Technology Trends

Optimalisasi Teknologi 5G Butuh Ketersediaan Fiber Optic

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menilai ketersediaan fiber optic (serat optik) dalam penerapan teknologi 5G merupakan suatu keharusan. Peran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tentunya harus terus ditingkatkan dalam penyediaan fiber optic.

Sekertaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O.Baasir memaparkan bahwa saat melakukan uji coba dan launching 4G pada periode 2014-2015 lalu, proses melakukan roll out sebuah teknologi baru itu membutuhkan waktu, apalagi dari 4G ke 5G.

“Ini ada perbedaaan yang cukup fundamental. Transport yang ada di 4G itu masih bisa menggunakan gelombang mikro atau microwave. Karena yang berjalan di masyarakat saat ini, mungkin sama halnya dengan operator, itu bisa lebih dari 50-60% menggunakan microwave. Dengan beralih ke 5G, yang kecepatannya di atas 10 Giga, kita membutuhkan fiber optic. Jadi, fiber optic itu harus. Kalau tidak, nanti 5G rasanya 4G, karena transportnya kurang. Jadi, itu yang sangat dibutuhkan,” jelas Marwan dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 yang digelar secara virtual bertajuk “Indonesia Maju dengan 5G”, Senin (7/6/2021).

Marwan menambahkan, ketersediaan fiber optic hingga saat ini masih terbatas, karena baru ada di kota besar. Untuk itu, peran Kementerian Kominfo harus dioptimalkan untuk membantu para operator yang tergabungdalam asosiasi, agar pemerintah daerah bisa merelaksasi atuan-aturannya sehingga proses penggelaran fiber opticdapat berjalan dengan mudah sehingga bisa mendukung pengembangan 5G di Tanah Air.

Marwan menuturkan, 5G yang ideal ada di frekuensi 3,5 giga herzt (gH). Saat ini operator menggunakan frekuensi yang ada, jadi ada yang menggunakan 2,3 gH. Hal ini dikarenakan penggunaan frkuensi 2,3 gH masih memungkinkan dengan adanya dynamic spektrum sharing. “Tetap 5G, hanya menggunakan spektrum yang ada, jadi memang bandwith saat ini masih terbatas. Jadi, harapan kita 3,5 gH bisa cepat,” ujar Marwan.

Selain itu, dalam menerapkan teknologi 5G, operator lain selain Telkomsel juga perlu diberi equal treatment. “Jadi kalau pun mereka menggunakan frekuansi yang ada, yakni 1.800 dan 2.100 dengan DSS, saya yakin pemerintah akan mendorong Uji Laik Operasi (ULO) segera diperoleh operator. Salah satu operator yang sudah mengajukan DSS adalah Indosat,” jelasnya.

Saat ini, lanjut Marwan, masyarakat akan diperkenalkan 5G dengan frekuensi yang ada. Paling tidak masyarakat bisa merasakan 5G terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan masih adanya sejumlah kendala dan tantangan bagi para operator dalam penyediaan 5G.

Kendala dan tantangan yang dimaksud adalah, pertama, spektrum. Kedua, fiber optic yang belum sepenuhnya terintegrasi. “Jadi, fiber optic perlu merata. Apalagi, dalam menggelar fiber optic tentunya operator itu sewa pada pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah pusat. Harapannya mendapatkan harga yang affordable sebagaimana diamanatkan dalam UU Omnibuslaw. Sekarang bagaimana kita memastikan tools dari UU itu terimplementasikan sampai ke daerah. Karena, jangan dilupakan bahwa di Indonesia ini cukup banyak pemerintah daerah, yang mungkin saja tata cara mengimplementasikan UU itu juga berbeda. Ini tentunya menjadi kendala yang harus dihadapi,” tutur Marwan.

Kendala ketiga, memastikan aplikasi 5G ini berjalan. “Saya khawatir, jangan sampai kita sudah meningkatkan level teknologi ke 5G, tapi pemakaiannya hanya untuk akses internet. Ini tentunya sangat disayangkan,” tegas Marwan.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved