Trends

Survei Nenilai Sebut 3 Nilai Ini Diperlukan di Masa Depan

Survei Nenilai Sebut 3 Nilai Ini Diperlukan di Masa Depan

Tanggung jawab, hidup sederhana/bersahaja, dan dapat dipercaya/mempercayai menjadi nilai pribadi yang paling dianggap penting. Sementara gotong-royong, demokrasi, dan hak asasi manusia terpilih sebagai nilai-nilai yang sudah dirasakan hidup sekarang dan masih diperlukan di masa depan oleh masyarakat Indonesia. Hal itu terungkap dalam survei yang dilakukan Nenilai pada 2020.

Nenilai merupakan sebuah gerakan yang diprakarsai dan digagas oleh Dayalima Abisatya bersama dengan BAPPENAS (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia), Indika Energy, Pantarei Communications dan Stoik Trisula. Survei daring ini dilakukan sebagai proses identifikasi atas nilai-nilai hidup yang dianggap penting secara individual maupun bersama.

Survei dilakukan di seluruh pelosok Nusantara, mulai dari Provinsi Aceh sampai dengan Provinsi Papua, juga masyarakat Indonesia yang saat ini sedang berada di negara lain. Survei Nenilai dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2020 dan total responden survei berjumlah 50.452 orang; 40% laki-laki dan 60% perempuan.

Para responden tersebut memiliki profesi yang beragam dari pelajar, petani, pekerja kreatif, guru hingga pekerja korporat/BUMN. Mayoritas responden dengan jumlah 39.053 adalah para penerus bangsa – mereka yang berusia 30 tahun ke bawah.

Berkat survei ini, V20 mempercayai Nenilai menjadi Komite Penyelenggara V20 2022 di Indonesia, bertempat di Bali pada 20 dan 21 Oktober 2022. Alissa Wahid, V20 2022 Co-Sherpa menjelaskan bahwa pemahaman atas nilai-nilai dapat memberikan ruang refleksi yang penting bagi kita sebagai bangsa.

“Lebih jauh lagi, masih ada nilai-nilai yang menghambat kemajuan yang tergambar dari tingginya tingkat entropi di masyarakat kita. Kita perlu bersungguh-sungguh melakukan upaya rekayasa sosial untuk terus bergerak maju menyongsong peluang bonus demografi dan 100 tahun Indonesia,” ujarnya.

Survei Nenilai Indonesia menghasilkan tiga temuan kunci. Pertama, terdapat perbedaan antara nilai yang dipegang teguh secara perorangan dengan nilai yang dirasa hidup sekarang di masyarakat. Nilai-nilai yang dipercaya secara personal oleh responden semuanya bermuatan positif dengan tiga nilai pilihan teratas yakni bertanggung jawab, hidup sederhana/bersahaja, dan dapat dipercaya/mempercayai. Di lain pihak, 6 dari 10 nilai yang dianggap hidup di masyarakat adalah nilai-nilai yang berpotensi menghambat. Apa saja tiga nilai teratas yang sekarang terasa di masyarakat? Gotong-royong, Birokrasi/Aturan berbelit-belit, dan berpegang pada aturan agama.

Kedua, gotong-royong, demokrasi, dan hak asasi manusia terpilih sebagai nilai-nilai yang sudah dirasakan hidup sekarang dan masih diperlukan di masa depan. Responden menggariskan bahwa tiga nilai yang kini sudah ada tersebut layak untuk terus diperjuangkan keberadaannya di masa yang akan datang. Ketiganya adalah irisan dari nilai-nilai yang sudah terlihat sekarang dan yang didambakan terus hidup ke depannya.

Ketiga, entropi budaya yang masuk pada kategori kritis. Entropi budaya yang digunakan untuk mengukur besaran keluhan yang dirasakan di tengah masyarakat saat ini, menunjukkan angka 42%, yang jauh dari angka ideal (≤13%). Budaya yang sedang berkembang di masyarakat cenderung bermuatan hal-hal yang membatasi, yakni birokrasi/aturan berbelit-belit, Berpegang pada aturan agama (dengan pemahaman yang kaku), korupsi, diskriminasi SARA, dominasi kaum elit/golongan atas, dan berpikir jangka pendek.

“Gotong-royong sebagai nilai yang sudah diajarkan sejak lama perlu dihidupkan sehingga identitas kita sebagai bangsa yang guyub tidak luntur oleh nilai individualistik yang sekarang berhembus kencang. Nilai gotong royong yang dimunculkan dalam perilaku keseharian akan membantu kita untuk berbicara tidak hanya dari pandangan ‘saya’ tetapi melibatkan pandangan ‘kita’,” jelas Alissa.

Menurutnya, yang sangat penting untuk dihindari adalah lunturnya nilai-nilai pribadi akibat gerusan nilai budaya bangsa yang dirasakan saat ini. Contoh, jangan sampai kita yang memegang tinggi nilai Integritas kemudian jadi memaklumi korupsi yang diakui tersebar saat ini. Sebaliknya, kita juga perlu menanamkan nilai budaya bangsa yang diharapkan pada kehidupan kita masing-masing.

“Bangsa kita akan memasuki masa bonus demografi. Puncaknya diperkirakan terjadi pada tahun 2028-2032, yang harusnya dimafaatkan dalam membangun peradaban Indonesia dan budaya yang baru. Waktu 7 tahun yang kita miliki sebelum memasuki periode ini harus dimanfaatkan dengan maksimal untuk menanamkan nilai-nilai yang kita harapkan tumbuh di masa depan. Apa yang terjadi pada periode ini akan turut memberikan sumbangsih dalam mewujudkan gagasan Indonesia Emas pada tahun 2045,” tutur dia.

Hasil survei Nenilai diharapkan mampu memberikan gambaran akan dimensi-dimensi penting tentang kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini dan realitas yang menjadi tantangan. “Semua value deficit harus kita atasi dengan pendidikan, contoh teladan, dan tumbuhnya sikap empati serta berkorban untuk orang lain,” tambah Bambang Shergi Laksmono, Guru Besar FISIP Universitas Indonesia sekaligus Pegiat kewarganegaraan aktif (active citizenship) untuk Indonesia.

Menurut Bambang, Nenilai berperan penting untuk selanjutnya mengenali dan menggulirkan apa saja nilai yang harus disemai dan disosialisasikan. Untuk itu, Nenilai harus didukung sebagaigerakan jangka panjang yang mampu menemani perjalanan bersama menuju 100 tahun Proklamasi Kebangsaan 2028 serta mengawal pencapaian Indonesia Emas 2045.

Editor : Eva Martha Rahayu

swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved