Marketing Technology Trends

Dampak Disrupsi Teknologi dan Milenial terhadap Bisnis

Dampak Disrupsi Teknologi dan Milenial terhadap Bisnis

Saat ini kita tidak hanya sedang menghadapi disrupsi teknologi, tapi juga disrupsi milenial. Yuswohady, pengamat pemasaran, menyebutnya sebagai Twin Disruption. Ia menjelaskan, generasi tersebut akan menggilas banyak hal dalam konteks bisnis.

“Saya takutnya nanti Kredit Kepemilikan Rumah sudah tidak laku lagi, karena milenial adalah experience seeker dan leisure seeker. Mereka tidak mau konsumsi barang, maunya konsumsi pengalaman. Duitnya tidak dibelikan sepatu, motor, rumah, tapi liburan. Milenial bukan cari good, tapi experience atau leisure. Milenial adalah happiness seekers. Kalau leisure dan experience memang leads to happiness. Kalau benda itu leads to anxiety and stress.” ungkapnya pada acara Indonesia Best Brand Awards 2018 SWA & MARS di Jakarta (22/12/2018).

Penyumbang devisa terbesar 2018 adalah pariwisata, mengambil alih posisi CPO, minyak, dan batu bara. Makanya pada tahun 2019, peluang bisnis yang bagus adalah bisnis pariwisata atau digital. “Upnormal itu bukan bisnis makanan, itu bisnis leisure, experience. Karena di Upnormal tidak penting Indomie toppingnya, yang penting foto-foto,” ujarnya.

Yuswohady menambahkan, “Jadi, ancamannya adalah kita menghadapi dua disrupsi, milenial dari sisi demand dan technology disruption dari sisi suplai. Ketika bertemu, ketemulah ekonomi lagi boom ketemu leisure economy. Penggeraknya adalah milenial disruption.”

Saat ini, mungkin milenial masih berstatus sebagai first jobber dan early manager, jadi daya belinya belum setinggi Generasi X dan Baby Boomers. Namun, ia memprediksi bahwa 5-10 tahun ke depan milenial akan menggilas landskap pelanggan.

Yuswohady menegaskan bahwa tahun 2019 adalah tahun politik. Menurutnya, bila calon pertahana yang terpilih, sementara kalau sebaliknya, mungkin kondisi bisnis akan sedikit goyah. Alasannya, bila pertahana yang terpilih lagi, kebijakannya sudah dapat diprediksi, mengikuti kebijakan saat ini. Bila yang terjadi adalah sebaliknya, rentang waktu adaptasi calon lawan dari pertahana menyebabkan ketidakpastian. “Semua nunggu tahun depan, tahun politik. Pemilu effect dampaknya wait and see, utamanya bulan April dan Oktober. April adalah waktu di mana Presiden keluar. Oktober adalah keluarnya ckbinet,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, ia juga menjelaskan bahwa dari sektor ekonomi Indonesia, flat cenderung turun. Alasannya, disrupsi model bisnis more for less economy seperti yang dilakukan Gojek. Mereka yang menang adalah yang bisa menghasilkan more for less. Bila dibandingkan, value Gojek lebih tinggi dari ojek pangkalan; lebih mudah, lebih murah, lebih jelas tarifnya, sopirnya sudah teresertifikasi. “Gojek mendisrupsi industri transportasi karena ia memberikan layanan more for less. Makanya saya mendefinisikan disrupsi itu simple, terjadi ketika ada satu pemain yang bisa men-deliver more for less,” ungkapnya.

Sebanyak 60 persen Gross Domestic Product (GDP) Indonesia berasal dari household consumption dan spending. Bila banyak orang yang menekan pengeluarnnya dengan menggunakan Gojek, GDP akan turun. Namun, bukan berarti hal tersebut buruk. Output yang dihasilkan digital economy tidak hanya uang, tapi ada hal lain seperti kepuasan, yang mana tidak tercatat dan tidak mampu tertangkap oleh GDP konvensional.

“Tidak perlu takut dengan ekonomi kita yang sepertinya mati suri, stabil, karena barangkali output digital tidak tertangkap. Bisa jadi sebenarnya kalau dihitung dengan hal-hal tadi, sebenarnya GDP kita lebih dari yang terhitung. Yang jadi pertanyaannya, apakah kita masuk ke 5 persen ini atau tidak,” ungkap dia.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved