Technology zkumparan

Dua Sekawan Geluti Bisnis Edukasi Data Scientist

Dua Sekawan Geluti Bisnis Edukasi Data Scientist
Nayoko Wicaksono, CEO & founder Algoritma Data Science School.

Pengalaman panjang di dunia digital dan startup mendorong Nayoko Wicaksono dan Samuel Chan mendirikan Algoritma Data Science School, startup yang fokus pada program dan kegiatan pendidikan untuk data scientist. Algoritma memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai center of talent untuk data.

Sampai saat ini, Algoritma yang berdiri sejak 2017 sudah meluluskan 11 ribu pelajar. Dan, ada 180 corporate yang telah dilatih, di antaranya DBS Singapura dan BCA.

Algoritma juga sudah membuka cabang di Singapura, bekerjasama dengan Ngee Ann Polytechnic dan NTUC LHUB. “Kami sekolah pertama yang mengekspor kurikulum ke luar negeri dan melatih delapan profesor di Singapura, sehingga mereka bisa men-deliver kurikulum dan kursus kami di sana,” kata Nayoko, CEO & co-founder Algoritma.

Dengan bangga, ia menambahkan, “Kami senang bisa menjadi perusahaan Indonesia yang stand out. Kami harus tunjukkan kepada orang-orang bahwa kami bisa. Indonesia bisa menjadi kreator bukan hanya konsumen.”

Algoritma berdiri di tengah makin maraknya startup hingga layanan e-commerce yang berbasis teknologi, sehingga dibutuhkan posisi baru yang berperan penting dalam bisnis tersebut. Contohnya, data analyst, data engineer, dan data scientist. Namun, ada masalah terbesar di Indonesia, yaitu kesenjangan yang lebar antara permintaan data scientist dan pasokan talentanya.

Nayoko dan Samuel mencoba memecahkan kekurangan talenta di bidang data tersebut. Kebetulan, keduanya memiliki passion di bidang edukasi sehingga lahirlah Algoritma Data Science School.

Pada awal berdiri, banyak yang meragukan bisnis edukasi ini. Namun, mereka tetap yakin, banyak orang yang ingin menambah kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Keduanya juga percaya, jika edukasi di bidang ini tidak dilakukan, Indonesia akan ketinggalan dari negara lain.

“Visi kami adalah bisa membuat karyawan di Indonesia sebagai creator of technology and creator of product,” Nayoko menegaskan. Dengan visi tersebut, ia berharap Indonesia bukan hanya sebagai pasar yang dieksploitasi terus-terusan. Ia ingin mendemokratisasi data science skill di negara ini.

“Untuk itu, butuh empat tahun untuk bisa menyempurnakan kurikulum, serta melakukan investasi pada karyawan dan pengajar lewat training,” kata Nayoko yang pernah menimba ilmu, meniti karier, dan membuat perusahaan di Kanada ini.

Algoritma Data Science School juga memberikan lifetime learning kepada alumni dan memberikan beasiswa total Rp 8 miliar untuk belajar gratis bagi 40 orang setiap tahun. Tahun ini merupakan pemberian beasiswa tahun kedua dengan proses belajar mulai November 2021. Tidak hanya itu, mereka yang sudah lulus akan mendapatkan kesempatan internship sehingga mereka memiliki pengalaman kerja.

Menurut Nayoko, perbedaan Algoritma Data Science School dengan yang lain adalah pada kualitas. Orang memang bisa belajar online, tetapi setelah belajar online, keahliannya tidak bisa diterapkan di industri. Dengan demikian, kualitas sangat penting.

“Kami fokus untuk meningkatkan skill seseorang, sehingga mereka bisa mendapatkan promosi atau kerjaan baru yang lebih baik,” kata Nayoko yang juga menjadi Komisaris Zipmex, platform jual-beli bitcoin dan investasi aset digital di Indonesia.

Skill yang dipelajari, menurutnya, harus dekat dengan industri. Belajar secara online itu kebanyakan teori, sehingga tidak dekat dengan industri. Pihaknya memiliki moto Learn by Building. Portofolio mereka adalah apa yang mereka bangun, sehingga ketika dites perusahaan, mereka bisa langsung diterima.

Selain kualitas yang menjadi fokusnya, pihaknya juga ingin memperbanyak kuota beasiswa. Ia ingin orang-orang di luar Jawa bisa mendapatkan akses ke Algoritma. “Kami ingin mendemokratisasi skill ini ke seluruh Indonesia dengan memberikan secara gratis kepada mereka,” ujar pria yang juga aktif di venture capital bernama Artesian VCAAS ini.

Instrukturnya sengaja disekolahkan untuk mendapatkan global certification bernama R Studio. “Kami perusahaan pertama di Asia yang mendapatkan sertifikat itu. Pengajar kami sekitar 30 orang, tim kami ada 60 orang. Kami fokus untuk menaikkan productivity, makanya kami lebih banyak up skilling daripada merekrut banyak orang,” kata Nayoko yang pernah satu tim dengan para pendiri Gojek, Nadiem Makarim dan Kevin Aluwi, saat sama-sama menitir karier di Rocket Internet (Zalora) pada 2011.

Dalam pandangannya, pandemi Covid-19 ini membuat orang-orang sadar bahwa digital adalah masa depan sehingga mau belajar. Itu sebabnya, di masa pandemi ini terjadi kenaikan double digit dari jumlah peserta yang mendaftar di Algoritma.

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi adalah mindset. Talenta di Indonesia memiliki potensi yang besar, hanya saja budaya dan pola pikir yang ditanamkan dari kecil tidak membebaskan untuk berpikir secara bebas.

“Kita terbiasa mengikuti apa yang diajarkan guru. Kita tidak dibebaskan untuk bertanya, berpikir, dll. Sekolah kita masih memiliki konsep lama, tidak dipersiapkan untuk masa depan,” kata mantan Head Partnership and Business Development Grup Emtek ini.

Bicara soal fund rising, Nayoko mengatakan, Algoritma tidak pernah fund rising sehingga pihaknya bisa melakukan apa pun yang ingin dilakukannya. Algoritma hanya memiliki angel investor di awal, setelah itu pihaknya tidak pernah fund rising.

Bahkan, pihaknya mengembalikan uang investor karena ingin mempertahankan kontrol. Tujuannya, bisa tetap berpegang pada misinya untuk mendemokratisasi data science skill dan meningkatkan adopsi teknologi di Indonesia.

“Kami tidak hanya berorientasi bisnis, tetapi juga membuat impact kepada society. Profit kami dari para peserta yang mendaftar di sekolah kami,” kata Nayoko yang ikut mendirikan akselerator bernama Plug and Play Indonesia (Grup Sinarmas) ini. (*)

Dede Suryadi dan Anastasia AS

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved