Transformasi Dagadu Djogja, dari Cinderamata ke Produk Gaya | SWA.co.id

Transformasi Dagadu Djogja, dari Cinderamata ke Produk Gaya

Gerai Dagadu (Foto: Gigin W. Utomo)

Dagadu yang selama ini dikenal sebagai produsen cinderamata khas Jogja, akan mengubah arah platform bisnisnya. Perusahaan yang baru saja terbebas dari berbagai aksi pembajakan ini, dipastikan akan melakukan transformasi dari produsen oleh-oleh ke fashion. “Kami sedang menyiapkan segala sesuatunya, Insha Allah tahun ini kami launching,” kata Mirza Ardita, Direktur Dagadu kepada SWA.

Menurut Mirza Arditya, transformasi bisnis dari cinderamata ke produk fashion adalah pilihan logis bagi Dagadu. Perubahan arah bisnis ini, dalam rangka mengikuti perkembangan jaman yang begitu cepat. “Dengan transformasi ini, kami akan lebih leluasa bergerak untuk masuk ke market yang lebih luas,” kata Mirza Arditya.

Gagasan tranformasi tersebut, ternyata muncul setelah melewati masa pandemi Covid 19 yang baru saja berlalu. Pandemi memberikan pembelajaran berharga karena omset yang menurun drastis. Karena itulah perlu dicari langkah strategis bila kelak kembali muncul pandemi, perusahaan tidak lagi gagap menghadapi.

Mirza Aditya, Direktur Dagadu (Foto: Gigin W. Utomo)

Dari evaluasi menghadapi masa pandemi, akhirnya manajemen Dagadu mengambil kesimpulan bahwa pihaknya harus berani mengubah image dengan cara tranformasi tersebut. Pasar cinderamata yang identik dengan wisata lebih sempit dibandingkan dengan pasar fashion.  “Kami sudah berhitung, kebutuhan fashion market jauh lebih luas” ujar Mirza dengan nada optimistis.

Satu hal menarik yang diungkapkan Mirza, transformasi dirasa penting dalam rangka regenerasi konsumen loyalis. Sejak awal Dagadu memang menargetkan pasar  anak-anak muda. Pasar  generasi muda inilah yang masih cukup besar dan jadi rebutan.

Di pasar cindera mata, Dagadu sebenarnya memiliki pelanggan loyal yang disebutnya sebagai Dagadu garis keras. Mereka inilah yang setia membeli setiap ada produk. “Kami butuh regenari karena konsumen setia kami sudah tua-tua, suatu saat akan hilang, karena itulah kami butuh regenerasi ke konsumen yang muda,” ungkapnya.

Manajemen Dagadu, sebagaimana diungkapkan Mirza, sangat optimistis bahwa penggemar Dagadu akan menyambut baik. Hal ini terbukti dari hasil uji coba tes pasar yang telah dilakukan. Pada awal Januari lalu, Dagadu merilis produk baru berupa jaket  varsity. Produk fashion dari Amerika tersebut dicoba diproduksi dua model warna masing-masing 600 pieces.

Ide membikin jaket varsity, merupakan pengalaman baru bagi Dagadu. Namun ketika diluncurkan respon pasar sangat bagus. Terbukti dalam tempo tidak lama, produk tersebut langsung ludes di pasaran. “Padahal harganya tidak tidak murah, kami jual 500 ribu,” kata Mirza sang pemilik ide varsity.

Sekadar informasi, varsity produk Dagadu masuk kategori brand popular di Instagram. Padahal jumlah produsen varsity yang ada di pasaran mencapai ribuan. “Alhamdulillah, varsity kami masuk 30 besar yang popular,” ujar Mirza.

Berbekal dari larisnya produk jaket varsity itulah, Mirza mengaku semakin  mantap melangkah membawa Dagadu masuk ke industri fashion. Dagadu nantinya tidak semata menjual produk merchandise, tapi juga menjual produk fashion yang bisa digunakan untuk baik untuk rekreasi, bekerja, berolahraga dan kuliah.

Gerai Dagadu (Foto: Gigin W. Utomo)

Sejak awal tahun ini, Dagadu sedang mengerahkan sumberdaya yang dimiliki untuk mendukung proses tranformasi. Divisi TND (Tim New Development) harus kerja ekstra, karena merekalah yang merancang produk yang akan dipasarkan, Beberapa item produk yang sudah diproduksi antara lain, jaket varsity, Oxfort shirt, trucker cap, buchet hat, coach jacket, jersey bike dan sportswear. 

Dagadu tetap memasarkan produk fashion-nya secara eklusif lewat outlet yang dimiliki. Selain itu, juga memasarkan lewat online yang tren pertumbuhannya semakin bagus. Mirza mengungkapkan, pasar online memberikan kontribusi 15  persen untuk omset penjualan Dagadu. Sementara pertumbuhan pasar online Dagadu rata-rata 23 persen pertahun.

Menurut Mirza, manajemen Dagadu saat ini siap mengembangkan semua potensi bisnis yang dimiliki. Pihaknya tidak perlu khawatir bakal ada yang berani menjiplak produknya. “Saat ini sudah ada perangkat hukum yang melindungi industri kreatif seperti Dagadu, “ ujarnya.  

Terkait soal pembajakan, pemilik brand Dagadu memang  pernah dibuat pusing tujuh keliling. Mereka menderita tekanan  lahir batin. Ini  terkait dengan ulah para pengusaha nakal yang membajak produk mereka.

Sejak masa awal diluncurkan tahun 1994, Dagadu sepertinya memang seksi dan menarik hati. Dalam waktu singkat produk kaos opblong yang dirilisnya  langsung viral. Pasar langsung menyambutnya secara gegap gempita.  Produknya yang terbilang unik dengan desain menarik, menjadikan Dagadu sebagai oleh-oleh alternatif khas Jogja.

Popularitas yang melejit demikian cepat, ternyata mengundang banyak pemburu rupiah terpikat. Banyak yang mengekor ikut-ikutan mencoba meraih keberuntungan. Sayangnya jalan yang mereka tempuh jalan ilegal. Mereka tak mau mengikuti jejak Dagadu dengan melahirkan produk sendiri yang bisa jadi lebih kreatif. Mereka memilih cara instan untuk segera meraih cuan. Membajak dengan membikin produk Dagadu palsu adalah pilihan sesat mereka.

Bagai cendawan di musim hujan, praktek pembajakan brand Dagadu tumbuh subur di mana-mana, dari kios kaki lima hingga pusat perberlanjaan di mal. Para wisatawan bisa dengan mudah menemukan produk-produk kaos bajakan tersebut di sepanjang trotoar Malioboro hingga kawasan wisata sekitar kraton. Mereka seperti tak punya rasa malu dengan menggelar barang jiplakan secara terang-terangan. Bahkan papan nama Dagadu bukan sesuatu yang haram.

Menghadapi serangan yang begitu mendadak dan massif, pihak manajemen  Dagadu mengaku sempat gagap. “Kami tidak menduga bila akan muncul produk bajakan yang begitu cepat dan kami tidak siap,” kata Ahmad Noor Arif, salah satu pendiri Dagadu.

Menurut Achmad Noor Arif, yang membuatnya geleng-geleng kepala, para pembajak betul-betul nekad. Setiap kali ada produk baru yang di-launching dan hanya dijual di outlet resmi Dagadu, di pasaran sudah muncul produk yang sama persis secara desain. “Mereka menjual jauh lebih murah hanya separuh harga dari Dagadu asli,” ujar penghobi gowes yang akrab disapa Arif tersebut.

Arif, yang kini menjabat sebagai komisaris, mengaku pusing menghadapi perilaku para pembajak yang mulai muncul secara terbuka. Disisi lain, pihaknya belum bisa bertindak tegas karena belum mengantongi perangkat hukum yang kuat,salah satunya hak paten. “Langkah pertama kami mencari konsulltan hukum dan  mengurus hak paten  agar memiliki kekuatan hukum,” ujar pehobi ini.

Untuk menghadapi gerakan pembajakan yang luar biasa berkembang tak terkendali, pihak Dagadu merasa perlu melibatkan ahli hukum. Mereka merangkul advokad senior, Garda Utama Siswadi SH. Pendiri Kantor Hukum Garda inilah yang kemudian total mendampingi Dagadu.

Operasi Klandenstin

Menurut Garda Utama Siswadi, situasi yang terjadi ketika itu, jumlah orang yang terlibat dalam jaringan pembajakan produk Dagadu tersebut semakin hari semakin meluas. Mereka tak lagi bisa diatasi hanya dengan sebatas imbauan. “Harus ada terapi hukum yang tegas,” kata pengacara senior ini.

Begitu mendapat tugas dari kliennya, Garda Utama Siswadi langsung menyusun strategi. Langkah pertama yang dilakukannya penguatan kelembagaan bisnis Dagadu. Perusahaan yang didirikan 22 mahasiswa arsitektur UGM tersebut dibikinkan badan hukum berupa PT. “Selanjutnya hak paten diurus di Kemenkumham, tentu butuh proses untuk diterbitkan,” kata Garda.

Untuk mengatasi praktek pembajakan yang sudah sangat meresahkan tersebut, Garda menjalankan misi khusus yang disebutnya operasi klandenstin. Untuk mendukung misinya, ia merekrut sedikitnya 25 mahasiswa. Mereka dilatih secara khusus yang terakait dengan teknik investigasi dan interogasi tanpa menimbulkan kecurigaan pihak yang ditarget. Dan tentu saja wajib bisa pegang rahasia. “Mereka semua mahasiswa saya “ imbuhnya.

Tugas khusus yang ditargetkan kepada para mahasiswa tersebut adalah bisa mengumpukan data profil siapa saja yang menjadi pembajak. Mereka wajib wawancara dan mengambil audio foto dan video tanpa ketahuan targetnya. “Butuh kehati-hatian agar tidak ketahuan,” ungkapnya.

Pengacara Senior, Garda Utama Sismadi (Foto: Gigin W Utomo)

Berdasarkan hasil investigasi ala klandenstin tersebut, para pelaku pembajakan bisa dipetakan dengan jelas. Ternyata ada ribuan orang yang terlibat dalam jaringan bisnis produk Dagadu bajakan. “Kami punya dokumen komplit dari alat bukti sampai dokumen audio video,” Garda menerangkan.

Dari ribuan pelaku yang teridentifikasi tersebut,, kemudian di klasifikasi berdasarkan peran masing-masing. Dari kelas pengasong sampai yang produsen. Dari sinilah dirumuskan tindakan apa yang harus diambil agar membuat pelaku jera.

Seperti diungkapkanGarda, dari hasil penyelidikan selama tiga tahun, ditemukan fakta yang mengejutkan. Ternyata selama ini  ada ribuan orang yang menikmati pendapatan secara ilegal   dari brand Dagadu.

Dari yang hanya kelas perorangan sampai perusahaan besar. Dari yang hanya sekedar cari hasil untuk hidup sampai yang menumpuk kekayaan dengan omset dari ratusan juta hingga milyaran. Bahkan ada pengusaha yang memiliki karyawan hingga 600 orang. “Omset mereka pengusaha ilegal ini bisa dua kali lipat omset pemilik merek asli,” ujar Garda.

Pembajak beromset besar, ternyata jumlahnya lumayan banyak. Yang menarik, mereka tidak hanya berproduksi  di wilayah Jogja saja, tapi ada yang di  Jawa Tengah dan Jawa Barat.  Mereka terpantau semua dengan identitas dan alamat yang lengkap. “File kami tersimpan rapi ada tiga filling cabinet,” kata Garda yang sempat menunjukkan bukti dokumen kepada SWA.

Hampir semua pembajak mengincar wisatawan untuk memasarkan produknya. Untuk mendapatkan konsumen, mereka mengandalkan kerjasama dengan tukang becak, andong travel. untuk itu mereka harus rela berbagi keuntungan dengan mengeluarkan fee dari kaos yang terjual.

Kerjasama di antara mereka tidaklah mengikat. Sopir andong dan becak akan condong membawa konsumen kepada juragan yang memberi fee lebih besar. “Waktu itu besaran fee per kaos kisaran duapuluh ribu rupiah. Selisih limaratus rupiah saja mereka akan lari kepada yang memberi fee lebih besar,” ungkap Pak Garda.

Meskipun telah menabuh genderang perang terhadap para pembajak, Dagadu masih memilih menempuh cara  yang Djogjani. Artinya memilih cara pendekatan persuasif. Meskipun punya hak menuntut secara pidana dan perdata, belum dijadikan pilihan utama.

Dagadu memilih cara tetap merangkul daripada memukul. Meskipun merasa dirugikan secara material, tetap memberikan opsi terbaik yang tidak melukai perasaan. Pemiliki Dagadu berharap, sesama pelaku industri kreatif harus saling bersinergi, tidak saling merugikan. “Penyelesaiannya harus holistik, jangan sampai justru wong cilik yang dikorbankan,” tandas Garda.

Sebelum melakukan tindakan tegas kepada para pembajak, Garda mengaku berdiskusi dan berkonsultasi dengan mengumpulkan tokoh-tokoh senior Yogyakarta dari berbagai kalangan, mulai dari seniman, budayawan hingga jurnalis senior. “Pada umumnya mereka setuju, agar kami segera bersikap tegas,” ucap Garda.

Masih menurut Garda, tahap pertama yang dilakukannya adalah memasang iklan imbauan terbuka  di beberapa media. Tapi hasilnya tidak efektif. Praktek pembajakan masih terus berlangsung. Karena itulah, sebagai konsultan hukum, Garda mengundang semua pihak yang terlibat pembajakan secara bertahap.

Sementara itu, untuk pembajak yang besar diberi somasi dan diajak bicara. Mereka bisa memilih membayar denda atau diproses hukum. Meskpun membayar denda mereka harus berhenti menjipak. “Denda yang terkumpul cukup lumayan ” jelasnya.

Ada juga pihak-pihak yang diminta cukup untuk membuat surat permohonan maaf lewat Koran. Mereka ini umumnya pengelola mal yang ikut menjual produk Dagadu bajakan. Cara ini rupanya cukup efektif. Pelan tapi pasti jumlah pembajak mulai berkurang karena takut dengan ancaman diperkarakan di pengadilan.

Namun untuk benar-benar terbebas dari para pembajak, ternyata butuh waktu panjang. Setidaknya setelah dua dasa warsa lebih sejak perang melawan pembajak dikobarkan, Dagadu mulai merasakan hasil perjuangannya. Kini produk bajakan tak lagi terlihat terpampang di pasar bebas. Untuk mendapatkan produk Dagadu wisatawan harus datang ke outlet resmi. “Kalo beli di luar outlet resmi pasti bajakan” kata Mirza,direktur Dagadu yang baru.

Selama tiga tahun belakangan ini, produk-produk Dagadu seperti hilang tanpa bekas. Papan nama yang dulu ada di beberapa sentra oleh-oleh Jogja, tak lagi terlihat. Dan tak lagi ada sopir andong, becak dan biro travel yang menawarkan. Produk bajakan yang murah meriah dengan kualitas yang tentu di bawah standar.

Menurut Mirza, sejak para pembajak menghentikan aksinya, berdampak positif bagi pertumbuhan Dagadu. Setidaknya perusahaan ini bisa melewati masa-masa berat saat pandemi. “Yang jelas saat pandemic kami tidak sampai meliburkan karyawan,” kata Mirza.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)