Trends Economic Issues

Tantangan Pembiayaan Energi Berkelanjutan di Indonesia

Tantangan Pembiayaan Energi Berkelanjutan di Indonesia
Indonesia membutuhkan pendanaan energi terbarukan yang khusus

Direktur Utama Tempo Inti Media Tbk, Arief Zulkifli mengatakan, penggunaan energi fosil dunia terus meningkat seiring peningkatan kegiatan ekonomi. Di satu sisi cadangan energi fosil terus menyusut, khususnya minyak bumi dan gas alam.

Potensi energi baru terbarukan yang sangat besar ini, harus segera dimanfaatkan dalam masa transisi energi. Segara hambatan dalam pengembangan energi ini harus segera diatasi. Publik juga menunggu kebijakan penggunaan energi baru terbarukan secara massif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

“Sebagai negara dengan sumber energi baru terbarukan melimpah, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan cadangan energi fosil, khususnya minyak dan gas bumi. Saat ini total potensi energi terbarukan ekuivalen 442 gigawatt (GW) digunakan untuk pembangkit listrik. Namun, yang dimanfaatkan menjadi sumber energi baru 2,5 persen atau 10 gigawatt,” ujar Arief di acara pembukaan Tempo Energy Day 2021 di Jakarta (21/10/2021). Mengusung kampanye #energibersih #tempoenergyday2021 webinar yang berlangsung tiga hari terbagi dalam beberapa sesi.

Pada hari pertama sesi 2 webinar ini mengusung tema ‘Pembiayaan Energi Berkelanjutan’. Konsep keuangan berkelanjutan (sustainable finance) untuk sektor keuangan mungkin terasa aneh, karena sektor ini tidak menghasilkan produk berwujud fisik yang berkaitan dengan lingkungan, sektor keuangan hanya menyediakan jasa keuangan. Namun, pada kenyataannya, paling tidak terdapat dua channel bagaimana bank dapat berdampak ke masyarakat, yaitu lingkungan dan perekonomian.

Indonesia membutuhkan pendanaan energi terbarukan yang khusus. Tingkat perkembangan energi terbarukan yang masih infant, risiko yang tinggi, dan pasar yang masih terbatas memerlukan sebuah stimulus untuk menarik investor. Perbankan perlu semakin agresif menyalurkan kredit ke sektor energi terbarukan.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan sejumlah regulasi menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang bisnis dan investasi dari keuangan berkelanjutan. Peningkatan pembiayaan hijau itu guna mempercepat agenda keberlanjutan dalam membantu nasabah dalam mengintegrasikan praktik bisnis berkelanjutan dalam seluruh strategi bisnisnya.

Narasumber yang dihadirkan dalam webinar di hari 1 sesi 2 adalah Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi Masyita Crystallin dan lainnya. Dia menyampaikan, transisi energi dan ketahanan energi sama-sama penting. “Energi terkait dengan development satu daerah atau negara. Akses terhadap energi listrik terutama berkaitan dengan poverty (kemiskinan) dan ketidaksetaraan di suatu daerah untuk capai Net Zero Emission perlu mengubah tatanan energi yang ada ke renewable energy,” ujar Masyita.

Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Enrico Haryono menyampaikan semua pihak harus mendukung penurunan emisi karbon. “Di luar dukungan fiskal pemerintah, pembiayaan 70-80 persen berasal dari sektor perbankan, termasuk dari sektor energi. “Di OJK, pembiayaan ke depan untuk energi baru terbarukan harus melihat tipikal pembiayaan, membalancing (menyeimbangkan) antara bisnis dan risiko,” jelas dia.

Enrico menambahkan energi merupakan bisnis padat modal. Jadi perbankan harus memahami know how-nya. “OJK sangat men-support pembiayaan energi dan sektor lain yang mendorong penurunan emisi karbon, kami siapkan struktur kebijakan termasuk insentif dan disinsentif terukur dalam risk tolerance. Mengeksplor instrumen-instrumen sehingga bisa didesain khusus, misalnya project bond atau municipal bond. Semua channel bisa didorong untuk financing, termasuk perbankan dan pasar modal,” ungkapnya.

Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur, Edwin Syahruzad, mengatakan bauran energi akan bergeser ke energy baru terbarukan (EBT). “Yang tak kalah penting elektrifikasi. Dua sub sektor itu harus didorong bagaimana agar orang mau berinvestasi ke project green. Saya lihat beberapa sub sektor sudah besar investasinya. Project hydro ata mini hydro misalnya, mungkin 10 tahun lalu pihak perbankan masih meraba-raba. Namun kini beberapa agregat sudah mengalami perubahan, bahkan ada yang bersiap IPO (initial public offering). Saya kira, project hydro sekarang jadi mainstrean bagi pembiayaan lembaga keuangan dan perbankan,” dia menguraikan.

Edwin mengatakan, kuncinya adalah tahu persis akses kepada teknologi yang menghasilkan energi terjangkau. “Juga familiarity dari kalangan pebisnis. Tentunya dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah, misalnya carbon tax, akan mendorong pengusaha berinvestasi sehingga akan muncul demand potensi pembiayaan,” jelas dia.

Menurut Edwin, Pemda mulai berminat pada mass rapid transport system, lebih baik kalau ramah lingkungan. “Itu akan makin mendorong potensi pembiayaan. Bukan hanya di level korporasi tapi juga pemda. Hal itu bisa sebagai katalis. Jakarta bisa menjadi contoh dalam penyelenggaraan transportasi publik massal alih-alih berbasis listrik,” tandasnya.

Corporate Banking Industry Group Head Resources and Property dari UOB Indonesia, Susanto Lukman sepakat bahwa pembiayaan energi hijau menjadi isu penting. UOB Indonesia secara konsisten menyertakan pentingnya isu climate change (perubahan iklim). “Ancaman global yang dirasakan seluruh dunia. Green energy akan menjadi masa depan energi kita, dan akan makin affordable ke depannya dan besar,” paparnya.

Menurut Susanto, berdasar pengalamatannya, korporasi sudah lakukan investasi ke green energy. “Bukan hanya hydropower, beberapa manufakturi mulai menambahkan solar panel ke sumber energi mereka yang tidak lebih mahal dari bahan bakar fosil,” ungkap dia.

Bahkan untuk menerapkan itu imbuh Susanto, perusahaan tak perlu menambahkan c belanja modal, namun cukup komitmen dalam jangka waktu tertentu. “Transisi sudah berjalan dan berkembang dengan baik, UOB siap untuk green energ. Kami sudah ada 3 framework, yakni Real Estate Sustainable Financing , Smart City Sustainable Financing Framework dan Green Financing for Circular Economy ,” ujarnya. UOB mendukung nasabah yang akan masuk ke green energy dengan menyediakan cukup banyak solusi terkait energi dan inisiatif lain yang mengurangi emisi karbon, misalnya biosolar dan wind energy.

Senior Vice President Corporate Banking V Bank Mandiri Midian Samosir, mengatakan target capaian EBT 23% pada 2025 merupakan hal yang menantang bagi perbankan. “Saat ini energi yang terbarukan baru mencapai 11-12 persen padahal sudah berlangsung puluhan tahun. Namun kami di perbankan selalu mengikuti regulator, termasuk dalam hal ini roadmap sustainable finance tahap 1 yang sudah terlaksana dan siap menuju tahap kedua,” ujarnya.

Di Bank Mandiri, lanjut Midian, sudah masuk Green ESG (Environmental, social, and governance), antara lain dengan sediakan kredit program mobil listrik dalam upaya mendorong untuk energi terbarukan. Di bank BUMN ini juga dilakukan poses capacity development ikut dialog dan diskusi dengan asosiasi pelaku usaha dan dewan energi nasional untuk menaikkan level awareness dan knowledge pada industri guna mendorong ESG finance.

“Bank Mandiri sudah menjalankan sustainable financing termasuk ESG. Kami peduli dengan hal ini mengingat stakeholder dalam dan luar negeri mulai concern dengan ekonomi keberlanjutan,” ujarnya. Pekerjaan rumahnya adalah bagaimana membenahi ekosistem renewable energy menjadi favorable karena bank akan berinvestasi cukup panjang, misalnya seperti apa kredit yang disalurkan.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved