Trends

Sang Srikandi di Balik Unicorn Baru Xendit

Sang Srikandi di Balik Unicorn Baru Xendit

Pada 15 September 2021, ada momen penting bagi Xendit. Saat itu, startup ini resmi menjadi unicorn baru di Indonesia setelah mendapatkan pendanaan Seri C sebesar US$ 150 juta atau setara dengan Rp 2,1 triliun yang berasal dari Tiger Global Management, Accel, Amasia, dan Justin Kan’s Goat Capital. Sebelumnya, pada Maret 2021, Xendit juga mendapat pendanaan Seri B yang dipimpin oleh Accel sebesar US$ 46,6 juta.

Seperti kita ketahui, unicorn adalah sebutan bagi startup alias perusahaan rintisan yang bernilai di atas US$ 1 miliar atau setara Rp 14,25 triliun (kurs Rp 14.250 per dolar AS).

Xendit merupakan perusahaan teknologi finansial di Indonesia yang menyediakan gerbang pembayaran (payment gateway) untuk membuat proses pembayaran menjadi sederhana, aman, dan mudah bagi pelanggan mereka. Xendit didirikan pada 2015 oleh Moses Lo, Tessa Wijaya, Juan Gonzalez, dan Bo Chen. Tessa merupakan satu-satunya srikandi yang turut membidani lahirnya startup ini.

Bagi Tessa, Xendit merupakan perusahaan rintisan pertama yang didirikannya bersama co-founder lainnya. Sebelum bergabung dengan Xendit, selama tujuh tahun dia bergelut di industri finansial swasta, mengasah kemampuan dan pengetahuannya di bidang keuangan dan investasi. Hal ini menjadi bekal baginya dalam mencapai kesuksesan saat ini di Xendit.

Tessa berkenalan dengan co-founder Xendit lainnya melalui seorang teman. Karena memiliki latar belakang di industri finansial dan tertarik pada teknologi, dia akhirnya melakukan lompatan karier untuk membantu mendirikan startup fintech. Hal ini dilakukan karena Tessa dan co-founder lainnya memiliki visi yang sama, yakni membangun infrastruktur pembayaran di Indonesia dan Asia Tenggara.

Awalnya, pada 2016, Tessa bergabung dengan Xendit sebagai manajer produk. Seiring berjalannya waktu, dia juga turut mengurus semua hal yang diperlukan, mulai dari pengembangan bisnis, kepuasan pelanggan, hingga manajemen keuangan. Pengalaman baru ini membuatnya semakin jatuh cinta pada angka, analisis berbasis data, serta kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat.

Pada 2018, Tessa mulai menjabat sebagai chief operating officer (COO). Dengan posisi ini, dia menangani keseluruhan operasi bisnis perusahaan, termasuk layanan dan dukungan, kemitraan, pemerintahan, hubungan masyarakat, serta regulasi.

Lalu, bagaimana gagasan awal pendirian Xendit dan bagaimana model bisnis yang dikembangkan? “Para pendiri Xendit melihat bahwa fintech merupakan salah satu motor utama inklusi keuangan digital di Indonesia, di mana saat itu perkembangan teknologi finansial dan infrastrukturnya belum semaju negara lain di Asia Tenggara,” Tessa menjelaskan.

Besarnya populasi unbanked (tidak memiliki rekening bank) di Indonesia telah memacu banyak inovasi di bidang fintech dan terbukanya peluang untuk pertumbuhan positif di sektor ini. Berpadu dengan kecintaan pada Indonesia, semakin kuatlah motivasi para pendiri Xendit untuk menciptakan inovasi yang dapat berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi negeri ini.

Hingga saat ini, Xendit telah menjadi perusahaan teknologi finansial yang menyediakan solusi pembayaran dan menyederhanakan proses pembayaran untuk berbagai bisnis di Indonesia, Filipina, dan negara Asia Tenggara lainnya, mulai dari UMKM, startup, e-commerce, hingga perusahaan besar. Dengan Xendit, sebuah bisnis bisa menerima pembayaran, mencairkan payroll, menjalankan marketplace, dan banyak lagi, melalui platform integrasi yang mudah dan didukung oleh layanan pelanggan selama 24 jam.

Di tengah lanskap pembayaran yang terfragmentasi di Asia Tenggara, dengan Xendit, sebuah bisnis bisa menerima pembayaran dari debit langsung, rekening virtual, kartu kredit dan debit, e-wallet, QRIS, gerai ritel, dan cicilan online.

Menurut Tessa, dalam perjalanan menuju unicorn, Xendit melewati berbagai tantangan, dari mencari product-market fit, menemukan partner yang cocok, hingga membangun tim yang bisa tumbuh cepat dan scaling seiring dengan pertumbuhan perusahaan. “Dengan banyak usaha dan kerjasama, kami berhasil melewati tantangan tersebut dan menjadikan Xendit salah satu gerbang pembayaran terbesar di Indonesia. Akan tetapi, perjalanan kami masih jauh, dan masih akan ada banyak tantangan yang kami hadapi nantinya,” ungkapnya.

Namun, Tessa menandaskan, Xendit dan para investor global percaya bahwa Indonesia dan kawasan Asia Tenggara memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, tetapi belum memahami konteks spesifik Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara. “Oleh karena itu, saya dan tim founder perlu memberi contoh nyata dan cerita mengenai pasar di Indonesia, sehingga mereka dapat lebih memahami situasi pasar dan negaranya serta tertarik untuk investasi di sini,” katanya.

Maka, Xendit pun akan terus menginovasi jajaran produknya, dengan tujuan ekspansi ke negara-negara terpilih di Asia Tenggara. Kawasan ini merupakan pasar yang sangat menarik bagi pertumbuhan inovasi dan disrupsi, terutama karena 70% dari 580 juta populasinya saat ini sudah merambah dunia online. Pada 2021, nilai ekonomi digital di kawasan ini akan melebihi US$ 100 miliar, dan diproyeksikan meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari US$ 300 miliar pada 2025. (*)

Anastasia AS dan Dede Suryadi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved