menunjukkan pada SWA online bahwa sebagian besar kain tenun Donggala bermotif bunga (31/5). Selain buya bomba, ada 5 jenis kain lagi: kain buya subi, buya bomba kota, buya awi, kain pelekat garusu dan buya cura, terakhir kombinasi antara bomba dan subi.

Rupanya yang paling mahal adalah buya subi. “Karena ini kain songket yang disisipi benang emas,” terang Hasdaniaty ketika ditanya alasannya. Meski demikian, hanya garis keturunan raja-raja Donggala yang mengenakan buya subi bersulam benang emas sungguhan. Di pasar bebas, tenunan tersebut sudah mengandung pewarna industri (sintetis).

Memasuki hari kedua IIFF 2013, tenun Donggala yang aslinya dikenakan sebagai busana upacara pernikahan adat Sulawesi Tengah ini sudah terjual sekitar 10 helai. Tiap helai dihargai Rp150.000 jika berbahan katun dan Rp275.000 jika sutra. Dan di tangan Nieta, kain yang sebelumnya berbentuk dasar sarung kini bisa menjadi blazer dan gaun. Harganya pun bisa menyentuh Rp2-2,5 juta.

Di tempat asalnya, Kabupaten Donggala, buya bomba dan teman-temannya ditenun oleh para perajin tradisional. “Penenun yang terdata berjumlah 400 orang, mulai dari ibu rumah tangga sampai nenek-nenek yang memang hidup dari menenun,” papar Hasdaniaty. Sayang, tidak semuanya produktif.

Apalagi menenun adalah proses kreatif yang makan waktu. Seorang penenun harus bekerja dari pagi hingga sore, mirip pekerja kantor, selama 30 hari untuk menghasilkan sehelai buya bomba. Berapa upah yang akan mereka dapatkan untuk itu? Rp150.000-200.000.

Tak heran, sedikit kaum muda Donggala yang tertarik meneruskan kerja kreatif ini. Zalzulmida Djanggola, Ketua Dekranasda Sulteng, pun turun tangan. Ia minta SMK setempat menyaring para siswa. Yang berminat menenun akan diberi pelatihan.

Jalan itu ditempuh agar tenun Donggala terangkat menjadi busana bagi segala jenjang usia. Busana berbasis tenun Donggala memang baru dieksplorasi 2 tahun terakhir ini. Sekalipun baru seumur jagung, tujuan besarnya adalah go international. Tapi, perajin masih belum sanggup menggenjot produksi untuk mengantisipasi kalau-kalau jumlah permintaan meledak.

Tahun lalu saja, pada kesempatan Hari Bakti PKK di Banjarmasin, ratusan potong busana berbahan tenun Donggala ludes diborong pengunjung pameran. Harganya Rp400.000 sehelai. “Sebetulnya Dekranasda Sulteng sekadar ingin mengisi stand saja. Kok ternyata laku?” kisah Hasdaniaty.

Nieta Hidayani, perancang busana dan anggota APPMI

Ceritanya tak beda di IIFF 2013. Meski rancangan Nieta akan dipakai untuk peragaan busana saja, pengunjung sudah tak tahan mau membeli. Tampaknya, pengunjung sudah hafal kekhasan Nieta dalam penggunaan bahan-bahan asli Indonesia.

“Saya hanya ingin yang berkarakter daerah. Ada sense of belonging dengan daerah-daerah kita,” ujar Nieta yang berasal dari Jawa Barat. Mengikuti seleranya, Nieta menciptakan rancangan siap pakai yang sederhana, namun berwarna cerah. Kemudian, ibarat bunga, buya bomba dari Donggala itu merekah di runway. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved