Technology

QVC, Jagoan Bisnis Home Shopping Dunia

QVC, Jagoan Bisnis Home Shopping Dunia

Meski bukan pionir di industrinya, QVC mampu berkembang sebagai penguasa industri home shopping yang terus tumbuh. Tak puas dengan fasilitas TV show dan pemesanan via telepon, aneka platform pun disediakan untuk mengedukasi dan melayani pelanggannya.

Di jagat industri home shopping, QVC bukanlah sang pionir. Home Shopping Network (HSN) yang berdiri pada 1977 merupakan perintis yang mengenalkan layanan belanja lewat TV kabel atau TV satelit yang telah terpasang di rumah-rumah. Joseph Segel, entrepreneur asal Philadelphia, baru meluncurkan QVC pada 1986, yang tadinya cuma bertujuan melengkapi keberadaan HSN yang sudah cukup mapan. Nama perusahaan home shopping yang simpel ini tak lain singkatan dari visi Segel dalam menyediakan layanan: Quality, Value, Convenience.

Untuk meluncurkan layanannya, Segel menggandeng perusahaan TV kabel asal kotanya, Comcast, yang bersedia ikut urun sedikit modal tunai dan menjalankan program acara QVC di sistem jaringan kabelnya. Comcast juga bersedia membantu meyakinkan perusahaan TV kabel besar lainnya untuk mengikuti jejaknya. Berkat bantuan itu, dalam 6 bulan saja, QVC mampu menghimpun dana US$ 28 juta dari public offering-nya. Dengan dana tersebut, QVC antara lain bisa menyewa space satelit dari Christian Broadcasting Network, membangun studio untuk membuat dan menyiarkan program acara, dan segera mengudara.

Tak dinyana, sang anak bawang ini mampu menunjukkan debut luar biasa. Dalam tahun pertamanya, QVC mampu mencetak penjualan cukup besar, US$ 112,7 juta, walaupun jangkauannya belum 10% dari keseluruhan rumah tangga pengguna TV kabel di Amerika Serikat. Selanjutnya, QVC tumbuh pesat.

Pada awal 1990-an, impresario top Hollywood, Barry Diller, menjadi CEO-nya. Melihat cash flow QVC yang bagus, Diller berani mencaplok perusahaan lain. Pada 1993, dia berusaha mengakuisisi Paramount. Setahun berikutnya, ia berencana memergerkan QVC dengan CBS. Tak semuanya setuju. Sebagai pemegang saham penting, Comcast menolak rencana ini. Tahun 1995, manajemen Comcast kemudian mengajak Liberty Media untuk membeli porsi saham QVC yang ketika itu belum dimiliki oleh Comcast. Pembelian saat itu menunjukkan nilai perusahaan QVC telah mencapai US$ 1,4 miliar. Sejalan dengan perubahan komposisi pemegang saham ini, Diller pun ditendang.

Dalam satu dekade perjalanan bisnisnya, QVC banyak melakukan pengembangan. Antara lain, membangun beberapa call centre; sistem logistik yang mampu menangani pengiriman 300 ribu paket per hari; dan sebuah jaringan pergudangan (warehouse) di seluruh dunia yang melayani operasionalnya bukan cuma di AS, tetapi juga di Inggris (United Kingdom), Jerman dan Jepang. Memang, dalam satu dekade itu, manajemen QVC merasa tak cukup cuma beroperasi di pasar AS, sehingga mengembangkan operasinya ke tiga negara makmur yang potensial itu. Di Inggris, markas QVC di Battersea, London; di Jerman bermarkas di Dusseldorf; dan di Jepang berkantor di Makuhari.

Pengembangannya tak cuma di ranah fisik. Pada 1996, guna melengkapi layanan via TV kabel dan satelitnya, situs QVC.com diluncurkan. Sebelum meluncurkan website ini, konsumen QVC biasanya menonton tayangan TV yang di-broadcast oleh QVC, kemudian memencet nomor telepon berkode 800 untuk membeli produk yang ditayangkan. Kehadiran situs ini tentu memberikan pada konsumen kanal alternatif untuk mengenal dan membeli produk QVC. Konsumen rupanya kesengsem dengan layanan online via Internet ini. Tak heran, situs e-commerce ini mampu menarik 6 juta unique visitor tiap bulannya.

Ekspansi tersebut ternyata juga diimbangi dengan kinerja usahanya. Pada Desember 2000, QVC mencatatkan diri sebagai perusahaan interactive commerce pertama yang mampu mencetak penjualan US$ 1 miliar dalam satu kuartal. Dari segi produk, QVC telah memperluas lini produknya dari hanya perhiasan murah dan pakaian yang di-endorse oleh selebritas. Pada 2001, QVC bahkan mampu mencatatkan rekor penjualan sebesar US$ 80 juta dalam satu hari. Ketika itu, produk favoritnya adalah PC Pentium-4 Dell. Dengan prestasi seperti ini, kala itu saja QVC dinilai sudah lebih hebat dari jaringan ritel lainnya seperti NBC, Bloomingdale ataupun Amazon.com.

Hebatnya, tanpa berutang, segala langkah pengembangan itu dibiayai oleh labanya sendiri (bandingkan dengan Amazon.com yang memerlukan guyuran dolar dari para investor). Lihat saja, dalam 7 tahun operasionalnya (berdasarkan laporan tahunan 1993), QVC mampu mencetak penjualan US$ 1,07 miliar dan laba bersih US$ 55 juta, dengan gross margin amat sehat, 40,8% dan laba operasional 28,4% dari penjualan. Bandingkan dengan Amazon.com yang dalam 7 tahun operasionalnya (berdasarkan laporan tahunan 2002) mencatat revenue US$ 3,9 miliar, tetapi masih merugi bersih US$ 149 juta, dengan gross margin 25% dan laba operasional hanya 1,6% dari penjualan.

Memang, dibanding para pemain Internet commerce seperti Amazon.com, QVC punya keuntungan dari sisi infrastruktur. Amazon.com sebagai pionir Internet commerce mesti lebih dulu mengedukasi masyarakat bagaimana belanja di Internet, sedangkan hardware yang digunakan untuk belanja di QVC sudah dikenal banyak orang karena jauh lebih mudah penggunaannya, yakni: televisi dan telepon. Di masa awal Internet, modem dan akses sering bermasalah, sedangkan teknologi yang dipakai QVC (jaringan kabel dan satelit) sudah amat reliable. Selain itu, pengalaman belanja yang disediakan QVC – lewat program on air-nya – jelas lebih menghibur ketimbang belanja di situs Internet commerce.

Ketika pemain e-commerce seperti eToys dan Webvan hilang ditelan zaman, dan Amazon.com masih berjuang mencetak profit, dalam 16 tahun perjalanannya QVC telah mampu merealisasi apa yang selama ini diklaim para peritel online: menggunakan media elektronik murah untuk menjangkau jutaan konsumen, menjual barang tanpa toko fisik, menjadikan pengalaman belanja menyenangkan (fun), memanfaatkan teknologi canggih untuk menghemat inventori dan pengiriman, plus tentu saja, mendatangkan duit di tangan.

Tak heran, banyak pemilik dana yang kepincut dengan kinerja QVC. Liberty Media, konglomerat mitra Comcast, yang memperoleh prioritas pertama tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menguasai QVC. Sementara Comcast sendiri merasa itulah saat yang tepat, dengan harga yang bagus, untuk menjual kepemilikannya. Pada 3 Juli 2003, Comcast resmi menjual kepemilikan mayoritasnya di QVC pada Liberty Media dengan nilai penjualan US$ 7,9 miliar – ini menunjukkan nilai perusahaan QVC saat itu telah mencapai sekitar US$ 14 miliar.

Pada 2005, QVC kedatangan darah segar, yakni Mike George, yang sebelumnya merupakan Chief Marketing Officer Dell Inc., sekaligus GM U.S. Consumer Business Dell, dan pernah memimpin kanal Dell.com. George ditempatkan sebagai Presiden & CEO QVC. Mengapa mantan pentolan Dell ini mau bergabung? “Ketika saya didekati untuk gabung dengan QVC, naluri saya bilang ‘ini bukan untuk saya’. Saya merasa konsep TV shopping sudah kuno,” ungkap George terus terang. Namun, ia kemudian memutuskan untuk melihat dan mempelajari dulu. Justru ia akhirnya mengaku merasa tergoda dengan peluangnya. Terutama ia melihat ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk tetap mengikatkan diri dengan pelanggan. “Sudah ada tanda bahwa teknologi video over the Internet akan menjadi game changer,” katanya mencontohkan. “Saya pun jatuh cinta pada perusahaan ini dan merasa terhormat bergabung dengannya.”

Dalam pandangan George, keistimewaan QVC karena mampu memberikan pengalaman belanja yang benar-benar unik. “Itulah yang membedakan QVC dari peritel lainnya,” katanya. Pada peritel konvensional, produk hanya dipajang di rak toko, dengan servis yang mungkin kurang dari yang seharusnya.

Adapun QVC, berkat layanan multiplatformnya, bisa menghadirkan orang di balik suatu produk. Sebagai contoh, QVC tak cuma menjual produk kosmetik Bobbi Brown, tetapi juga menampilkan sosoknya on air. Di show ini, Bobbi biasanya menceritakan inspirasi yang diperolehnya sehingga bisa menghasilkan produk kosmetik tersebut; memberikan tip praktis tata rias wajah; memberikan konsultasi lewat blognya; dan menjaga hubungan dengan pelanggannya lewat Facebook. “QVC mampu memberikan banyak pengalaman yang mengawinkan suatu produk, orang dan tempat,” kata George. Selain itu, di QVC, sekitar 75% produk yang ditawarkan eksklusif hanya tersedia lewat kanalnya.

Menurut catatan Wikipedia, program acara QVC kini menjangkau lebih dari 98 juta rumah tangga di AS, serta lebih dari 180 juta rumah tangga pengguna layanan TV kabel dan satelit di dunia. Pada 2009, QVC mengirimkan lebih dari 145 juta unit paket dan menangani lebih dari 115 juta panggilan telepon di seluruh dunia. Pada 22 Maret 2007, paket ke-1 miliarnya dikirimkan. Hingga saat ini, diperkirakan 60 juta orang di dunia pernah berbelanja di QVC.

Seturut dengan perkembangan teknologi komunikasi seluler, QVC juga terjun menyediakan layanan mobile. Boleh dibilang, QVC merupakan peritel besar pertama yang go mobile. Debutnya dimulai pada 2008 dengan meluncurkan mobile services yang memungkinkan pelanggan menggunakan pesan teks untuk menemukan ataupun membeli produk yang dijual QVC. “Pelanggan menjalani kehidupan yang amat sibuk. Toh, ke mana pun mereka berjalan, hampir selalu menenteng ponsel,” kata Angie Simmons, VP Eksekutif Platform Multikanal QVC, menyebut alasannya.

Sebelumnya, popularitas media sosial pun tak diabaikan QVC. Pada Juli 2008, perusahaan ini meluncurkan halaman Facebook-nya. Disusul dengan Twitter page-nya pada Januari 2009.

Awal 2010, QVC memantapkan kehadirannya di dunia mobile dengan meluncurkan sebuah aplikasi untuk gadget yang lagi ngetop, iPhone dan iPod touch, di Apple App Store. Dengan aplikasi ini, lebih dari 50 juta pengguna iPhone dan iPod bisa berbelanja produk QVC di mana pun. “Strategi mobile commerce kami sangat customer centric,” ujar Simmons. “Karena itu, kami berupaya untuk ada di mana pun pelanggan berada, dan di mana pun mereka ingin menjangkau kami.”

Dengan aplikasi tersebut, pelanggan yang menggunakan gadget dari Apple tersebut bisa melihat Today’s Special Value (item yang ditawarkan dengan harga rendah hingga pukul 11:59 kecuali jika sudah habis terjual) ataupun One Time Only Value (item yang ditawarkan untuk waktu yang lebih terbatas). Pelanggan juga bisa membeli langsung lewat fitur Speed Buy, dan buat pelanggan baru bisa membeli dengan fungsi Call to Order. Aplikasi ini menyediakan pilihan bagi pelanggan untuk berbagi informasi produk dengan kawan-kawannya lewat e-mail atau ke dirinya sendiri sebagai reminder (pengingat). Di sini, konsumen bisa mencari informasi produk QVC yang terdiri dari 95 ribu item, baik menurut deskripsi produk, jumlah item maupun kata dan merek. Informasi produknya mulai dari gambar (image) produk, informasi pendukung, ukuran hingga warna.

Aplikasi tersebut, menurut Simmons, juga terkait dengan live programming QVC. Seperti diketahui, QVC memang menayangkan aneka acara (show) berupa infotainment belanja yang dipandu oleh pembawa acara – yang di antaranya diperkuat sejumlah model dan selebritas. Jadi, dengan aplikasi mobile itu, penonton bisa berbelanja ketika mengikuti suatu tayangan.

Sebagai pelengkap aplikasi mobile ini, QVC membuka mobile website, yakni m.QVC.com, di mana pelanggan bisa melakukan browsing produk QVC dan melihat informasi tayangan (show) yang disediakan, serta membeli lewat mobile website itu.

Ada ide cerdas di balik peluncuran mobile website ini. Yakni, QVC mengambil keputusan untuk membangun mobile website yang bisa di-scaled down dan bersifat smartphone friendly. Artinya, website itu harus memiliki sedikit grafis, link, bahkan teksnya dibanding website reguler. “Potensi terbesar yang dekat dengan e-commerce justru datang dari mobile site yang simpel dan cepat (diakses),” kata Ken Harker, pakar Teknologi Internet & Mobile dari Keynote Systems. Menurut Harker, targetnya menyediakan halaman yang bisa diunduh dengan cepat, kurang dari 8 detik. Berarti ukuran halamannya kurang dari 100 kb. Menurut klaim Simmons, QVC mengikuti aturan ini.

Berdasarkan riset Keynote, kebanyakan peritel online belum merealisasi hal ini. Sebuah studi pada musim liburan 2009 yang dilakukan Keynote menunjukkan butuh rata-rata 34 detik untuk mengunduh suatu halaman web dan butuh 38 detik untuk menemukan hasil yang dicari. “Itulah yang membuat pelanggan menjauh,” kata Harker.

Sebagai bukti atas keandalan sistemnya, sejumlah apresiasi telah diterima QVC. Pada 2009 saja, QVC telah masuk dalam daftar Top 10 atau di peringkat kelima survei Customer’s Choice yang dilakukan oleh the National Retail Federation Foundation dan American Express. Di tahun itu pula QVC dianugerahi predikat Retailer of the Year oleh the American Apparel and Footwear Association. Lalu, laman QVC.com berada di peringkat tiga dari survei kepuasan pelanggan ForeSee Results: Top 100 Online Retail Satisfaction Index. Kini, rata-rata situs QVC.com didatangi oleh sekitar 5,2 juta unique visitor setiap bulannya.

Simmons menjanjikan QVC bakal terus meningkatkan layanan online QVC, termasuk mobile services-nya. “Caranya, dengan mendengarkan (apa kata) pelanggan dan tetap memperhatikan tren,” ujarnya.

Sejauh ini, Simmons enggan mengungkapkan berapa besar penjualan QVC dari kanal mobile-nya. Yang sudah diungkapkannya ke publik, sekitar 25% revenue QVC pada 2009 yang mencapai US$ 7,35 miliar berasal dari kanal online. Khusus di AS, pada 2010 transaksi via web sudah menyumbang hingga sepertiga (32,9%) penjualan QVC.

Secara keseluruhan, pada 2010 QVC mencatat pertumbuhan bisnis. Total penjualan (revenue) di tahun itu mencapai US$ 7,80 miliar, naik 6,1% dibanding penjualan tahun 2009 (US$ 7,35 miliar).

“Bisnis berbasis Internet kami tumbuh sangat cepat dibanding pemesanan lewat telepon tradisional,” ujar Mike George. Bahkan, dalam sebuah forum analis keuangan, sang CEO pernah mengungkapkan bahwa perusahaannya mematok target pada 2014 setengah dari revenue-nya akan berasal dari kanal online. “Saya tak berpikir ini sebuah target gila. Ini target yang reasonable,” kata George berupaya meyakinkan audiens.

Riset: Dian Solihati dan Rachmanto Aris D.

BOKS 1:

Sekilas Profil QVC

Berdiri :1986

Pendiri : Joseph Segel

Pemilik utama: Liberty Media Corp.

Website : www.qvc.com

Eksekutif top : Mike George (Presiden & CEO), Meade Rudasill

(COO)

Kantor pusat : Studio Park, West Chester, Pennsylvania, AS

Cabang : Inggris (London), Jerman (Dusseldorf), Jepang

(Makuhari), dan Italia

Jumlah karyawan : sekitar 17 ribu orang di seluruh dunia

Revenue (2010) : US$ 7,8 miliar

Coverage : Lebih dari 180 juta rumah tangga pengguna layanan

TV kabel dan satelit di seluruh dunia (termasuk 98

juta rumah tangga di AS)

BOKS 2:

Rahasia Sukses QVC

Tak perlu susah payah mengedukasi masyarakat tentang layanan home shopping, karena sudah ada pendahulu yang merintisnya, yakni Home Shopping Network.

Memanfaatkan infrastruktur teknologi yang sudah tersedia, yang relatif murah dan gampang digunakan, yakni jaringan TV kabel dan satelit.

Memberikan pengalaman yang jauh lebih berwarna bagi pelanggan dibanding peritel konvensional (bukan sekadar menawarkan produk, tetapi juga sosok dan kisah inspiratif di baliknya), dengan panduan pembawa acara berpengalaman.

Menyediakan aneka platform layanan, mulai dari TV show, telepon (call centre), website (www.qvc.com), dan mobile services (dilengkapi dengan mobile site yang ciamik: m.qvc.com)

Menunggangi tren teknologi yang sedang hot seperti Facebook, Twitter, dan gadget dari Apple seperti iPod touch dan iPhone.

Mayoritas produk yang ditawarkan (hingga 75%) bersifat eksklusif (hanya bisa dibeli lewat QVC).


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved