Marketing zkumparan

Strategi Minimal Agar Maksimal

Strategi Minimal Agar Maksimal

//Tak banyak gembar-gembor mengolah publikasi, Minimal terus merangsek dengan membangun merek dan menggarap pasar. Produk pakaian ini lebih banyak melakukan pendekatan customer engagement, cara ampuh melahirkan pelanggan loyal//.

Minimal

Titi Kamal nampak anggun dengan balutan scarlet dress bermotif bunga-bunga yang dikenakannya. Ada juga beragam motif pakaian lainnya yang dikenakan aktris kelahiran 7 Desember 1981 ini. Semua nampak serasi dan elegan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam foto-fotonya di Instagram @minimalstores atau di webiste sekaligus e-commerce minimal.co.id. Memang, sejak tahun lalu, Titi Kamal menjadi duta merek Minimal, produk pakaian keluaran PT Gistex Retailindo.

Sejatinya, Minimal bukanlah pemain baru. Merek ini hadir sejak 2002. Tentu saja, jumlah gerai dan pelanggannya sudah banyak. Bahkan, kini selain ada produk Minimal Everyday yang menyasar wanita usia 25-35 tahun, pada 2013 juga telah diluncurkan merek premiumnya, Minimal Gold, yang menyasar wanita kelas A usia 25-35 tahun. Dua tahun lalu, mulai dihadirkan Tres Jolie, pakaian untuk remaja usia 17-25 tahun, dan Minimal Man, pakaian untuk pria usia 25-35 tahun. Yang teranyar, pada akhir 2017, Minimal meluncurkan lini pakaian olah raga, Enzorro.

Minimal adalah merek produk lokal. Berada satu payung dengan Grup Gistex —perusahaan garmen yang berdiri sejak 1975, pabriknya tersebar di berbagai wilayah seperti Majalengka, Cileunyi, Wonogiri, dan Sadang, serta memasok produknya untuk merek-merek pakaian internasional– Minimal juga satu grup dengan factory outlet Rumah Mode.

Hesty Halim

Hesty Halim, GM PT Gistex Retailindo (Minimal)

Yang menarik, kendati didukung oleh grup perusahaan garmen ternama, Minimal mencoba membangun merek sendiri. “Pada 2002, kami membangun Minimal dari nol seperti mendesain sendiri, memilih bahan kain sendiri, dan produksinya bekerjasama dengan vendor-vendor di Indonesia sehingga tidak menggunakan pabrik Gistek karena tidak ingin tumpang tindih antargrup. Namun, semua quality control-nya kami awasi,” ujar Hesty Halim, GM PT Gistex Retailindo (Minimal).

Langkah Minimal menggandeng vendor lokal/UKM juga menjadi kontribusinya dalam mengembangkan mereka agar semakin maju. Selain itu, semua SDM Minimal, kecuali CEO-nya, adalah kaum profesional, bukan dari keluarga Grup Gistex.

Mengapa namanya Minimal? “Karena filosofinya, kami ingin Minimal bisa dipakai sehari-sehari dan bisa dipakai oleh siapa saja,” kata Hesty. Meski begitu, kualitas produk adalah hal yang utama sehingga Minimal diklaim tahan lama, tidak kalah dengan merek global, dan harganya terjangkau, Rp 99 ribu-649 ribu. Seperti sudah disinggung di atas, Minimal pun memiliki berbagai varian, selain Minimal Everyday, ada pula Minimal Gold, Tres Jolie, Minimal Man, dan Enzorro.

Inovasi menjadi hal penting lainnya dalam membesut bisnis fashion ini. “Kami selalu riset kain-kain yang baru di dunia dan selalu mengikuti tren intenasional. Dan, kami selalu ingin menjadi yang pertama. Contohnya, untuk Minimal Man, membuat kemeja rajut pertama dengan teknologi tertentu,” Hesty menandaskan.

Minimal pun sangat memperhatikan masalah people/SDM seperti desainer dan tim kreatif. Sehingga, pihaknya tidak segan-segan mengirim mereka untuk belajar ke luar negeri. Diakuinya, semua SDM berasal dari dalam negeri. Namun, pihaknya sering berkolaborasi dengan desainer dari luar negeri, seperti Singapura atau Hong Kong.

Meskipun koleksinya ditujukan untuk pasar dalan negeri, dalam merancang desainnya Minimal sengaja merujuk pada empat musim di luar negeri, yaitu spring (musim semi), summer (musin panas), fall (mesin gugur), dan winter (musim dingin). Pada saat spring, umpamanya, Minimal banyak membuat koleksi pakaian Imlek. Saat summer, membuat koleksi batik limited edition. Begitu pula saat fall dan winter, Minimal mengikuti tren di luar negeri dengan membuat pakaian hari Natal. “Salah satu ciri khas Minimal adalah motif bunga-bunga,” ujar Hesty.

Lalu, bagaimana strategi promosinya? Hesty mengaku, pihaknya tergolong jarang berpromosi. “Selama 15 tahun berdiri, kami pasang billboard baru sekali. Itu pun hasil kerjasama dengan BNI,” ungkapnya terkait promosi above the line (ATL), yaitu berpromosi melalui media konvensional atau billboard. Kalaupun berpromosi, ia lebih banyak memanfaatkan marketing public relations (MPR), yaitu melalui liputan media ketika Minimal ada berbagai kegiatan.

Dalam melakukan branding dan menggarap pasar, Minimal banyak melakukan customer engagement (CE) untuk menjalin hubungan dengan pelanggan. Kebetulan ada komunitas pelanggan: Minimal and Friends (MnF). Dengan menggandeng pelanggan setia inilah, Minimal melakukan banyak kegiatan.

Diungkapkan Hesty, MnF terbentuk dengan sendirinya. Awalnya, para pelanggan datang ke berbagai gerai Minimal dan pihaknya selalu memberikan perhatian kepada mereka. “Jadi, ketika ke toko kami, mereka tidak hanya berbelanja, tapi kami selalu berteman dengan mereka. Lama-lama terbangun promosi word of mouth marketing sehingga dengan sendirinya terbentuk seperti komunitas sendiri,” papar Hesty. Ia menjelaskan, awalnya anggota MnF jumlahnya sedikit, tetapi lama-kelamaan semakin banyak sehingga saat mengadakan acara selalu dibatasi.

Melalui MnF, sering dilakukan di antaranya focus group discussion (FGD) untuk mengembangkan koleksi Minimal. Bisa juga sekadar membuat acara, semacam Woman Day. Tahun lalu, di gerai Minimal Botani Square Bogor pernah diselenggarakan kegiatan Woman Day dengan mengundang 40 pelanggan setia. Acaranya makan-makan, manicure–pedicure, bagi-bagi voucer Mininal, edukasi tentang fashion atau kesehatan mencegah kanker payudara. Sebelumnya, di 2016, Minimal bersama pelanggannya mengadakan acara corporate social responsibility (CSR); acara ini diadakan dua tahun sekali.

Minimal juga aktif menggunakan media digital dan media sosial seperti Facebook dan Instagram. “Konten di media sosial harus di-creat story-nya agar tidak hanya menampilkan produk tapi juga ada edukasinya,” kata Hesty. Minimal juga mengembangkan website sekaligus toko online-nya dan bermitra dengan berbagai e-commerce seperti Zalora, Lazada, Blibli, dan Elevania untuk memasarkan produknya.

Hal lain yang dilakukan Minimal adalah berkolaborasi dengan mitra. Misalnya, dengan NetTV, saat salah satu acaranya, iLook, melakukan syuting di gerai Minimal. Minimal juga menyediakan berbagai pakaian untuk digunakan dalam film Cek Toko Sebelah, Critical Eleven , dsb.

Sejalan dengan itu, Minimal pun agresif menggembangkan jaringan gerainya. Saat ini, telah ada 86 gerai milik sendiri untuk kelima varian mereknya. Yang paling banyak adalah gerai Minimal Everyday, sekitar 80, yang tersebar di seluruh Indonesia. “Outlet Minimal pertama di Istana Plaza, Bandung. Masuk ke Jakarta mulai 2005 dan sekarang ada 30-an outlet di Jakarta,” kata Hesty. Yang dibidik adalah mal segmen B sehingga di Plaza Senayan atau di Plaza Indonesia yang merupakan mal segmen A tidak ada gerai Minimal.

Pertambahan gerai Minimal cukup signifikan: pada 2005 baru lima; 2010, 34 gerai; 2015, 75 gerai; dan 2017, 86 gerai. “Pertumbuhan bisnis kami ditargetkan 15% per tahun. Namun pada 2017, kami bisa tumbuh di atas 20%,” kata Hesty tanpa merinci lebih jauh. Memasuki 2018 ini, pihaknya optimistis bisa tumbuh 30%. Gerainya pun ditargetkan untuk terus bertambah. Seperti untuk Enzorro akan ditambah lima gerai lagi, Minimal Everday 10 gerai, Minimal Man tiga gerai, dan Tres Jolie lima gerai lagi. “Total karyawan sekitar 500 orang. Di kantor Jakarta 100 orang, di gudang 30 orang, dan di berbagai gerai Minimal paling sedikit ada empat SPG,” ujarnya merinci. Obsesinya ke depan, Minimal bisa melakukan ekspor ke tiga negara di Asia Tenggara.

Dalam pandangan Sumardy, pemerhati pemasaran, Minimal secara brand visibility cukup bagus. Sebab, target audiens yang mengunjungi pusat perbelanjaan pasti cukup kenal merek ini karena ada di hampir semua pusat perbelanjaan. Pertanyaan besarnya, apakah membangun merek dengan store visibility masih relevan di era hybrid seperti ini? Saat ini, tren industri fashion justru bergeser ke storeless bersamaan dengan derasnya arus teknologi disrupsi yang tidak hanya melahirkan penjual-penjual baru, tetapi juga menciptakan merek-merek baru yang terdengar dan terlihat lebih relevan bagi generasi milenial.

Fashion itu selalu tentang market driving, bukan sekadar market driven. Market driving berarti brand-nya harus bisa menjadi pengendali tren di pasar, bukan sekadar market driven atau mengikuti selera pasar. Merek fashion yang bisa melakukan market driving biasanya tidak hanya berhasil dari segi penetrasi, tetapi juga memiliki ekuitas yang baik di benak pelanggan,” kata Sumardy.

Nah, setelah belasan tahun melakukan penetrasi dan membangun merek, tantangan terbesar Minimal adalah bagaimana tetap relevan sehingga mereknya tetap otentik di mata segmen milenial yang akan semakin besar. Banyak merek bagus yang lahir di awal tahun 2000-an tidak mampu mempertahankan relevansi merek sehingga tidak cukup menarik bagi generasi sekarang. Ini merupakan tantangan terbesar yang harus dipertimbangkan oleh Minimal karena bukan lagi tentang produk dan inovasi, tetapi tentang relevansi merek.(*)

Riset: Hendi Pradika


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved