Technology Strategy

Resep KAI Meracik Sistem TI

Resep KAI Meracik Sistem TI

PT Kereta Api Indonesia (Persero) berhasil membenahi sistem teknologi informasi (TI) yang dimulai pertamakalinya sejak tahun 2009. Pengembangan sistem TI dibarengi perubahan budaya kerja pegawai serta pengembangan aplikasi digital. Manajemen perusahaan mengapresiasi karyawan yang berprestasi seiring dengan pemberlakukan sistem TI. KAI di tahun 2012 berhasil merilis Rail Ticketing System (RTS). Itu menjadi babak baru bagi perseroan dalam mengarungi bisnis perkeretapian lantaran sistem itu menjadi salah satu lokomotif penggerak bisnis KAI yang hingga saat ini menggelinding mulus.

RTS adalah induknya program digitalisasi di KAI. Kehadiran RTS mengubah KAI yang dahulunya berwajah kusam dan carut-marut menjadi korporasi yang elegan serta profitnya semakin melejit. KAI membidik pendapatan pada 2016 sebesar Rp 20 triliun, meningkat 48,18% dibandingkan pendapatan di tahun 2015 (unaudited) sebesar Rp 13,5 triliun. Proyeksi pendapatan di tahun ini dibarengi dengan target labanya yang diharapkan bisa mencapai Rp 1,2 triliun-Rp 1,3 triliun, Perseroan menginginkan jumlah penumpang di tahun ini mencapai 72,3 juta orang, naik dari tahun 2015 sebanyak 68,54 juta orang. Sedangkan, volume pengangkutan barang ditargetkan naik 110%, atau mencapai 62,92 juta ton dari tahun 2015 sebanyak 29,65 juta ton.

KAI

Proyeksi bisnis perseroan yang seperti demikian bukanlah hal yang asing lagi sejak KAI ditangani oleh Ignasius Jonan, yang ditunjuk menjadi Dirut KAI pada 2009. Sebelum sistem TI dibenahi, kinerja keuangan KAI terpuruk lantaran merugi Rp 83 miliar di tahun 2008. M.Kuncoro Wibowo, Direktur SDM, Umum dan Teknologi Informasi KAI, mengisahkan Jonan adalah sosok yang menjadi kunci keberhasilan perubahan sistem dan manajemen KAI yang tadinya konvesional ke digital. Itu dicanangkan Jonan sejak tahun 2009. “Tapi, resistensi pegawai sangat kuat. Kami harus pelan-pelan untuk mengkomunikasikan rencana perubahan itu,” kata Kuncoro. Resistensi karyawan pada 2009 cukup alot karena berbagai faktor, antara lain, pegawai KAI masih banyak yang belum melek TI.

Tak mengherankan, program TI di KAI sempat terbengkalai selama 1-2 tahun. “Saat vakum itu kami berbenah dan mengubah strategi. Pak Jonan saat itu menunjuk saya sebagai Direktur SDM dan TI. Saya menjabat dua bidang sekaligus untuk mengubah struktural organisasi,” ia menguraikan. Kuncoro dilantik sebagai Direktur SDM, Umum, dan TI pada 2012. Direksi yang menjabat tugas ganda bertujuan adalah hal yang baru di jajaran direksi KAI. Tujuannya untuk mempercepat transformasi digital.

Perubahan itu efektif karena Kuncoro menjadikan TI sebagai salah satu indikator penilaian pegawai. Si karyawan mau tidak mau wajib mengimplementasikan program TI agar performanya tetap apik. “Jadi kalau ada orang yang macam-macam akan saya panggil,” tukas direksi yang bergabung ke KAI pada 2009 ini. Kuncoro bersama timnya berhasil memuluskan program TI meski harus tertatih-tatih menyiasati hambatan, seperti minimnya kepercayaan pegawai terhadap kemampuan KAI menjalankan sistem TI. “Kalau dilihat 3-4 tahun yang lalu, tantangan kami adalah menyakinkan masyarakat, pemilik modal dalam hal ini kementerian BUMN, jajaran direksi dan karyawan,” ucap pria yang pernah bekarier di PT XL Axiata Tbk ini.

Pengalaman Kuncoro di industri telekomunikasi dan perusahaan swasta menjadi bekal untuk membenahi sistem TI di KAI. Berbagai jurus ditempuh Kucoro, misalnya mengatasi keterbatasan anggaran lantaran keuangan di tahun 2008 perseroan masih belum menggembirakan. Caranya, menurut Kuncoro, mengajukan surat pemohonan kepada direksi untuk bersinergi dengan perusahaan BUMN. PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., dibidik KAI sebagai mitra kerjanya. Upaya itu membuahkan hasil manis. “BUMN yang bersinergi dengan kami adalah Telkom yang bisnisnya di wilayah digital,” ucapnya. Telkom juga konsultan KAI untuk sistem ERP (Enterprise Resources Planning).

Lantas, KAI menyodorkan model bisnis yang saling menguntungkan kedua belah pihak, melalui skema revenue sharing dalam membagi persentase keuntungan. Telkom mengucurkan dana untuk membangun infrastruktur TI di KAI. Selanjutnya, KAI melengkapi infrastruktur lainnya, antara lain membeli komputer dengan cara mencicil. Komputer ini nantinya menjadi aset perusahaan setelah cicilannya dilunasi. “ Jadi kami tidak terlalu banyak mengeluarkan modal dan terbukti pembangunan sistem TI tidak mahal, tapi sebagai investasi,” sebutnya. Nah, hal itu menjadi pembelajaran bagi semua awak KAI apabila membangun jaringan TI itu tidak selalu menyedot dana yang fantastis. “Anggaran untuk membiayai sistem TI sekitar 40% dari biaya operasional,” ungkap Kuncoro.

Induk Sistem TI

Hasilnya, perseroan di tahun 2012 merilis RTS yang menjadi induk program digitalisasi. RTS diimplementasikan untuk menggarap tiket rute jarak jauh. Sistem RTS menata arus penumpang seperti halnya boarding pass di bandara udara. Jadi, sistem ini menempatkan penumpang kereta api menempati tempat duduk di gerbong tertentu sesuai identitas yang diberikan penumpang ketika membeli tiket. Proyek ini banyak menuai pujian dari berbagai pihak. Sejak saat itu, antrian penumpang yang biasanya membludak di loket tiket atau penumpang yang berdesak-desakan di gerbong kereta sudah tidak tampak lagi.

Kehadiran RTS mampu menekan biaya operasional. “RTS yang pertama itu tahun 2012 dan bisa mengurangi cost operational serta efisien dari segi biaya,” tandasnya. Berbicara efisiensi, Kuncoro mencontohkan sebelum pelaksanaan RTS, jumlah penumpang dalam satu satu gerbong disesaki 100 orang atau 20-30% melebihi kapasitas penumpang. “Nah itu ‘kan sama saja kami mengeluarkan cost yang lebih besar,” cetusnya. Sebaliknya, RTS mampu menyusutkan jumlah penumpang menjadi 70-80 orang. Meski demikian, penyusutan itu tidak mengurangi pendapatan KAI. Justru, perseroan berhasil mengoptimalkan asetnya. RTS memudahkan penumpang memesan melalui internet yang berbasis web. Pemesanan tiket dapat dilakukan melalui layanan PT Pos Indonesia (Persero), Contact Center 121, drive thru, vending machine, mobile phone (layanan telepon), mobile ticketing (mobil penjualan tiket), atau Indomaret.

Kesuksesan ini dilanjutkan KAI pada tahun berikutnya. Perseroan pada Juli 2013 merilis e-ticketing untuk rute jarak pendek di Jabodetabek yang dikelola PT Kereta Commuter Jabodetabek, anak perusahaan KAI yang didirikan pada 2008. Sistem tiket elektronik tersebut, menurut Kuncoro, merupakan turunan dari RTS. Praktik yang mirip diterapkan di kereta rute Medan-Bandara Udara Kualanamu. “Jadi RTS itu adalah induknya yang di-breakdown bagi pengembangan aplikasi di bawahnya. Misalnya boarding system manifest, check seat passanger (CSP), aplikasi pembelian tiket untuk karyawan atau aplikasi untuk customer service,” ia menjabarkan turunan sistem RTS itu.

CSP mudah diakses kondektur melalui gawai (gadget) untuk memantau jadwal penumpang yang turun di stasiun tertentu. Turunan RTS berikutnya adalah aplikasi pembelian tiket yang bisa diunduh via Android. “Kami mulai tahun 2014 dan sekarang member aktif mencapai 1,2 juta orang yang khusus membeli tiket di Android,” tukasnya. RTS juga menjadi ibu kandung dari sistem parkir elektronik kendaraan bermotor. Jadi semua proses bisnis dan operasional sudah terdigitalisasi berkat RTS. Pundi-pundi KAI semakin tebal karena perusahaan makanan dan minuman cepat saji kesengsem menyewa lahan di area stasiun. Suasana stasiun yang lebih tertib merupakan beberapa dampak positif yang ditimbulkan RTS.

Tekonologi RTS diturunkan KAI ke anak-anak perusahaannya yang terdiri dari KCJ, PT KAI Pariwisata, PT Reska Multi Usaha, PT KAI Logistik, PT Railink, dan PT KAI Property Management. “Sejak awal KAI menyadari kalau kami tidak menjalankan bisnis konvensional. Makanya kami langsung memiliki berbagai aplikasi digital untuk angkutan penumpang dan barang,” ia membeberkan. Tim TI mengembangkan aplikasi digital di kantor pusat KAI , Bandung, Jawa Barat. Jumlah karyawan Divisi TI yang menangani pengembangan aplikasi sekitar 30-40 pegawai. Tim ini melahirkan sejumlah aplikasi yang DNA-nya berasal dari teknologi RTS, diantaranya KAI Access yang memungkinkan calon penumpang melakukan reservasi dan pembayaran tiket melalui telepon cerdas. “Setiap tahun selalu launching produk digital. Per tahun kami meluncurkan aplikasi yang besar sekitar 2-3 produk. Aplikasi yang besar itu selanjutnya kami buat variannya,” Kuncoro menambahkan.

Loco Tracking, misalnya, merupakan aplikasi yang berfungsi untuk melacak lokasi lokomotif. Kantor KAI di Bandung terpasang layar besar yang memantau pergerakan lokomptif di seluruh Daerah Operasional (Daop) KAI. Daftar penumpang (manifest) dan barang yang diangkut gerbong kereta tecatat di aplikasi Loco Tracking yang dirilis tahun 2014. “Jumlah kru, penumpang, barang dan lokomotifnya kami tracking,” ia menjelaskan.

Manfaat dari kehadiran berbagai produk IT dari aspek keuangan adalah menghemat biaya operasioanal dan meningkatkan produktivitas karyawan. Dari segi SDM, manfaatnya mengurangi biaya biaya dan meningkatkan kepuasan pegawai. Tahun lalu, jumlah pegawai KAI sebanyak 25.361 orang. Adapun keuntungan melakukan digitalisasi berhasil menghemat biaya yang nilainya berkisar Rp 22-25 miliar dan menambah modal kerja sekitar Rp 140 miliar.

Ke depannya, KAI akan terus menambah varian aplikasinya untuk melayani penumpang. Baru-baru ini, Kuncoro menyebutkan, KAI melakukan soft launching aplikasi yang memudahkan penumpang memesan menu makanan atau minuman. KAI akan menggandeng UMKM untuk menyediakan kuliner khas di stasiun tertentu. Penumpang bisa mengunduh aplikasi tersebut di Google Play. Daftar menu dari restoran cepat saji ternama akan tersaji di layar telepon seluler. “Aplikasi ini dikelola Reska Multi Usaha, anak perusahaan KAI dan akan diluncurkan pada Oktober tahun ini,” ungkap Kuncoro. Rencana berikutnya mengembangkan aplikasi online untuk memesan jasa porter di stasiun serta yang terintegrasi dengan layanan transportasi online yang akan mengantar penumpang dari stasiun ke tempat tujuan. “Jadi, kami bisa memberikan end to end service dan rencana ke depan kami bisa terkoneksi dengan perusahaan transportasi lainnya,” katanya menegaskan.

Sejumlah hambatan dan tantangan berhasil dilewati perseroan. Tantangan KAI yang berada di pelupuk mata adalah melayani angkutan di lebaran 2016 yang tinggal menghitung hari lagi. Persiapan demi persiapan baik dari sisi sarana dan prasarana maupun SDM terus dilakukan manajemen. Pada awal Juni ini, direksi KAI bersama Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Dirjenka Kemenhub) melakukan inspeksi menggunakan KA inspeksi (KAIS) selama tiga hari sejak 1-3 Juni. KAIS tersebut terbagi atas dua jalur yakni Utara dan Selatan. Jalur utara berangkat dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Surabaya Gubeng melewati Stasiun Semarang Poncol-Surabaya Pasar Turi-Banyuwangi-Surabaya Gubeng. Sedangkan di jalur Selatan, KAIS tersebut menempuh rute dari Stasiun Bandung-Stasiun Surabaya Gubeng, dan berhenti di beberapa stasiun seperti Purwakarta, Kroya, Yogyakarta, dan Madiun.

Tiga direksi KAI, yaitu Direktur Komersial, Bambang Eko Martono, Direktur Pengelolaan Prasarana, Candra Purnama, dan Direktur Keuangan, Didiek Hartantyo beserta Dirjenka Kemenhub, Prasetyo Boeditjahyono juga mengecek sistem persinyalan elektrik di Stasiun Mojokerto. Pengecekan di tiap-tiap stasiun tersebut meliputi kehandalan perangkat persinyalan, pos kesehatan, fasilitas Cetak Tiket Mandiri (CTM), sampai kebersihan mushala dan toilet.

Selain mengecek kesiapan fasilitas di stasiun, direksi turut mengecek kelanjutan pembuatan kereta-kereta terbaru pesanan KAI di PT Industri Kereta Api (Persero) di Madiun. Penambahan armada kereta terus dilakukan oleh KAI untuk peremajaan sarana demi kenyamanan penumpang dan pelayanan yang maksimal selama 22 hari masa angkutan Lebaran 2016. Direktur KAI, Edi Sukmoro, dalam keterangan tertulisnya menyebutkan masa angkutan Lebaran nanti, pihaknya menjaga serta meningkatkan kualitas pelayanan. “Dan di masa angkutan itu, PT KAI akan selalu menjadi sorotan semua pihak, maka dari itu kita harus mempertahankan dan meningkatkan prestasi kita dalam melaksanakan angkutan Lebaran sama seperti tahun kemarin,” ucap Edi. (***)

Reportase : Nerissa Arviana Vicky Rachman


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved