Management Trends zkumparan

Unilever Indonesia Serukan Lingkungan Kerja yang Inklusif dan Zero Bullying

Unilever Indonesia Serukan Lingkungan Kerja yang Inklusif dan Zero Bullying

Menyambut Hari Toleransi Sedunia yang jatuh setiap 16 November, PT Unilever Indonesia Tbk meningkatkan kewaspadaan dan aksi nyata untuk menindaklanjuti perundungan di tempat kerja (workplace bullying) yang masih marak terjadi.

Mengangkat tema ‘Zero Tolerance for Workplace Bullying‘, Unilever Indonesia menggandeng komunitas anti-bullying Sudah Dong dalam menyusun panduan mengenai workplace bullying yang diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Kristy Nelwan, Head of Communications PT Unilever Indonesia Tbk mengatakan, semua pihak tentunya memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan dunia yang lebih toleran, termasuk dunia bisnis. Unilever percaya bahwa bisnis hanya dapat berkembang di tengah masyarakat dimana hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi dan dikedepankan.

Hal tersebut sejalan dengan strategi global ‘The Unilever Compass’, khususnya pada pilar berkontribusi pada masyarakat yang adil dan inklusif. “Di Unilever, kami percaya setiap pihak punya peran, baik itu sebagai individu, anak, orang tua, maupun kolega di tempat kerja. Dan sebagai bisnis, Unilever juga mempunyai peran untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, inklusif, dan zero bullying,” ujarnya secara virtual, Senin (15/11/2021).

Berpegang pada kode etik bernama Respect, Dignity & Fair Treatment (RDFT), Unilever Indonesia percaya bahwa setiap organisasi punya satu tanggung jawab untuk menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan kemampuan untuk berkontribusi memberikan dampak positif terhadap HAM. Untuk itu, perusahaan memastikan bahwa semua karyawan bekerja di lingkungan yang mempromosikan keberagaman, rasa saling percaya, menghormati HAM, dan memberikan kesempatan yang setara, tanpa diskriminasi.

“Perusahaan menindak tegas perilaku menyinggung, mengintimidasi, atau menghina, termasuk segala bentuk pelecehan atau bullying atas dasar perbedaan ras, usia, peran, gender, agama, kondisi fisik, kelas sosial, hingga pandangan politik sekalipun. Kami sudah punya peraturannya,” terang Kristy.

Kristy menjelaskan, pihaknya memiliki Equity, Diversity, and Inclusion Board yang bertugas menjalankan dan memonitor tiga fokus Perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja serta masyarakat yang lebih toleran dan inklusif yaitu: Kesetaraan Gender, Kesetaraan untuk Penyandang Disabilitas, dan Penghapusan Diskriminasi dan Stigma.

Dalam mengatasi aksi workplace bullying, perusahaan memiliki jalur pengaduan khusus yang disebut Speak-Up Channel, sebuah Whistleblower System yang diklaim menjamin kerahasiaan penuh sebagai salah satu sarana bagi karyawan untuk menyampaikan adanya penyimpangan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku. “Kami juga aktif mendorong karyawan untuk bertanggung jawab dan berinisiatif jika melihat potensi pelanggaran,” ujarnya.

Guna merangkul semakin banyak organisasi untuk memiliki sistem, struktur dan kepemimpinan yang berpihak pada anti-bullying, Unilever Indonesia berkolaborasi dengan komunitas Sudah Dong akan menyusun sebuah e-booklet yang dapat diakses banyak pihak untuk meningkatkan awareness dan menyusun kebijakan terkait workplace bullying.

Sebagai komunitas yang sejak 2014 berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif berbagai bentuk bullying melalui rangkaian program offline maupun online. Menurut Fabelyn Baby Walean, Volunteer Sudah Dong, workplace bullying masih banyak terjadi antara lain karena masih kurangnya regulasi ataupun sistem internal yang mampu secara firm menyikapi masalah ini.

“Kami percaya bahwa pembuatan e-booklet ini akan menjadi sebuah proses transfer of knowledge yang kaya di antara kedua belah pihak, dan semoga akan membawa manfaat bagi perusahaan ataupun organisasi lainnya,” ujar Fabelyn.

Pingkan Rumondor, Psikolog Klinis Dewasa menjelaskan bahwa workplace bullying adalah serangkaian perilaku yang dilakukan secara sengaja dan berulang untuk mengintimidasi, menjatuhkan atau menyakiti orang lain di tempat kerja. Contohnya kekerasan fisik, verbal, pengucilan/pemboikotan, sabotase pekerjaan, dan lainnya. Workplace bullying bisa dilakukan secara langsung, maupun secara online (via telepon, cyberbullying).

Menurut Pingkan, aksi workplace bullying dapat melibatkan tiga pihak. Pertama adalah pelaku, yang kebanyakan menyerang titik lemah target agar mereka terlihat berkuasa sehingga menutupi rasa malu terhadap ketidakmampuan atau ketidakpuasan dalam dirinya. Kemudian ada target, yang secara sengaja dipermalukan sehingga dapat mengalami berbagai efek psikologis seperti kecemasan, gejala depresi, hingga gejala post-traumatic stress disorder yang berdampak pada terganggunya keseharian dan produktivitas.

Ketiga adalah saksi, tanpa pemahaman yang cukup mengenai cara menghadapi situasi workplace bullying, seringkali saksi mata hanya berdiam diri. Selain itu, semakin banyak orang yang menjadi saksi, ada kecenderungan saksi makin tidak tergerak menolong karena menunggu orang lain bergerak lebih dulu, atau disebut juga bystander effect. Padahal, saksi memiliki peranan yang krusial untuk mengintervensi perilaku tidak menyenangkan tersebut.

“Keberanian menjadi kunci bagi target maupun saksi dalam melawan workplace bullying, dengan cara bersikap asertif untuk menolak sesuatu yang mengusik psikologis mereka. Namun selain itu, mereka juga harus percaya bahwa mereka terlindung di bawah perusahaan yang memiliki kebijakan kuat terhadap segala bentuk diskriminasi dan bullying,” tutur Pingkan.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved