Technology

Sang Konektor di Dunia Konstruksi

Sang Konektor di Dunia Konstruksi

Procore lahir dari tangan seorang pencinta bidang teknologi dan konstruksi. Sepenting apa peran perusahaan construction technology yang sukses melantai di bursa New York di kala pandemi ini?

Craig “Tooey” Courtemanche, founder dan CEO Procore (Foto: insider.com/asia).
Craig Courtemanche, founder dan CEO Procore (Foto: insider.com/asia).

“Tas-tas kami telah dikemas,” begitu kata Craig “Tooey” Courtemanche kepada pihak manajemen New York Stock Exchange (NYSE) ketika terpaan pandemi Covid-19 memaksanya menunda rencana penawaran saham perdana perusahaannya, Procore. Menurut founder dan CEO Procore tersebut, dia dan timnya pada Maret 2020 itu sebetulnya telah bersiap pergi menjalani roadshow untuk mempromosikan bisnis software konstruksi berbasis cloud-nya di hadapan para analis menjelang langkah IPO-nya.

Procore, perusahaan construction technology (contech) yang didirikan pada 2002, memang mengambil jalan panjang sebelum memutuskan IPO. Namun, merebaknya pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 membuat Procore harus menunggu lagi.

“Saya bergumam, ’Ayo kita pergi ke New York, kita lakukan roadshow’,” cerita Courtemanche. “Namun, saya menerima telepon, ‘Orang-orang tidak bisa naik pesawat besok.’ Jadi, kami terpaksa menarik rem dan memfokuskan energi pada karyawan, pelanggan, dan mitra kami untuk membuat mereka aman,” tuturnya.

Pandemi Covid-19 memang telah memaksa Procore menunda rencana IPO-nya, dan fokus pada hal-hal yang masih bisa dijalankan di industrinya. Namun, akhirnya IPO perusahaan ini bisa terlaksana pada 24 Mei 2021, dan bisa dibilang cukup sukses.

Procore melantai sebagai sebuah perusahaan publik di NYSE (dengan kode bursa: PCOR). Harga sahamnya dimulai dengan kisaran US$ 67 per lembar, dan hari perdagangan perdananya ditutup dengan harga US$ 88. Pada IPO itu Procore menawarkan 10,41 juta lembar saham dan dikabarkan memperoleh dana neto senilai US$ 665,1 juta.

Dengan capaian IPO tersebut, perhitungan kapitalisasi pasar Procore menjadi sebesar US$ 11,3 miliar. Sebagai informasi tambahan, berdasarkan putaran pendanaan secara privat di tahun sebelumnya, valuasi Procore sebesar US$ 5 miliar.

“Kami memang sangat terlambat mengadakan ‘pesta’ IPO kami. Jadi, kami sudah siap untuk jangka waktu yang sangat lama,” kata Courtemanche dalam sebuah wawancara. “Saya telah memimpin Procore selama 19,5 tahun, jadi penundaan IPO karena Covid hanya sebuah kedipan dalam keseluruhan skemanya,” kata lelaki yang kini berusia 54 tahun ini.

Sukses Procore memang bukan dicapai dalam sekejap, melainkan sebuah perjalanan cukup panjang. Courtemanche mengakui, selama satu dekade Procore mengalami pertumbuhan yang lambat dan ketidakjelasan. Penjualannya pada 2012 hanya US$ 5 juta.

Courtemanche dan tim akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan dana dari kalangan pemodal ventura (VC) dan memulai pengalaman untuk tumbuh dengan laju cepat, menunggangi pertumbuhan bisnis cloud computing yang melejit beberapa tahun belakangan. Langkah ini tepat. Buktinya, Procore mencapai status unicorn (perusahaan senilai US$ 1 miliar atau lebih) pada 2016. Bahkan, pada 2018, Procore berhasil mencapai posisi No. 5 dalam daftar the Cloud 100, dengan penjualan mencapai US$ 200 juta.

Perhatikan loncatan penjualannya dalam enam tahun, dari hanya US$ 5 juta pada 2012 menjadi US$ 200 juta pada 2018. Dengan pencapaian ini, ide tentang IPO pun menyeruak.

Namun, di awal 2020, ketika Procore sudah berhasrat menjadi public company, industri konstruksi seperti membeku dengan hadirnya pandemi. Courtemanche mengungkapkan, 78% dari pelanggan Procore —yang menggunakan software ini untuk mendigitisasi blueprint dan berita update serta mengelola proyek konstruksi yang kompleks— mengaku proyek-proyeknya tertunda dan terdisrupsi Covid-19. Dengan demikian, tahun 2020 itu bukan dianggap waktu yang bagus untuk masuk ke pasar.

Hampir setahun kemudian, narasinya berbalik. Dalam sekitar 40 ajang roadshow, Courtemanche mengungkapkan, para investor terkesan dengan pertumbuhan ukuran pasar konstruksi, yang disebut-sebut tumbuh dari US$ 10 triliun menjadi US$ 14 triliun. Proyek-proyek konstruksi yang tertunda pun kembali berjalan. Begitu memasuki 2021, banyak industri yang pelan-pelan beradaptasi.

Courtemanche menyebut Procore tampaknya merupakan pelaku IPO pertama di NYSE ketika orang baru keluar dari masa lockdown. Tak mengherankan, ia melihat banyak karyawan, pelanggan, dan mitra yang hadir langsung di lantai bursa New York itu. “Itu seperti selebrasi besar-besaran, bukan hanya bagi Procore, tapi juga buat industri,” ujarnya.

Procore boleh dibilang saat ini merupakan software paling populer di industri konstruksi, terutama di AS. Peranti lunak ini digunakan pada ratusan dari ribuan proyek konstruksi, mulai dari pembangunan gelanggang olahraga hingga bangunan bertingkat (high-rise building).

Dalam daftar the Cloud 100 yang dirilis Forbes (berdasarkan nilai penjualan), sejak 2018 Procore menempati daftar Top 5. Telah digunakan di lebih dari 125 negara, platform ini tampaknya terus mengembangkan fitur dan kecanggihannya untuk bisa memenuhi kebutuhan pelanggan yang juga berkembang.

Sebelum mendirikan Procore, Courtemanche merupakan seorang eksekutif teknologi yang cukup sukses di Silicon Valley. Tugasnya dalam karier profesionalnya banyak membuat custom interface untuk online software di bidang HR. Pada 1998, ketika bersama keluarganya pindah tempat tinggal ke Santa Barbara, California, ia membuat program aplikasi untuk memantau proses renovasi rumah barunya ini, yang kemudian menjadi cikal bakal platform Procore.

Courtemanche tampaknya memang telah berhasil memadukan dua bidang yang diakuinya dicintainya: konstruksi dan teknologi. Sedikit menengok latar belakangnya, ia tumbuh di kawasan La Jolla, San Diego. Ketika menjadi pelajar, ia tidak berbeda dengan pelajar kebanyakan, yang tak begitu menyukai pelajaran sekolah. Ketika masih pelajar, ia pernah bekerja di toko kabinet.

Namun, kuliahnya di University of Arizona gagal, ketika ia hanya mampu mencatat IPK 0,3. Di awal 1990-an, ia “terseret” booming-nya industri konstruksi di awal 1990-an. Dua tahun sempat dilakoninya sebagai tukang bangunan.

Merasa jenuh, Courtemanche menerima tawaran seorang teman keluarga untuk mempelajari bisnis peranti lunak telephony. Ia juga belajar HTML secara otodidak. Pada 1993, ia telah memperoleh pekerjaan sebagai seorang software engineer.

Ikut tercebur di masa-masa booming teknologi Silicon Valley di tahun 1990-an, pada 1996 ia mendirikan startup pertamanya: Webcage. Perusahaan ini membantu kalangan perusahaan Fortune 1000 untuk pindah dari teknologi call center analog ke teknologi intranet self-service berbasis web. “Saya mempelajari langsung bahwa dampak transformasi digital dapat memengaruhi banyak industri berbeda,” ujarnya.

Ketika merenovasi rumahnya itulah, ia menemukan kenyataan: meskipun dampak teknologi menerpa banyak sektor, industri konstruksi masih banyak tergantung pada proses manual. Mulai dari skedul proyek, anggaran, hingga permintaan perubahan yang terjadi pada proyek konstruksi ditangani dengan kanal komunikasi yang sudah ketinggalan, seperti telepon, faks, dan surat-menyurat atau pelaporan berbasis kertas. Hingga akhir 2002, para pekerjanya hampir tidak ada yang menggunakan internet dalam proses kerjanya.

Tak mengherankan, kata Courtemanche, di industri ini praktik-praktik tidak efisien dan pekerjaan ulangan yang mahal menekan profitabilitas perusahaan dan menyebabkan limbah fisik yang banyak. Padahal, ketika itu sektor konstruksi berkontribusi hampir 10% dari ekonomi AS.

Menurut Courtemanche, karena keyakinannya dengan kekuatan memadukan faktor manusia dan teknologi untuk mentransformasi industri konstruksi, ia mendirikan Procore. Ia memilih nama ini karena yakin bahwa teknologi memungkinkan orang di industri konstruksi fokus pada kompetensi inti profesional mereka. Nama Procore ini diambil dari frase “professional core competencies”.

Baginya, sektor konstruksi merupakan industri terpenting di dunia, karena berkontribusi dalam membangun dan memelihara bangunan, serta mendukung penyaluran energi listrik ke berbagai tempat. Bidang ini, menurutnya, juga salah satu tempat kerja paling keras, karena alasan kompleksitas, ketidakpastian, dan risikonya yang tinggi.

Platform Procore memang tidak langsung melejit. Pasalnya, kata Courtemanche, saat itu industri konstruksi belum memiliki infrastruktur untuk bisa memanfaatkan layanan berbasis cloud.

Faktanya memang butuh waktu lebih dari satu dekade untuk kehadiran ponsel pintar, komputer tablet, ataupun teknologi Wi-Fi, untuk tersedia di mana-mana di lokasi pekerjaan. “Begitu teknologi tersebut tersedia, pelanggan kami langsung dapat memanfaatkan keunggulan software Procore di lapangan, dan pertumbuhan bisnis kami langsung meningkat,” kata Courtemanche dengan nada senang.

Ia menyebutkan, misi Procore semenjak didirikan tahun 2002 adalah menghubungkan setiap orang yang terlibat di bidang konstruksi —pemilik proyek, kontraktor umum, kontraktor khusus, arsitek, dan insinyur—dalam sebuah platform global. “Procore membangun software untuk orang-orang yang membangun dunia,” katanya. Ia meyakini, hanya jika semua orang, sistem, dan data dapat bekerja bersama dalam sebuah platform, kita dapat meraih manfaat optimal dari sebuah teknologi konstruksi.

Lalu, seberapa penting peran teknologi seperti Procore selama masa pandemi ini? Courtemanche menjelaskan, menghubungkan setiap orang yang terlibat merupakan aspek fundamental bagaimana industri konstruksi bekerja. Katakan saja untuk tahap prakonstruksi secara umum, ada banyak orang yang terlibat untuk periode waktu temporer itu. Di sini akan ada orang-orang yang bertugas mengestimasi, orang-orang yang mengelola fase lelang (bidding phase), tim koordinasi BIM (Building Information Modelling), dan sebagainya. Ini biasanya terjadi di trailer lokasi pekerjaan konstruksi.

Nah, ketika pandemi Covid-19 menerpa, orang-orang yang bekerja berkolaborasi ini mesti diberdayakan bisa bekerja secara remote. Courtemanche menggambarkan, kita tentu tak akan dapat mengelola kompleksitas bisnis konstruksi dengan bekerja secara remote tanpa menggunakan teknologi yang menyediakan satu set informasi yang sama secara virtual. “Pandemi Covid-19 telah menjadi akselerator adopsi teknologi di industri konstruksi,” ujarnya.

Procore memang sudah go public. Namun, menurut Courtemanche, tidak ada sesuatu pun yang berubah dalam keseharian operasionalnya. Alasannya, selama ini Procore sudah beroperasi layaknya perusahaan besar. “Kalaupun ada sedikit perubahan, karena manajemen Procore harus mengikuti earning call setiap kuartal,” ujarnya.

Sesuatu yang benar-benar berubah karena Procore memiliki sumber daya memadai untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnisnya. “Dengan listing di NYSE, kami bisa lebih mudah menggarap pasar baru dan bertemu dengan pelanggan baru di seluruh pelosok dunia,” katanya.

Buat Procore, dana yang diperoleh bisa membantu memperluas bisnisnya di luar AS. Pasalnya, sekitar 90% pasar konstruksi global ada di luar AS. Adapun sekarang, kontrak non-AS baru menyumbang sekitar 12% dari revenue Procore . Pada 2020, Procore diberitakan telah mencatat revenue US$ 400 juta, sedangkan pada kuartal kedua 2021 sebesar US$ 122,8 juta (peningkatan 27% year on year).

Sebagai tambahan terhadap peluang ekspansi global, Procore juga dapat memperoleh keunggulan dari besarnya data yang mengalir melalui platformnya —sebesar 5.500 terabyte data terstruktur. Dengan data analytics, Courtemanche mengatakan —sebagai contoh— bahwa ia bisa tahu biaya/harga sepotong beton di Miami dibandingkan dengan di Beverly Hills, dan siapa subkontraktor yang berkinerja oke dan yang tidak.

Pada 2020, sebanyak 90 juta dokumen diunggah ke platform Procore. Versi baru solusi manajemen dokumen kolaboratif Procore disebut-sebut lebih fleksibel, membuatnya lebih mudah dan lebih cepat diakses, serta memudahkan kolaborasi dokumen.

“Kami menggunakan Procore untuk mengelola dokumen pada proyek-proyek kami dan untuk mendigitisasi proses inspeksi,” kata Philip Lambourne, Kepala Manajemen Desain dan Informasi di Henry Boot Construction Limited di Inggris, salah satu pelanggan Procore.

Procore telah mengembangkan infrastruktur global dengan menambahkan 11 pusat data cloud baru, sehingga total kini ada 15 pusat data. Dukungan infrastruktur ini memungkinkan pelanggan menyimpan data proyeknya. Procore juga menyediakan fitur keamanan dan privasi level enterprise, seperti enkripsi data; mengelola program pencarian celah keamanan software (bug bounty program); dan menerapkan kebijakan kontrol akses.

Procore baru-baru ini disebutkan masuk dalam perusahaan software terbaik No. 10 di dunia menurut daftar G2 Fall Report mengenai 100 Top Software Companies 2021. Tidak tanggung-tanggung, Procore menerima penghargaan dari G2 pada delapan kategori software, yakni Construction Management, Construction Project Management, Bid Management, Construction ERP, Construction Drawing Management, Construction Accounting, Punch List, dan Jobsite Management Software.

Menurut Courtemanche, pasar konstruksi yang sangat besar itu bisa dibilang masih terfragmentasi. Adapun Procore hingga kini belum mencapai 5% pangsa pasar pada core market-nya. Dia mengistilahkan perusahaannya masih seperti “seekor anjing di atas sebuah tulang”. “Saya masih punya banyak pekerjaan untuk menghubungkan setiap orang yang terlibat di industri konstruksi melalui platform ini,” katanya. (*)

Sekilas Profil Procore

–Nama perusahaan : Procore Technologies (www.procore.com)

–Bidang bisnis : Layanan teknologi/software manajemen konstruksi (contech) berbasis cloud

–Tahun berdiri : 2002

–Pendiri : Craig Courtemanche

–Orang penting : Craig Courtemanche (CEO), Steve Zahm (Presiden), Paul Lyandres (CFO), Pat Wadors (Chief Talent Officer)

–Status perusahaan : perusahaan publik (di NYSE, dengan kode bursa PCOR)

–Kantor pusat : Carpinteria, California, AS

–Jumlah karyawan : 2.000-an orang (2021)

–Nilai kapitalisasi pasar : US$ 11,3 miliar

–Revenue : US$ 400 juta (2020)

Sumber: Wikipedia dan www.procore.com

Joko Sugiarsono

Riset: Armiadi Murdiansah (dari berbagai sumber)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved