Marketing

Tiga Bersaudara Berebut Pasar Ponsel Indonesia

Tiga Bersaudara Berebut Pasar Ponsel Indonesia

Di China, negara asalnya, Oppo, Vivo, dan OnePlus berasal dari satu induk perusahaan yang sama: BBK Electronics. Di Indonesia, ketiga merek ponsel pintar tersebut bersaing ketat memperebutkan pasar yang gurih dan legit dengan strategi dan manajemen berbeda. Hasilnya? Ada yang eksis dan ada yang hengkang.

Vivo

Alinna Wen, Manajer Merek Oppo Indonesia

Ponsel pintar (smartphone) asal China bukan lagi dipandang sebelah mata. Ponsel asal Negeri Panda ini sekarang cukup digdaya di Indonesia karena sudah memiliki pasar tersendiri. Sebut saja, antara lain, Oppo, Xiaomi, Lenovo, OnePlus, ZTE, Vivo, Huawei, Meizu, dan Luna, kini semakin banyak penggunanya.

Dari sederet ponsel China tersebut, ada yang menarik disimak. Oppo, Vivo, dan OnePlus ternyata di negeri asalnya bersaudara. Mereka berada di bawah satu induk, yaitu BBK Electronics. Oppo dan Vivo dimiliki secara penuh oleh BBK, sementara OnePlus merupakan anak perusahaan Oppo.

Awalnya, BBK bukanlah produsen ponsel, melainkan pabrikan yang membuat tiruan konsol game Super Nintendo. BBK adalah pembuat alat-alat elektronik belaka. Namun, ketika industri ponsel marak, BBK pun akhirnya mengembangkan Oppo dan Vivo, yang mulanya adalah merek pemutar DVD, blu-ray audio, menjadi merek ponsel pintar yang jaringannya sudah kita ketahui bersama: mendunia.

Adapun OnePlus didirikan oleh Pete Lau, mantan Wakil Presiden Oppo, pada Desember 2013. Perusahaan ini mulai memasarkan secara global produk pertamanya bernama OnePlus One pada April 2014. Ketika muncul di pasar global, OnePlus langsung menggebrak. Pasalnya, ponsel pintar ini dibanderol dengan harga relatif murah padahal spesifikasinya cukup tinggi sehingga mampu menyedot perhatian penggemar ponsel.

Bahkan, OnePlus pun tergolong nyeleneh dalam berpromosi. Misalnya, pernah membanderol harga ponselnya US$ 1, asalkan si pembeli harus menghancurkan ponsel merek lain yang dipakai sebelumnya dan aksi tersebut dibuat dalam video yang diunggah ke YouTube. Sontak saja aksi ini menjadi pro-kontra dan di sisi lain mendongkrak brand awareness OnePlus sehingga dikenal.

Di Indonesia, Oppo dan Vivo tergolong sangat agresif menggarap pasar ponsel. Sementara OnePlus lebih banyak bergerilya melakukan penjualan melalui e-commerce. Maklum, karena tergolong baru, OnePlus belum bisa memenuhi syarat bisa memasarkan ponsel di sini, yaitu memiliki pabrik untuk memenuhi 30% tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Adapun Oppo dan Vivo sudah memenuhi persyaratan tersebut.

OnePlus pun menarik diri dari kancah persaingan bisnis ponsel di Indonesia karena belum sanggup memenuhi regulasi pemerintah tersebut. Namun, manajemennya bertekad suatu hari akan kembali ke negeri ini.

Sebagai kilas balik, pada saat mulai menyambangi negeri ini, awal 2015, produk perdana yang dihadirkannya adalah OnePlus One. Produk tersebut dipasarkan melalui kerjasama pemasaran dengan salah satu pelaku e-commerce di negeri ini. Adapun produk terakhir yang diluncurkan sebelum hengkang dari Indonesia adalah OnePlus X yang hadir pada akhir Maret 2016. Kendati sudah hengkang, ponsel OnePlus masih dijual di beberapa e-ecommerce di negeri ini.

Dari ketiga bersaudara ini, Oppo yang paling awal memasuki pasar ponsel Indonesia, pada 2013. Saat pertama kali hadir di sini, banyak yang memelesetkan Oppo sebagai merek asal Jawa. Maklum, dalam bahasa Jawa “opo” itu artinya apa. Namun, pelesetan itu seperti membawa berkah karena secara tidak langsung mengerek brand awareness Oppo sehingga jadi mudah dikenal.

Alinna Wen, Manajer Merek Oppo Indonesia, mengatakan, di Indonesia, Oppo dan Vivo merupakan dua perusahaan yang berbeda. “Kami bukan merupakan pesaing langsung. Memang dari satu grup BBK, tetapi bisnis kami berjalan sendiri-sendiri dan manajemennya berbeda sama sekali. Pabrik kami pun terpisah, di mana pabrik Oppo terletak di Mauk, Tangerang,” kata Alinna.

Penetrasi bisnis Oppo pun tergolong moncer. Menurut survei IDC, pangsa pasar Oppo pada kuartal III/2016 sebesar 16,7%. Laporan dari Strategy Analytics menyatakan, pertumbuhan year-on-year (YoY) Oppo di Indonesia pada kuartal IV/2016 sebesar 11%. “Hal ini berhasil menjadikan kami sebagai brand smartphone nomor dua di Indonesia. Untuk tahun ini, belum ada data yang bisa kami berikan mengenai market share,” ujar wanita asal China yang fasih berbahasa Indonesia itu.

Lalu, bagaimana strategi khusus Oppo dalam menggarap pasar Indonesia? “Kami selalu melakukan strategi marketing yang sama dari tahun ke tahun, yaitu sederhana dan fokus pada produk yang sedang kami luncurkan,” ujar Allina. Seperti saat ini, Oppo fokus memasarkan dan mempromosikan satu produk saja selama periode tertentu agar mencapai hasil yang maksimal. Biasanya periode satu produk berlangsung selama sekitar enam bulan.

Produk terbarunya yang sekarang sedang fokus dipasarkan adalah Oppo F3 dan F3 Plus. “Sampai saat ini antusiasme masyarakat Indonesia pada Oppo masih tinggi. Produk Oppo F3 Plus yang kami luncurkan Maret lalu pun berhasil mencapai angka penjualan 13 ribu unit selama masa pre-order,” ujarnya bangga.

Vivo

Selain fokus, Oppo juga sangat agresif melebarkan jaringan dealer-nya. “Kesuksesan kami tidak lepas dari peran dealer yang tersebar di seluruh Indonesia, sehingga insentif yang kami berikan lebih kepada apresiasi terhadap dukungan mereka,” katanya. Selain jaringan dealer yang luas, Oppo juga didukung oleh 27 ribu karyawan di 27 area pemasaran, mulai dari Aceh hingga Jayapura, dengan 20 ribu dealer dan 105 pusat servis untuk mendukung layanan pascajual. Oppo telah mendirikan pusat servis terbesar di Asia Tenggara di Bandung tahun lalu.

Oppo pun memiliki pabrik di Indonesia yang dioperasikan sejak 2015. “Terhitung Januari 2017, kami memiliki 28 lini produksi yang mampu menghasilkan 1 juta-1,5 juta unit ponsel pintar per bulan. Kami juga memiliki 2 ribu karyawan pabrik yang menerima pelatihan intensif untuk memastikan kualitas produk yang memenuhi standar global,” Allina menjelaskan. Tentu saja, kehadiran pabrik tersebut dalam upaya memenuhi peraturan pemerintah tentang TKDN 30%. Target tahun ini, Oppo akan tetap fokus memasarkan ponsel pintar seri Selfie Expert, yaitu Oppo F3 Plus dan Oppo F3. Dan, akan terus menambah pusat servis sebanyak 200 unit hingga 2018.

Sementara itu, Vivo memasuki pasar Indonesia pada 2014. Dalam waktu yang relatif singkat Vivo yang memosisikan dirinya sebagai ponsel pintar yang berjiwa muda dan fashionable telah memiliki lebih dari 5 ribu pegawai dan 6 ribu pengecer di 360 kota dalam 32 provinsi untuk melayani konsumen di Indonesia.

Di akhir Januari 2017, Vivo juga telah membangun lebih dari 50 pusat layanan pascajual eksklusif di seluruh Indonesia. Seperti sudah disinggung di atas, Vivo telah memenuhi aturan pemerintah 30% TKDN untuk peranti ponsel pintar berbasis LTE dan telah membuka pabrik tersendiri di Cikupa, Tangerang, sejak Maret 2016.

Edy Kusuma, Manajer Merek PT Vivo Mobile Indonesia, mengakui bahwa Vivo dan Oppo bersaudara di negeri asalnya. “Di Indonesia, kami berbeda manajemen, strategi, produk dan semuanya berbeda dengan brand tersebut (Oppo). Bahkan, market kami pun berbeda. Kalau Vivo Smarthphone lebih ke milenial, yaitu usia 18-28 tahun yang energik, fun, dan fasionable,” ungkapnya.

Lalu, apa strategi yang dibangun Vivo di Indonesia? “Kami create mulai dari distribution channel, konten yang kuat, hingga promosi online dan offline, semua kami berdayakan,” kata Edy. Memang, saat ini Vivo tergolongan jorjoran dalam berpromosi. Vivo gencar berklan di televisi (TVC) dengan menampilkan para duta mereknya seperti Agnez Mo, Afgansyah Reza, dan Pevita Pearce.

Vivo juga menggaet duta merek lainnya seperti Prilly Latuconsina, Al Ghazali, Shireen Sungkar, dan Zaskia Sungkar. Tak hanya itu, Vivo pun menunjuk Nicoline Patricia Malina, fotografer profesional dan model, sebagai Chief Selfie Officer yang akan selalu membagi tip tentang #perfectselfie.

Edy beralasan pihaknya banyak mengangkat duta merek karena Vivo ingin lebih cepat masuk dalam menggarap pasar milenial sehingga membutuhkan dukungan yang banyak dari para duta merek. “Memang, menggunakan influencer diharapkan dapat menciptakan word of mouth marketing sebagai elemen paling powerful dalam mempromosikan produk kami karena itu berhubungan dengan rekomendasi,” katanya. Influencer sebetulnya merupakan salah satu cara yang efektif untuk meraih promosi tersebut.

Komunitas juga menjadi bidikan Vivo. “Kami punya fans club, namun bukan kami yang membuat klub tersebut, tetapi masyarakat. Mereka sering membuat gathering sendiri,” ujarnya. Pada saat peluncuran Vivo V5s, pihaknya mengumumkan Vivo Club Indonesia sebagai fans club Vivo yang resmi.

Yang juga menjadi fokus perhatian Vivo adalah jaringan distribusi. “Kami harus memiliki distribution channel dengan partner yang kuat seperti toko handphone di semua pelosok di Indonesia. Selain itu, kami juga melakukan distribusi merata di seluruh Indonesia,” kata Edy. Dan sejalan dengan distribusi merata, Vivo juga terus meningkatkan brand awarness melalui strategi komunikasi dan promosi yang tepat dan audiens yang tepat juga.

Sebagai upaya memenuhi regulasi pemerintah, Vivo sudah membangun pabrik pertamanya di Cikupa, Tengerang, Banten. Dan, Vivo pun berencana membangun pabrik keduanya di Indonesia pada akhir 2017 ini. Hal ini untuk mendorong peningkatan persentase komponen lokal mereka, dari 32% tahun ini menjadi 40% di 2018.

Dalam pandangan Sumardy, pengamat pemasaran, ketiga ponsel bersaudara di bawah BBK China masuk ke Indonesia karena market size industri ponsel di sini besar sekali. Dan, itu tidak cukup hanya dilayani satu merek. Meskipun dengan ownership yang sama, masyarakat Indonesia membutuhkan pilihan yang berbeda dan pertarungannya bukan lagi single brand tetapi multiple brand.

“Bisa saja dibilang mereka by-design, tetapi bukan untuk secara sengaja bersaing. Namun, memang murni kepentingan bisnis untuk menguasai pasar gadget di Indonesia yang sangat besar dan terdiri dari berbagai tipe segmen pelanggan yang membutuhkan jenis produk dan fitur yang berbeda. Untuk itu, dibutuhkan merek yang berbeda dengan brand positioning dan image yang berbeda,” papar Sumardy yang juga CEO Upnormals Group .

Lalu, apa plus-minus fenomena tersebut? Plusnya, kemampuan untuk mendominasi pasar dan segmen yang berbeda dengan tawaran merek dan produk yang berbeda. Selain itu, setiap brand bisa fokus untuk bersaing dan berperang dengan strategi dan pemasarannya tersendiri. “Minusnya adalah bagaimana memastikan tidak terjadi kanibalisasi dengan baik,” ujarnya.

Sumardy pun berpesan agar setiap merek fokus pada positioning dan citra masing-masing. Selain itu, mereka juga harus melakukan inovasi yang mendikte zaman (driving the trend) agar mampu bersaing. Tidak hanya dengan “saudara kandung”, tetapi juga dengan pesaing lain. Maklum, pertarungan di industri ponsel sangat ketat, seperti halnya di industri otomotif. Itu sebabnya, fenomena beberapa merek milik satu grup bukan lagi hal yang asing di bisnis otomotif.(*)

Reportase: Jeihan Kahfi Barlian dan Sri Niken Handayani/Riset: Hendi Pradika


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved