Technology

Mengapa Brand Besar Harus Masuk E-Commerce?

Mengapa Brand Besar Harus Masuk E-Commerce?

Seiring dengan perkembangan ekosistem e-commerce di Indonesia, pemilik brand besar harus masuk dan mengetahui lebih dalam mengenai pasar e-commerce untuk meningkatkan penjualan secara signifikan. Hal ini dinyatakan oleh Iim Fahima Jachja, CEO Virtual Consulting, perusahaan konsultan dijital yang sudah berusia 10 tahun, pada sesi temu wartawan di penyelenggaraan seminar bertajuk “E-commerce for Brand, It’s Time”, Kamis (7/2) di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, di mana Virtual Consulting yang menjadi penyelenggara seminar tersebut bekerja sama dengan mitra lainnya seperti IBM Indonesia, Doku, JNE, dan lainnya.

Iim Fahima Jachja, CEO Virtual Consulting

Bicara soal e-commerce, masih banyak yang mengasosiasikan istilah ini dengan perusahaan online seperti Tokopedia, Tokobagus, Blibli, Rakuten, dan lainnya yang bisa dikategorikan sebagai e-marketplace. Menurut pihak Virtual Consulting, hal ini dikarenakan masih jarangnya perusahaan atau pemilik brand besar yang terjun langsung menjual produknya sendiri secara online. Berbeda dengan brand kecil atau pengusaha kecil yang sudah banyak memanfaatkan saluran dijital atau e-marketplace tersebut untuk meningkatkan penjualannya.

Lalu, mengapa brand besar harus masuk ke e-commerce? Iim mengatakan bahwa terdapat potensi pasar yang cukup besar di ranah web atau dijital. Bisa dilihat dari jumlah pengguna internet yang mencapai 60 juta pengguna dan 230 juta pengguna seluler, di mana 20 persennya merupakan pengguna telepon pintar. “Diperkirakan pengguna internet akan bertambah menjadi 149 juta pada 2015,” tambah Iim yang juga mengatakan bahwa pertumbuhan kelas menengah di Indonesia merupakan pertumbuhan kelas menengah paling tinggi, sekitar 55%, di regional Asia Pasifik dengan pengeluaran tiap tahunnya mencapai US$ 3000.

Faktor lainnya yang bisa menggoda pemilik brand besar untuk terjun ke e-commerce ialah nilai transaksi di e-commerce yang terus tumbuh. Mengutip riset Daily Social, Iim mengatakan bahwa transaksi e-commerce tahun lalu sekitar US$ 0,9 miliar atau sekitar Rp 8,5 triliun. Angka ini akan mencapai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 95 triliun. Lagi-lagi pertumbuhan angka ini disebabkan oleh pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang memang merupakan pengguna internet. “Kelas menengah merupakan pengguna internet. Mereka habiskan waktu di desktop 3 jam sehari dan selalu terkoneksi dengan media sosial,” kata Iim.

Data lain yang dilontarkan Iim yaitu nilai tiap transaksi e-commerce per individu yaitu antara Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu. Menurut data Nielsen yang dikemukakan Iim, Indonesia merupakan negara dengan nilai belanja e-commerce paling tinggi di kawasan Asia Pasifik. “Penduduk Indonesia mengeluarkan 10% dari pendapatannya untuk belanja melalui e-commerce,” ungkapnya.

Selain potensi dari jumlah pengguna internet dan nilai transaksi belanja di e-commerce yang terus tumbuh, Iim juga melihat pentingnya peran media sosial bagi pemilik brand untuk menggali karakter konsumen dan membangun engagement dengan konsumen yang akhirnya berpotensi meningkatkan penjualan. Iim mengatakan bahwa Jakarta dan Bandung merupakan 2 kota di antara 5 kota “tercerewet” di dunia untuk media sosial Twitter, selain jumlah pengguna Facebook di Indonesia yang mencapai sekitar 55 juta pengguna.

Iim melanjutkan, banyaknya penduduk Indonesia yang dekat dan terkoneksi dengan media sosial, salah satunya berdampak pada kebutuhan penggna media sosial untuk lebih dekat dengan brand. “Mereka (pengguna media sosial –red) ingin mendapat dan segera direspon oleh pengelola brand,” tambahnya. Berbagai faktor potensi itu, menurut Iim, merupakan hal yang jadi alasan kuat bagi pemilik brands untuk secara serius terjun ke e-commerce. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved