Trends zkumparan

Seni Berekspansi Hotel Seni

Erastus Radjimin

Erastus Radjimin, Pendiri dan CEO Artotel Group

Memasuki Artotel Jakarta, serasa mengunjungi galeri seni. Mulai dari lobi hotel yang bersebelahan dengan pusat perbelanjaan Sarinah di kawasan Thamrin itu, kita sudah disuguhi beragam karya seni. Ada lukisan yang tergantung di dinding, grafiti, sampai patung tiga dimensi. Lobi hotel memang difungsikan sebagai galeri rotasi yang menyuguhkan suasana dan pengalaman yang berbeda bagi tetamunya setiap bulan. Bukan cuma di lobi. Ke mana pun mata memandang –sudut-sudut hotel, area publiknya, hingga kamar tamu– semuanya didesain artistik mengusung konsep seni rupa kontemporer.

Atmosfer serupa terasa di Artotel lainnya yang kini hadir di sejumlah kota besar di Indonesia. Ini sesuai dengan namanya, Artotel, yang merupakan penggabungan dua kata, art dan hotel. “Lalu, muncullah brand Artotel. Dari awal, kami mengusung konsep hotel butik yang sangat mengedepankan sisi seni,” ungkap Erastus Radjimin, pendiri & CEO Artotel Group. Ery –sapaan akrab bungsu dari tiga bersaudara kelahiran Surabaya, 4 Februari 1986 itu– membangun hotel unik ini bersama kakak perempuannya, Christine, yang sama-sama pencinta seni, terutama seni kontemporer.

Sedari belia, Ery memang rajin jalan-jalan. Ke museum, menghadiri pameran seni, ngobrol dengan para seniman di Yogyakarta, dan sebangsanya. “Sehingga, ekosistem seni sudah melekat dalam diri saya. Dari situ, saya tergerak untuk bantu mereka. Saya dan kakak saya sangat respect terhadap art, sangat enjoy, walaupun kami tidak bisa membuat art secara teknisnya,” cerita Ery.

Semua karya seni yang ditampilkan di Artotel adalah karya seniman lokal. Ery dan Christine amat terobsesi mengangkat dan mempromosikan seni rupa kontemporer Indonesia; bukan saja di level nasional, tetapi juga internasional. Di Artotel Jakarta, misalnya, ia menggaet seniman kontemporer muda yang sedang naik daun, seperti Ykha Amelz, Darbotz, Wisnu Auri, Edy Hara, Oky Ray, dan Zaki Arifin.

Anggaran untuk para seniman kontemporer ini biasanya sekitar 2% dari nilai proyek pembangunan hotel. Honor untuk senimannya tergantung pada berapa space yang mereka kerjakan. Saat ini, ada 38 seniman yang memural Artotel dan lebih dari 200 seniman yang bekerjasama untuk pameran.

Ery dan Christine adalah putra-putri R. J. Radjimin, pemilik Hotel JW Marriott Surabaya yang juga pencinta seni. Namun, Ery dan Christine bermimpi membangun hotel yang berbeda dari hotel konvensional. Mereka pun berani bekerja dari nol, mulai dari membuat sketsa dan konsep hotel, melakukan branding, penataan hotel, hingga detail per ruangannya. “Kakak saya fokus di desainnya, saya fokus di manajemen hotelnya,” ujar Ery. “Jadi, Artotel tidak ada hubungannya sama sekali dengan JW Mariott,” kata Ery yang selalu ingat nasihat ayahnya untuk selalu setia pada hal-hal kecil.

Artotel pertama kali dibangun di Surabaya pada 2011 dan resmi beroperasi pada 2012. Tahun berikutnya, 2013, mulai berekpansi ke Jakarta di kawasan Thamrin. Setelah itu, Artotel hadir di Bali (di Sanur dan Beach Club) dan Yogyakarta. Tahun ini, kota-kota lain segera menyusul, yakni di Ubud (Maret), Batu-Malang (Mei), Bandung (Juni), serta Semarang (akhir tahun). Selain di pusat bisnis, Artotel juga hadir di resor. “Artotel sangat dinamis. Tidak ada desain standar. Bisa beda-beda di tiap daerah, disesuaikan dengan market dan local content masing-masing,” kata Ery.

Kehadiran Artotel di suatu kota atau daerah, yang tarif menginapnya sekitar Rp 500 ribu per malam, selalu dirancang secara individual berdasarkan lokasi dan lingkungannya, serta gaya hidup lokal, perilaku pasar sasaran, dan preferensi pemilik. Target pasarnya, wisatawan milenial yang bosan dengan hal-hal yang biasa dan mencari lingkungan yang santai dan sederhana, serta para pengusaha yang mencari kenyamanan modern dari hotel yang value for money, yakni terpenuhinya kebutuhan dasar mereka seperti tempat tidur yang nyaman, pelayanan baik, dan akses internet berkecepatan tinggi gratis.

Tahun 2017 Artotel mendiversifikasi bisnisnya di bawah Grup Artotel menjadi tiga lini bisnis utama, yaitu hospitality, event management, dan curated merchandise. Di hospitality, ada Artotel dan Bobotel, serta makanan dan minuman (F&B). Di event management, ada Art Project Series, penyelenggara pameran seni dan penyedia jasa desain seni bagi hotel atau kantor. Di curated merchandise, ada Art Of Life yang menjual merchandise barang-barang seni, e-commerce,online, dan lain-lain.

Bobotel lahir karena banyaknya permintaan dari para pengusaha yang ingin membangun Artotel tetapi terkendala minimnya pendanaan dan terbatasnya luas lahan. Lalu, dibuatlah anak perusahaan Artotel yang diberi nama Bobotel, hotel yang menyatu dengan gedung-gedung komersial seperti mal. Tahun ini, empat Bobotel akan beroperasi di Kelapa Gading (Jakarta), Tangerang, Surabaya, dan Medan. “Di industri hotel, namanya hotel management. Kami dapat dari management fee dan incentive fee. Sistem kerjanya, kami sebagai operator hotel, si owner yang bangun hotel dan menggunakan brand dan standar kami. Owner punya saham asetnya, kami yang pegang manajemen brand hotelnya. Kebetulan yang di Jakarta dan Bali kami memiliki persentase saham. Partial ownership,” ungkap Ery.

Menurut Ery, pertumbuhan Artotel hampir 100%. Tahun lalu, ada lima hotel, tahun ini menjadi delapan hotel. “Revenue-nya juga dobel. Tapi, kalau angka tepatnya, saya tidak bisa disclouse ya,” ujarnya. Tahun 2017, pertumbuhan properti Artotel sekitar 40%. “Jadi, sebetulnya begini saja menghitungnya: jumlah properti kami bertambah, revenue bertambah, cost-nya tidak terlalu bertambah banyak,” imbuhnya seraya tersenyum.

Ery mengatakan, kalau dilihat market penetration index-nya, Artotel berada di atas para kompetitor. Artinya, Artotel memimpin pasar. “Tapi, kalau di hotel, sebetulnya tidak bisa berbicara pasar hotel butik sendiri, karena secara harga kami bersaingnya mirip,” ujarnya sambil menambahkan, tingkat hunian Artotel Jakarta mencapai 92%, sedangkan di kota-kota lainnya 70-80%.

Untuk menggaet pasar baru, Artotel juga menyasar korporasi dan pemerintahan. “Menyasar MICE-lah. Kami juga membuka melalui travel agent, baik online maupun offline. Ada juga frequent individual travellers atau FIT. Semua lini kami jajaki,” katanya.

Tantangan terberat di bisnis hotel, kata Ery, tetap di sisi sumber daya manusianya. “Mendapatkan orang itu mudah, tapi mendapatkan orang yang baik atau bagus itu susah. Mendapatkan orang yang bagus dan baik, serta loyal, lebih susah lagi. Ini sebenarnya tantangan bagi saya karena kami menjual experience. Kami mungkin brand awal yang memvalidasi attitude daripada skill pada saat merekrut frontliners.”

Salah satu bagian dari pelatihan di Artotel juga mengajarkan seni kepada karyawan. Ada kelas seni untuk pegawai, sebulan sekali. “Mereka misalnya diberi exercise, kami kasih kanvas, tidak perlu bagus, intinya supaya mengasah kreativitas otak kanan,” cerita Ery.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani menilai, pertumbuhan hotel butik seperti Artotel tak lepas dari pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Kelompok ini memerlukan hotel berharga terjangkau tetapi pelayanannya baik. Jumlah kamar biasanya 50 sampai 100. Pasarnya masih potensial. “Boleh dibilang, peminat hotel butik adalah kaum urban,” ujarnya.

Sebaliknya, imbuh Hariyadi, model hotel budget justru mulai menurun, dan mereka lari ke hotel butik atau townhouse. Makin lama, mereka makin bisa mengefisienkan cara kerja sehingga harga jual kamarnya menjadi tidak terlalu mahal tetapi estetika interior dan pelayanannya tetap bagus. “Pengaruh hotel butik terhadap peningkatan pariwisata juga bagus karena pasarnya rata-rata individual, bukan grup. Mereka punya pangsa pasar sendiri,” kata Hariyadi menandaskan.

Reportase: Yosa Maulana/Riset: Elsi Anismar


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved