Technology

Akhirnya, E-Commerce Punya Payung Hukum

Oleh Admin
Akhirnya, E-Commerce Punya Payung Hukum

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati isi substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang telah dibahas secara intensif sejak Oktober 2013. Saat ini sedang dilakukan finalisasi legal drafting untuk sinkronisasi dan harmonisasi. RUU Perdagangan ini diharapkan dapat disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 7 Februari mendatang.

“Rancangan Undang-Undang Perdagangan ini merupakan lompatan besar dan sejarah baru bagi bangsa Indonesia dalam mendorong perdagangan nasional yang lebih maju dan berkeadilan,” jelas Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, di Jakarta, Rabu (29/1/2014).

Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan

Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan

Gita menegaskan bahwa RUU Perdagangan ini mengedepankan kepentingan nasional dan ditujukan untuk melindungi pasar domestik dan produk ekspor Indonesia, memperkuat daya saing dan nilai tambah produk dalam negeri, membuat regulasi perdagangan dalam negeri, dan memberikan perlindungan terhadap konsumen. “Dalam perspektif yang lebih strategis, maka RUU Perdagangan ini berangkat dari konsepsi untuk mengamankan seluruh wilayah perdagangan Indonesia guna memaksimalkan penciptaan nilai tambah bagi perekonomian nasional,” imbuhnya.

Menurut dia, melalui RUU yang merupakan inisiatif Pemerintah yang disusun sebagai payung bagi peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan, Pemerintah ingin memastikan:

Pertama, bahwa produk-produk yang diperdagangkan di dalam negeri semaksimal mungkin juga diproduksi di dalam negeri. “Diharapkan perekonomian nasional dapat ditopang tidak hanya oleh kegiatan konsumsi, tetapi juga oleh kegiatan produksi,” ujarnya. Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal ini diatur secara jelas untuk mendorong produksi barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam negeri dan melindungi hasil produksinya demi memenuhi kebutuhan nasional. RUU ini juga mengatur upaya peningkatan penggunaan produk-produk dalam negeri, melalui promosi, sosialisasi, atau pemasaran dan perluasan akses pasar bagi produk dalam negeri, serta menerapkan kewajiban menggunakan produk dalam negeri.

Kedua, RUU ini juga menopang ketahanan ekonomi nasional, melalui ketahanan pangan dan ketahanan energi, serta menjaga keseimbangan kepentingan produsen di hulu maupun kepentingan konsumen di hilir semaksimal mungkin. Pemerintah dapat mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting; membatasi impor dan ekspor barang untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, melindungi kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau lingkungan hidup, serta membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri.

Dalam hal ketahanan energi, Pemerintah dapat membatasi ekspor barang untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; terbatasnya ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri; dalam rangka peningkatan nilai tambah ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam; melindungi kelestarian sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas ekspor tertentu di pasaran internasional; dan/atau menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.

Guna menjaga keseimbangan kepentingan produsen di hulu maupun kepentingan konsumen di hilir, maka secara khusus diatur stabilisasi harga dan pasokan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting sehingga harga dapat terjangkau. Selain itu, juga adanya larangan dan pembatasan barang yang diimpor maupun diekspor, seperti rotan asalan, kayu gelondongan, dan mineral. Barang yang dilarang diimpor, seperti bahan berbahaya beracun (limbah B3), barang yang dibatasi terdiri dari barang yang diawasi dan barang yang diatur. Barang yang diawasi contohnya, antara lain adalah minuman beralkohol, gula, pupuk bersubsidi, LPG 3 kg. Barang yang diatur melalui regulasi teknis contohnya, antara lain TPT, tekstil, elektronik, hortikultura (antara lain bawang merah dan cabe merah).

Ketiga, kerangka perlindungan konsumen perlu ditegakkan melalui kewajiban penggunaan label berbahasa Indonesia untuk barang-barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan ketentuan pemenuhan SNI.

Keempat, pelaku usaha di seluruh penjuru tanah air terutama pelaku KUMKM dapat bekerja lebih efisien dan berkembang lebih maju.

Kelima, RUU ini juga akan menjadi dasar dan payung hukum bagi ketertiban dan tumbuh kembangnya pelaku usaha yang bergerak dalam sistem perdagangan melalui elektronik (e-commerce).

Keenam, melalui RUU ini kedaulatan rakyat dilindungi dengan dilibatkannya DPR dalam ratifikasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan Internasional. “Pemerintah dapat berkonsultasi dengan DPR dalam membuat perjanjian kerja sama perdagangan internasional,” jelas Gita.

Ketujuh, pembentukan Komite Perdagangan Nasional diperlukan untuk membantu Pemerintah dalam percepatan pencapaian pelaksanaan kebijakan perdagangan. Komite akan membantu Pemerintah memberikan advokasi, rekomendasi, dan sosialisasi.

Lingkup pengaturan dalam undang-undang ini meliputi perdagangan dalam negeri, perdagangan luar negeri, perdagangan perbatasan, perizinan, standardisasi, perdagangan melalui sistem elektronik, pelindungan dan pengamanan perdagangan, pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah, pengembangan ekspor, tugas dan wewenang, kerja sama perdagangan internasional, sistem informasi perdagangan, komite perdagangan nasional, pengawasan dan penyidikan.

Menurut Gita, urgensi pentingnya Undang-Undang Perdagangan ini berangkat dari berbagai persoalan yang muncul di sektor perdagangan, baik berupa distorsi pasar, ketidakadilan di aspek distribusi barang dan/atau jasa, informasi yang asimetris yang menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, ataupun berbagai gejolak harga yang terjadi yang berdampak pada kenaikan inflasi.

Bila RUU ini disetujui maka undang-undang tersebut akan dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan yang terdiri dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri yang harus diterbitkan paling lambat dua tahun setelah UU tentang perdagangan ini diundangkan.

Sekilas mengenai RUU Perdagangan

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur perdagangan. Inisiasi RUU Perdagangan baru dimulai tahun 1972, di era Menteri Soemitro Joyohadikusumo, dan diajukan ke Presiden lima tahun kemudian di tahun 1979, tetapi ditolak. Selama tahun 1982-1986, RUU Perdagangan tersebut dibahas kembali pada saat Rahmat Saleh menjabat sebagai Menteri Perdagangan.

Perhatian yang besar terhadap sektor perdagangan diberikan akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1996/1997. Krisis ini kemudian menciptakan krisis ekonomi dan politik yang melahirkan TAP MPR No XVI tahun 1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi yang dijadikan dasar dalam menyusun kebijakan perekonomian Pemerintah.

Di tahun 2010-2011, pembahasan dan pendalaman RUU kembali dilakukan di tingkat internal bersama para pemangku kepentingan terkait pada era Mari Elka Pangestu, namun masih belum disampaikan ke Presiden. Baru pada era Gita Wirjawan, pembahasan secara mendalam kembali dimulai. Pembahasan secara intensif dengan DPR ini dilakukan sejak Oktober 2013, dan saat ini sudah sampai tahap sinkronisasi dan harmonisasi. RUU Perdagangan ini diharapkan dapat disahkan di sidang paripurna DPR pada awal Februari mendatang.

Undang-Undang yang menjadi dasar hukum kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan perdagangan yang ada saat ini, antara lain Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Undang-Undang Penyaluran Perusahaan 1934), Undang-Undang tentang Barang, Undang-Undang tentang Pergudangan, Undang-Undang tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan, Undang-Undang tentang Metrologi Legal, Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan (WDP), Undang-Undang tentang Pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Undang-Undang tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang, Undang-Undang tentang Kepabeanan, dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang tersebut, saat ini kurang memadai sebagai dasar hukum dalam penyusunan kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan perdagangan, sehingga perlu dibentuk UU tentang perdagangan yang mengatur secara menyeluruh mengenai kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan perdagangan, guna memenuhi tuntutan perkembangan situasi perdagangan terkini dan masa depan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved