Trends

PP Royalti Musik Dinilai Cukup Memberatkan Industri Radio

Banyak pihak menilai PP tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang diterbitkan 30 Maret 2021, akan memberatkan industri radio. (foto: ilustrasi).
Banyak pihak menilai PP tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang diterbitkan 30 Maret 2021, akan memberatkan industri radio. (foto: ilustrasi).

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, telah diterbitkan dan diteken Presiden Joko Widodo, pada 30 Maret 2021. Namun, peraturan itu dinilai akan memberatkan industri radio.

Dalam PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik terdapat kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu dan musik secara komersial ataupun layanan publik. Royalti dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). General Manager Visi Radio Medan, Wisdawati Margaret atau akrab disapa Wiski mengatakan aturan itu dinilai akan memberatkan industri radio.

“Terus terang PP ini aku anggap cukup memberatkan radio. Di mana sebenarnya esensi dari radio itu musik atau lagu. Tanpa lagu radio itu enggak ada artinya. Apalagi radio itu sistem kerjanya tidak seperti televisi yang bisa dengan gampang buat konten visual atau program tanpa adanya lagu,” kata Wiski kepada VOA, Rabu (7/4).

General Manager Visi Radio Medan, Wisdawati Margaret. (Dokumentasi pribadi)
General Manager Visi Radio Medan, Wisdawati Margaret. (Dokumentasi pribadi)

Menurutnya, saat ini industri radio khususnya di Kota Medan sedang dalam keadaan getir, ditambah dengan terbitnya aturan tersebut pada masa pandemi COVID-19 diprediksi bakal memberikan dampak yang cukup serius.

“Padahal kalau dipikir-pikir biaya operasional radio itu cukup besar dan kadang enggak sebanding dengan pemasukan yang kami peroleh. Apalagi kalau tidak dikombinasikan dengan bisnis lainnya, terus ditambah kondisi pandemi COVID-19 benar-benar memberi dampak yang sangat damage hampir ke semua radio. Bahkan di Kota Medan itu sudah banyak radio yang kolaps atau sementara menghentikan operasionalnya,” ungkap Wiski.

Pemerintah pun diminta untuk mengkaji ulang PP tersebut dan mencari jalan tengah dalam memberikan penghargaan terhadap hak cipta lagu atau musik ini. Misalnya, radio wajib membayar royalti dalam bentuk barter dengan musisi dan label musik. Pasalnya sebelum diterbitkannya PP ini, radio dengan musisi atau label musik telah berhubungan satu sama lain dan saling menguntungkan.

“Jangan sampai dengan adanya peraturan ini malah mematikan bisnis radio yang sudah cukup susah payah dalam kondisi sulit ini,” ujar Wiski.

PRSSNI : Penagihan Satu Pintu Lewat LMKN Bukan Hal Baru

Sekretaris umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), M Rafiq mengatakan, aturan yang diterbitkan presiden ini bukan hal baru. Aturan ini menegaskan pembayaran royalti hak cipta lagu dan musik harus dibayarkan terutama untuk kebutuhan komersial.

Penyiar radio di stasiun radio KBR68H, Jakarta, 17 Juni 2009. (Foto: dok).
Penyiar radio di stasiun radio KBR68H, Jakarta, 17 Juni 2009. (Foto: dok).

“Jadi ini bukan hal baru untuk industri radio. Apalagi sejak puluhan tahun yang lalu radio itu rutin membayar royalti melalui lembaga Karya Cipta Indonesia (KCI). Nah, sekarang yang menagih royalti itu ada LMKN. Nah penagihan satu pintu ini sebenarnya didukung oleh industri radio, karena cuma satu pintu yang tagih,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring dengan tema “Royalti Bikin Sensi”, Rabu (7/4).

Namun yang menjadi permasalahan, kata Rafiq, aturan ini dikeluarkan di waktu yang tidak tepat saat pandemi COVID-19. Apalagi 14 layanan publik di dalam PP No 56 Tahun 2021 itu merupakan sektor yang paling terdampak selama pandemi COVID-19.

“Sebenarnya ada layanan publik kalau yang enggak mau bayar royalti ya sudah tidak usah putar lagu, dan harusnya juga tidak berpengaruh signifikan terhadap bisnis mereka. Yang menjadi catatan buat kita adalah 14 layanan publik yang harus bayar royalti itu tidak disebut platform pemutar musik,” ungkap Rafiq.

Tanda "On Air" terlihat di sebuahi studio penyiaran, sebagai ilustrasi. (Foto: REUTERS/Tyrone Siu)
Tanda “On Air” terlihat di sebuahi studio penyiaran, sebagai ilustrasi. (Foto: REUTERS/Tyrone Siu)

Masih kata Rafiq, ada beberapa hal positif yang disambut industri radio terkait diterbitkannya PP No 56 Tahun 2021 tersebut. Pertama, kehadiran satu lembaga yang memungut royalti. Kedua, yakni ada jaminan bahwa setelah royalti dikumpulkan akan didistribusikan kepada para pemegang hak cipta.

“Perhatian kami yang selanjutnya adalah tarif royalti itu harus adil, patut, dan sepantasnya,” pungkasnya.

LMKN Puji Tujuan PP No.56/2021

Sementara, Komisioner LMKN, James F Sundah menuturkan, PP No 56 Tahun 2021 ini bertujuan membuat pendokumentasian terkait hak cipta lagu dan musik menjadi lebih baik.

James F Sundah saat diwawancarai VOA d New York, USA. (Foto: VOA/videoscreenshot)
James F Sundah saat diwawancarai VOA d New York, USA. (Foto: VOA/videoscreenshot)

“Negara kita lemah dalam dokumentasi. Sistem itu bagaimana mau dibayar kalau lagunya itu tidak jelas milik siapa,” tuturnya.

Dikutip dari PP No 56 Tahun 2021, Pasal 3 ayat (1) berbunyi “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN”.

Kemudian, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) bentuk layanan publik yang bersifat komersial itu berupa seminar, konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bistro, kelab malam, diskotek, konser musik, pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut, pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank dan kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi, lembaga penyiaran radio, hotel, kamar hotel, fasilitas hotel, dan usaha karaoke. [aa/em]

Sumber: VoAIndonesia.com


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved