Trends Economic Issues zkumparan

Pemerintah Jangan Lupakan Ini dalam Proses Restrukturisasi PLTU

Pemerintah Jangan Lupakan Ini dalam Proses Restrukturisasi PLTU

PT PLN (Persero) bermaksud memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada tahun 2025 nanti. Salah satu cara untuk melaksanakan rencana itu ialah dengan membentuk PLN holding. Namun demikian, sampai saat ini masih belum ada penjelasan detail mengenai skema pemensiunan PLTU tersebut. Apakah pensiun berarti PLTU sudah tidak boleh beroperasi lagi di Indonesia, ataukah pensiun di sini sekadar PLN melepas bisnis PLTU mereka kepada pihak lain untuk kemudian nanti mengadakan skema jual beli listrik dari pihak lain tersebut?

Saat ini, PLTU adalah penyumbang listrik terbesar di Indonesia. Sudah hampir empat dekade, Indonesia bergantung kepada tipe pembangkit yang berasal dari bahan bakar fosil ini sebagai sumber energi listrik nusantara. Sebut saja PLTU Suralaya sebagai PLTU tertua, PLTU Tanjung Jati, PLTU Cirebon, dan PLTU Banten.

Tanpa PLTU-PLTU ini, Jawa dan Bali akan gelap gulita. Tidak hanya memberikan listrik, PLTU-PLTU ini juga sudah bertahun-tahun menggerakkan ekonomi makro dan ekonomi masyarakat sekitar yang tinggal proyek PLTU. Contohnya ialah Tanjung Jati B Unit 5 & 6 yang dioperasikan oleh konsorsium yang dipimpin oleh Sumitomo Corporation. Proyek yang financial closing di tahun 2017 tersebut menyumbang investasi ke Indonesia sebesar US$4,2 miliar.

Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan, penggunaan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik terus mendapatkan tekanan oleh berbagai negara di dunia karena batu bara menghasilkan emisi karbon yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Beberapa negara sudah secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan memberikan pembiayaan proyek untuk pembangkit listrik tenaga batu bara.

Meninggalkan proyek pembangkit listrik tenaga uap merupakan salah satu langkah yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih. Langkah ini sudah diambil oleh Presiden Jokowi dengan menginstruksikan agar tidak ada lagi PLTU baru yang akan dibangun di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2021 – 2030.

Menghentikan proyek pembangunan PLTU yang baru adalah satu hal. Bagaimana dengan PLTU-PLTU yang sudah ada sekarang? Untuk PLTU yang sudah ada, pemerintah saat ini berupaya untuk memanfaatkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) pada PLTU untuk mengurangi emisi.

Selain itu, ke depannya, pemerintah juga disinyalir akan berupaya melepaskan PLTU-PLTU milik PLN yang sudah tidak produktif, yakni PLTU yang sudah usang atau tidak efisien, yang memiliki availability factor kurang dari 80% selama 5 tahun terakhir, dan yang diproyeksikan memiliki capacity factor kurang dari 50% untuk 5 tahun ke depan ke pihak swasta.

Menurut Yohanes Masengi, seorang pengacara yang telah malang melintang selama lebih dari 15 tahun mewakili project company/project owner atau sponsor dalam menegosiasikan kontrak pembiayaan proyek ketenagalistrikan dan infrastruktur berskala besar di Indonesia, privatisasi atau penjualan PLTU kepada pihak swasta kemungkinan adalah langkah yang akan diambil pemerintah untuk mengurangi beban pembiayaan pengadopsian teknologi CCUS dan untuk efisiensi biaya pembangkitan listrik. Untuk melakukan privatisasi PLTU, PLN akan mendirikan suatu perusahaan baru (PLN holding) yang nantinya akan memegang kendali atas PLTU-PLTU lama milik PLN.

Apabila pembentukan PLN holding ini jadi dilakukan, Yohanes Masengi berpendapat bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh PLN. Yang pertama ialah perlunya payung hukum yang jelas untuk pengadaan dan pengalihan PLTU-PLTU tersebut dari PLN kepada PLN holding hasil spin off.

“Payung hukum ini antara lain untuk penunjukan langsung dari PLN kepada PLN holding, ketentuan-ketentuan mengenai pengalihan aset-aset yang sebelumnya dimiliki oleh PLN kepada PLN holding, harga jual listrik dari PLN kepada PLN holding, dan memastikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement) terkait bankable,” katanya.

Yohanes mengatakan bahwa perlu adanya reformasi peraturan perundangan untuk sistem penawaran PLTU-PLTU kepada swasta, apakah melalui lelang umum atau penunjukan langsung. Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa pemberian insentif juga perlu dilakukan bagi investor yang tertarik untuk ikut serta dalam pembaharuan PLTU, misalnya pemberian prioritas terhadap investor yang pertama kali mengerjakan PLTU terkait ataupun prioritas dalam mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan lain di kemudian hari, atau pengadaan dibuat dalam bentuk bundling di awal antara PLTU milik PLN dan proyek energi terbarukan.

Pengacara yang juga telah berperan dalam pengadaan tanah untuk berbagai proyek pembangit ini menyatakan bahwa PLN juga perlu memperhatikan kejelasan skema kerja sama antara PLN dan investor di dalam proyek PLTU serta kejelasan sistem pembelian tenaga listrik dari perusahaan pembangkit kepada PLN.

“Sangat penting untuk memastikan kejelasan skema kerja sama yang akan dilakukan, apakah nantinya PLN atau perusahaan holding akan membentuk joint venture dengan investor dan bagaimana dengan persentase kepemilikan sahamnya. Yang menjadi kendala di lapangan selama ini adalah PLN diharuskan memiliki saham minimal 51% dan investor hanya bisa memiliki 49% saham di perusahaan pembangkit, padahal PLN meminta agar seluruh investasi dalam bentuk finansial harus disediakan oleh investor,” tutur Yohanes.

Menurut alumnus Fakultas Hukum UI 2005 yang saat ini adalah Sekutu di Firma Guido Hidayanto & Partners tersebut, kebijakan ini sebaiknya tidak diberlakukan lagi di dalam skema yang akan diusulkan karena akan membuat penawaran tersebut tidak lagi atraktif bagi investor dan, yang terutama, tidak bankable. Sementara itu, kejelasan sistem pembelian tenaga listrik dari perusahaan pembangkit kepada PLN perlu dipastikan karena selama ini PLN tidak membayar tarif listrik lantaran PLTU-PLTU tersebut dioperasikannya sendiri setelah selesai dibangun.

“Dengan adanya privatisasi, harus dipikirkan bagaimana mengatur tarif listrik dan mekanisme pembayaran oleh PLN kepada perusahaan pembangkit. Apakah nantinya akan dilakukan secara take or pay atau take and pay. Satu sisi, kita ingin agar kebijakan yang diambil membuat penawaran tetap menarik dan bankable. Di sisi lain, kita juga tidak ingin merugikan PLN sebagai offtaker,” tandas Yohanes.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved