Trends

Solusi Memperkecil Backlog Perumahan MBR

Solusi Memperkecil Backlog Perumahan MBR
Anton Sitorus Pengamat Perumahan (kiri) dan Muhammad Joni Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (kanan).

Upaya pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan terus dilakukan melalui Program Sejuta Rumah. Tercatat hingga 31 Juli 2022, pembangunan infrastruktur perumahan dalam Program Sejuta Rumah di Indonesia telah mencapai 544.845 unit (447.994 unit rumah MBR, atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah, dan 96.851 unit untuk non MBR). Capaian program Sejuta Rumah pada Juli bertambah sebanyak 78.834 unit dari Juni lalu.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, capaian Program Sejuta Rumah untuk MBR sebanyak 447.994 unit, pembangunannya berasal dari beberapa pihak. Kementerian PUPR sebanyak 180.924 unit, kementerian lain 78 unit, pemerintah daerah 16.122 unit. Selain itu, dari pengembang perumahan sebanyak 197.196 unit, CSR (corporate social responsibility) perumahan 179 unit, dan masyarakat 53.495 unit. Sementara untuk pembangunan rumah untuk non-MBR tercatat 96.851 unit berasal dari pengembang sebanyak 70.060 unit dan masyarakat sebanyak 26.791 unit.

Dalam diskusi dengan tema ‘Jalan Terjal Penyediaan Perumahan di Indonesia’ terungkap bahwa pembangunan perumahan MBR masih jauh dari harapan. Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Mohammad Solikin, mengatakan kemampuan bangun rumah oleh pemerintah dan swasta sekitar 500 ribu unit per tahun, sedangkan kebutuhannya dari keluarga baru mencapai 700 ribu-800 ribu, sehingga ada kekurangan sekitar 200 ribu unit per tahun, belum termasuk backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta keluarga. “Kekurangnya tiap tahun akan menggelembung, sehingga backlog naik terus. Indonesia tidak akan mungkin memenuhi masalah perumahan,” katanya.

Muhammad Joni Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera) menambahkan, pemerintah harus segera menyelesaikan hambatan dan jalan terjal yang masih terjadi dalam penyediaan rumah khususnya untuk MBR. Khususnya dalam hal kebijakan terkait perizinan seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penetapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dianggap menghambat penyediaan perumahan rakyat.

Diakui Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida, terkait masalah LSD, masih banyaknya kasus perumahan atau pergudangan yang sudah dibangun tetapi tiba-tiba sekarang ditetapkan sebagai LSD. Akibatnya, pembangunan dan pasokan rumah menjadi terhambat. Padahal, sebagian besar pengembang membangun dengan memakai uang bank, di mana ada cost of fund termasuk bunga yang harus tetap dibayar. Apalagi sebagian besar pengembang rumah bersubsidi adalah UMKM yang perlu dibantu dan didukung.

Pengamat Perumahan Anton Sitorus menekankan bahwa masalah perumahan adalah hal fundamental dan kebutuhan asasi manusia. Namun sayang, apa yang pemerintah lakukan selama ini dalam penyediaan perumahan masih jauh dari harapan. “Begitu banyak masalah klasik yang terus muncul terutama dalam hal perizinan seperti PBG dan LSD,” katanya.

Menurut Anton, penyediaan perumahan bagi masyarakat luas di Indonesia perlu dilakukan melalui program yang serius dan ambisius terutama oleh negara. Oleh karenanya, tidak bisa dikerjakan dalam lembaga yang memiliki fokus ganda.

“Pemerintah perlu berkomitmen untuk memastikan program pembangunan rumah bersubsidi ini berjalan dengan baik. Berbagai hambatan yang ada baik dari sisi suplai maupun sisi permintaan jangan dibiarkan saja, tetapi segera diselesaikan. Harus diingat bahwa memiliki rumah layak adalah hak asasi setiap warga negara,” kata Anton.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved