Management Trends

PR Rumah Sakit Jangan Hanya Duduk di Pojokan

PR Rumah Sakit Jangan Hanya Duduk di Pojokan

Peran public relation (PR) di masa sekarang bukan sekadar pemanis atau pelengkap saja. PR harus menjadi bagian strategis perusahaan apapun industrinya, termasuk rumah sakit. Hal ini diulas dalam talkshow dan gathering pelaku PR dan marketing communication rumah sakit yang diadakan di Auditorium Soerjo, RS MMC Jalan Rasuna Said Jakarta hari ini (03/05/2017).

Acara ini diselenggarakan berkat kerja sama Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) dengan LSPR dan MIX Marcomm-SWA Media Group. Kemal E. Gani, CEO SWA Media Group, mengatakan kompetisi antar rumah sakit kini semakin ketat, bukan saja antar pemain lokal tapi juga kini makin banyak rumah sakit dari luar negeri yang sudah mulai serius masuk Indonesia. “Kompetisi ketat ini diperlukan tenaga PR rumah sakit sebagai garda terdepan. PR sekarang perannya tidak konvensional seperti dulu, harus punya gebrakan, karena membawa nama dan brand RS, tidak bisa hanya duduk di pojokan,” tegasnya.

Andre Ikhsano, Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi LSPR, mengamini pendapat yang disampaikan CEO SWA Media Group itu. Kini, dengan tantangan yang dihadapi rumah sakit sekarang, sangat penting mendorong PR agar dalam komunikasi posisi dokter dan pasien berada satu level.

“Beberapa kajian terbaru menunjukan komunikasi yang bagus antara dokter dengan pasien membantu percepatan kesembuhan pasien,” tegasnya. Menurutnya, PR harus bisa membuat keyakinan pasien pada rumah sakit bukan hanya sembuh, tapi meningkat ke level loyal. Dan di era digital saat ini, PR rumah sakit juga harus menyadari kekuatan media ini.

“Memang tidak umum untuk rumah sakit, tapi eranya sudah berubah ke sana. Kita tinggal perkuat human touch-nya agar benar-benar terasa karena layanan rumah sakit sangat personal,” imbuh Andre. Ia menekankan PR harus menjadi menjadi garda terdepan, menjadi sentral dan motor komunikasi dengan stakeholder. Hal itu bisa dicapai jika didukung awak PR yang memiliki kompetensi dan hal ini bisa diketahui jika mereka lulus uji kompetensi kehumasan melalui sertifikasi profesi yang dikeluarkan oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi).

Untuk itulah pada acara ini juga diadakan kick off Sertifikasi Humas Rumah Sakit dengan MoU antara Persi dan LSP LSPR yang difasilitasi oleh SWA Media Group.

Ini mendorong perubahan paradigma PR terutama pada rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Anjari Umarjianto dari PERSI, memandang PR di masa lalu sering menjadi tempat “buangan” di karier rumah sakit. Ini terjadi pada 10 tahun lalu. Padahal, ketika terjadi krisis PR perannya sangat penting menjaga nama rumah sakit. Sayangnya, rumah sakit justru memajukan pihak legal untuk menghadapi ini, padahal masalah brand rumah sakit merupakan isu strategis yang harus ditangani tenaga kompeten yang kuat mengelola komunikasi saat krisis.

“Makanya PR harus punya kompetensi, yang artinya memiliki kemampuan kuat berkomunikasi dan menyampaikan kampanye perusahaan. Untuk itu PR harus memiliki kedudukan yang kuat dalam manajemen rumah sakit agar ketika terjadi krisis memiliki peran dalam keputusan,” paparnya. Ia mengatakan, tidak banyak rumah sakit yang menempatkan PR di posisi strategis selevel direktur. Selebihnya masih di bawahnya. Artinya posisi PR belum dianggap penting.

“Mayoritas PR di rumah sakit lebih banyak di bawah bagian marketing. Padahal, PR harus ada di kepala setiap direksi hingga tukang parkir dan security di rumah sakit,” kata Anjari. PR yang kompeten dan masuk dalam tataran strategis menurutnya harus punya tools dan aktivitas yang terukur untuk meningkatkan merek rumah sakit.

Drg. Nailufar, MARS dari VP Marketing Grup Rumah Sakit Ramsay Sime Darby Indonesia, mengakui di rumah sakit di mana dia bekerja tidak ada bagian humas. “Tugas marketing di dalamnya juga apa yang dilakukan PR atau humas. Kami juga yang membuat rilis ke media dan mengadakan media gathering dan berbagai kegiatan aktivasi rumah sakit, hingga menghadapi komunikasi dengan pihak luar dan media jika terjadi kriris,” ungkapnya.

Ia menuturkan, jika terjadi krisis yang lebih serius biasanya pihaknya akan menunjuk konsultan public relation untuk membantu rumah sakit mengelola komunikasi kririsnya. “Tapi kalau sekadar komplain pasien biasanya yang meng-handle bagian customer service yang ada di bawah departemen marketing juga,” tuturnya. Pihaknya mempunyai target “zero media” jika terjadi krisis serius, maksudnya departemennya harus bisa menjaga agar komplain jangan sampai membesar hingga ter-blow up di berbagai media massa.

Maria Dewantini Dwianto, Head of Corporate Communications PT Unilever Indonesia Tbk, yang menjadi salah satu pembicara salam talkshow ini mengungkapkan, 17 tahun lalu PR di Unilever Indonesia juga tidak dianggap penting, dengan menempatkan PR ada di bawah Human Resources Department.

“Dengan berjalannya waktu, kami menganggap penting peran PR dalam membantu membangun imej brand produk dan korporat. Saat ini di bawah departemen saya ada 10 orang,” ujarnya. Departemennya memiliki tiga rules yang disingkat dengan MAP yang merupakan singkatan dari (Motivate, Advocate dan Protect).

Mia menjelaskan, peran Motivate sangat penting untuk perusahaan dengan 6.500 karyawan di seluruh Indonesia. “Masing-masing karyawan adalah ambassador perusahaan. Orang lebih percaya pada peers atau teman sekitarnya terutama yang dari dalam. Maka itu bagi kami engage internal penting,” imbuh wanita yang akrab disapa Mia ini.

Lalu peran Advocate, adalah tanggung jawab PR membangun reputasi dan konunimasi ke luar baik itu masyarakat, pemerintah, konsumen, media dan LSM. Bisa melalui berbagai upaya dan kegiatan, mulai dari konferensi pers hungga kampanye digital.

Peran Protect atau melindungi perusahaan dilakukan PR terutama saat krisis menempa. “Kami membangun crisis management team jika ada krisis besar, yang dipimpin oleh selevel direktur,” tuturnya.

Dalam krisis, PR tidak bisa menghandle sendiri, pihak-pihak terkait dalam krisis harus masuk dalam tim. Jika ada tuntutan hukum, barulah tim legal dimasukan dalam tim. Mia menegaskan PR tidak bisa kerja sendiri saat krisis harus kerja bersama, tugas PR mengomunikasikannya informasi sebenarnya. “Kami provide kontennya untuk dikomunikasikan keluar, yang semua isi kontennya kami dapat dari pihak-pihak terkait yang mendukung,” katanya.

Editor : Eva Martha Rahayu


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved