Marketing Strategy

Kelas Menengah Muda: Knowledgeable Consumers

Kelas Menengah Muda: Knowledgeable Consumers

Agus W Suhadi, Prasetiya Mulya Business School, kelas menengah

Agus W Suhadi

Populasi kelas menengah yang mencapai 130 juta orang di Indonesia merupakan pasar gemuk yang bisa dibidik oleh para pengusaha dan pemilik merek. Persoalannya adalah, karakteristik kelas menengah muda Indonesia kini sudah familiar dengan moblie phone, internet dan social media, sehingga mereka menjadi “knowledgeable consumers” (konsumen yang memiliki pengetahuan terhadap produk). Perkembangan social network menyebabkan sumber informasi tidak hanya yang berasal atau didominasi oleh produsen. Apa saja strategi yang mesti ditempuh untuk membidik konsumen kelas menengah muda ini? Agus W. Soehadi, pakar pemasaran Prasetya Mulya Business School menguraikannya kepada Radito Wicaksono. Berikut wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat fenomena dan pertumbuhan produk/brand menengah di Indonesia? Seberapa berkembang dan indikatornya?

Fenomena pertumbuhan produk/brand menengah di Indonesia tidak terlepas dari besarnya jumlah kelas menengah yang didominasi oleh usia produktif. Menurut Bank Dunia terdapat 134 juta kelas menengah dengan pengeluaran US$ 2 – 20 per hari dan sekitar 14 juta yang mempunyai pengeluaran US$ 6 – 20. Lebih lanjut nilai uang yang dibelanjakan sangat besar, sebagai contoh belanja pakaian dan alas kaki pada tahun 2010 mencapai Rp 113,4 triliun dan belanja rumah tangga dan jasa sebesar Rp 194.4 triliun, belanja di luar negeri Rp 50 triliun dan biaya transportasi sebesar Rp 283,6 triliun. Lebih lanjut menurut Bank Indonesia terdapat 6,7 juta pemilik kartu kredit di tahun 2010 dengan jumlah transaksi sebesar Rp 161,4 triliun. Dari data diatas menunjukkan bahwa potensi pasar kelas menengah sangat menjanjikan di masa yang akan datang.

Untuk menyasar mereka, bagaimana cara-cara yangg dilakukan pemasar dan pemilik merek untuk menggarap kelas menengah? Sudah tepatkah atau apakah ada yang harus ditingkatkan?

Yang menarik dari kelas menengah muda adalah mereka umumnya familiar dengan mobile phone, internet dan social media. Sekitar 22 % penetrasi internet (55 juta pengguna) dan 18 % penetrasi social network (43.8 juta pengguna) dan 109 % penetrasi pelanggan mobile phone (270 juta pelanggan). Indikator tersebut menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia merupakan “knowledgeable consumers” (konsumen yang memiliki pengetahuan terhadap produk). Perkembangan social network menyebabkan sumber informasi tidak hanya yang berasal atau didominasi oleh produsen. Produsen tidak dapat lagi mengendalikan informasi yang diterima oleh konsumen. Pendekatan yang dilakukan oleh produsen yang mengandalkan media massa dalam membangun brand kemungkinan ke depan efektivitasnya akan semakin tergerus oleh alternatif media yang sifatnya lebih personal dan komunikasi multi arah.

Upaya-upaya Integrated Marketing Communication (IMC) apa yang tepat dalam menyasar kelas menengah?

Seperti yang saya sebutkan di atas maka perusahaan harus lebih berani menggunakan berbagai variasi komunikasi dan media yang mulai bermunculan akhir-akhir ini, terutama di media digital. Sebagai contoh bagaimana Korea dengan cerdik menggunakan media digital untuk mengekspor budaya mereka seperti boy & girl band atau Gangnam style. Sehingga budaya mereka menjadi bagian dari lifestyle beberapa negara di luar Korea. Menurut saya ini yang akan menjadi tantangan pemasar ke depan.

Apa yang sebaiknya dilakukan dan tak boleh dilakukan (do and don’t) dalam menggarap kelas menengah ini?

Konsekuensi dari perkembangan diatas maka pasar semakin terkoneksikan yang menyebabkan mereka tidak hanya menjadi penonton dalam proses penciptaan nilai, tetapi mulai aktif berkontribusi dalam proses tersebut. Dalam pengertian konsumen memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memaknaulang kembali brand, mengubah atau memodifikasi produk atau menigintroduksi produk baru. Perumusan strategi dan aktivitas pemasaran harus mulai memikirkan bagaimana konsumen menjadi bagian integral serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan pemasaran. Konsumen akan berkontribusi secara nyata terhadap penciptaan nilai melalui keahlian dan sumberdaya yang dimiliki, serta waktu yang didedikasikan untuk kegiatan ini. Sebagai contoh, P&G telah menciptakan “P&G advisors” program yang mengundang para konsumen untuk aktif terlibat dalam pengembangan produk baru. Program ini dapat mengurangi rata-rata biaya pengujian produk baru dari US$ 25.000 menjadi hanya US$ 2.500. Untuk itu perusahaan/pemasar perlu menyediakan “panggung” (platform) yang memungkinkan interaksi intensif antarkonsumen ataupun dengan perusahaan.

Ke depan perusahaan dituntut untuk mengembangkan suatu “panggung” yang mudah diakses oleh seluruh individu yang memiliki kepentingan terhadap panggung tersebut. Lebih lanjut perusahaan harus memiliki kemampuan sebagai sutradara yang mampu mengatur “irama” dari para elemen yang terlibat sehingga menghasilkan pertunjukan yang menarik. Panggung tersebut tidak hanya menampilkan pertunjukan tetapi juga memberikan ruang bagi individu-individu lain untuk mengembangkan pertunjukan menarik lainnya. Semakin banyak pertunjukan yang dihasilkan maka semakin banyak aktor-aktor yang terlibat dan semakin banyak fans yang berkunjung ke panggung tersebut.

Biasanya kendala-kendala apa saja yang muncul dan bagaimana solusi mengatasinya?

Salah satu kendala utamanya adalah kesiapan dari pemasar/perusahaan melibatkan konsumen dalam penciptaan nilai.

Benarkah telah terjadi Revolusi Konsumen? Benarkah revolusi perilakukonsumenmenengahmengubah secara sangat mendasar rule of the game pemasaran di Indonesia? Seperti apa perwujudannya?

Salah isu utama yang dihadapi oleh pemasar adalah bagaimana meningkatkan engagement atau komitmen konsumen terhadap brand dan semakin mudahnya konsumen melupakan kedekatan hubungan dengan brand sebelumnya. Sebagai contoh loyalitas konsumen terhadap Nokia dalam waktu tidak terlalu lama tergerus dengan kedatangan Black Berry, yang juga mulai tergerus dengan kedatangan Apple dan Samsung. Beberapa pendekatan yang selama ini diyakini oleh pemasar seperti kekuatan produk, distribusi, komunikasi pemasaran dan harga belum cukup kuat meningkatkan komitmen mereka. Beberapa peneliti pemasaran mencoba menggunakan pendekatan games untuk meningkatkan engagement mereka. Elemen games seperti adanya unsur “meaning” (dalam pengertian setiap games memberikan arti tertentu bagi pemainnya), “mastery” (ada badge atau level sebagai hasil pencapaian yang diperoleh oleh pemain), dan “mystery” (ada sisi misteri yang tidak diketahui sebelumnya oleh pemain, membuat mereka ingin tahu lebih lanjut). Elemen games diharapkan akan meningkatkan interaksi antara brand dan consumer yang akhirnya akan meningkatkan engagement konsumen terhadap brand kita.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved