Youngster Inc. Entrepreneur

Aditya: Mouton, Bukti Eksistensi Seorang Desainpreneur

Oleh Admin
Aditya: Mouton, Bukti Eksistensi Seorang Desainpreneur

Membuat produk tidak bisa dibuat dengan asal saja. Bila ingin produk yang baik dan melekat erat di benak konsumen, desain produk pun harus dibuat dengan menarik. Setelah produk sudah dikenal oleh konsumen, menjual produk pun terasa lebih mudah.

Hal itulah yang dikerjakan oleh Aditya Abimanyu, lulusan Program Studi Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Anak muda yang lulus tahun 2011 ini, mengklaim dirinya sebagai desainpreneur ketimbang entrepreneur. Lantaran, dia berusaha menciptakan produk yang bisa dengan mudah dikenal orang hanya dengan melihat bentuknya.

Aditya Abimanyu, lulusan Program Studi Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, membuat tas dan sejumlah produk dengan merek Mouton.

Berawal dari modal Rp 3 juta, ia sekarang berhasil mengembangkan bisnis tas, ikat pinggang, hingga dompet berbahan kulit sapi dengan merek Mouton. Keberhasilannya bisa dilihat dari pasar produk, khususnya tas, yang sudah melanglang buana ke sejumlah negara.

“Mouton ini sebuah pembuktian saya untuk menunjukkan bahwa ini loh eksistensi seorang desainer produk bisa jadi seperti ini. Jadi, saya membuat tas ini, kita memberi sebuah ciri khas, yang ini jadi pakem untuk memproduksi tas dengan jenis yang lainnya. Ketika berjalan sebulan, dua bulan, hingga tiga tahun itu menjadi ciri khas secara visual. Jadi, positioning di otak konsumen untuk melihat bentuk itu adalah Mouton,” ujar Aditya kepada SWA Online, di Jakarta.

Dia mengatakan, tugas seorang desainer produk memang untuk membuat sebuah produk supaya berbeda dengan produk sejenis. Dan, ia pun berhasil menerapkan di produk buatannya, khususnya tas dengan merek Mouton. Ia bercerita, pernah ada seorang artis yang menggunakan tas punggung dengan model yang hampir mirip dengan yang ia buat, di sebuah acara televisi.

Sejumlah temannya pun mengirimkan pesan ke Twitter Mouton terkait tas yang dipakai artis tersebut. Namun, seingatnya, ia tidak pernah melayani artis tersebut dalam membeli tas Mouton, baik secara online dan melalui toko. Usut punya usut, tas tersebut ternyata keluaran sebuah merek toko ternama asal luar negeri. “Pas saya check di Youtube ternyata itu bukan tas saya, tapi karena perawakannya mirip, orang jadi berpikir itu tas saya. Itulah fungsi dari desainer produk. Si merek ini merupakan pembuktian saya untuk memperlihatkan eksistensi desainer produk,” tegas dia.

Namun, perjalanannya membentuk Mouton bukan sekadar di desain saja. Ia terjun langsung ke produksi dan penjualannya. Perjalanan Aditya mendirikan bisnis Mouton ini tidak bisa dibilang mudah. Bangkrut pun pernah dialaminya. Tapi itu tidak menjadi hambatan bagi anak muda berusia 23 tahun ini untuk terus melaju. Bagaimana kisah dia dalam mendirikan dan menjalani bisnisnya? Berikut petikan wawancara SWA dengan Aditya beberapa waktu lalu.

Aditya Abimanyu

Bagaimana awalnya berniat untuk berbisnis?

Itu awalnya dari Pasar Seni ITB tahun 2010. Pasar seni itu salah satu acara terbesar ITB yang diprakarsai oleh anak-anak Seni Rupa. Itu pernah jadi jadi acara terbesar se-Asia Tenggara. Saat itu, saya berniat untuk mengeluarkan produk. Kebetulan saya juga panitia waktu itu.

Ini kan produk saya berhubungan dengan kulit ya. Itu karena saya waktu itu, habis kerja praktik di perusahaan sepatu Bata, di TB Simatupang, Jakarta. Di situ, saya magang, saya belajar tentang kulit.

Setelah belajar di perusahaan Bata yang identik sebagai sepatu, kenapa tidak membuat sepatu?

Pertama, tas memang lebih susah menanganinya. Orang-orang berpikir menjual tas lebih susah, lebih gampang menjual sepatu atau aksesoris. Tapi yang saya lihat itu tas lebih kelihatan. Sama terlihatnya seperti baju dan celana. Ketika saya mendesain sepatu, untuk mengeluarkan karakteristik sepatu itu susah karena letaknya di bawah. Kalau tas letaknya biasanya di atas. Jadi, orang itu gampang untuk melihat dan mudah untuk aware (sadar).

Bagaimana proses mendirikan Mouton?

Tahun 2010 saya berusaha dengan partner yang satu kampus dengan modal bersama. Setahun pertama saya itu bangkrut. Karena mitra saya yang mempunyai tugas pemasaran, sementara saya di bagian desain dan produksi, ternyata tidak berjalan benar. Akhirnya bubar deh. Saya pun minta izin untuk ambil alih, ya mau meneruskan sendiri. Saya penasaran kenapa bisa gagal atau nggak diterima pasar. Awalnya, kita buat dompet dan ikat pinggang. Itu keinginan marketing saya.

Kapan lantas Anda bangkit lagi?

Di Juni 2011, saya bangkit lagi. Itu cuma pakai uang tabungan saya sekitar Rp 3 juta. Itu saya coba buat tas. Dan penjualan tas langsung meledak di daerah ITB, atau lumayan dikenal. Dari situ saya langsung pede, berarti desain saya diterima pasar. Langsung saya mencoba untuk jaga kualitas. Saya pun membuka workshop sendiri, punya penjahit sendiri, dan membeli mesin sendiri. Mungkin lebih berisiko tapi saya berusaha untuk menjaga kualitas. Itu, penjahitnya sampai saya tungguin. Saya sampai nginap di tempat workshop. Misalnya, untuk melihat benangnya harus seperti ini, jahitannya harus seperti ini.

Setelah tas terbilang laku di kalangan ITB, bagaimana proses selanjutnya, apakah menambah permodalan untuk bisa produksi lebih banyak?

Kalau Rp 3 juta itu untuk produksi pertama. Setelah produksi dua-tiga kali ada dana sekitar Rp 10-20 juta. Lalu ditambahin sama teman saya, bukan teman yang sama ketika usaha mengalami kebangkrutan, dan saya juga meminjam ke Bank Mandiri. Itu pertama kalinya saya masuk ke dalam PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) Bank Mandiri. Saya minjam habis bangkrut, saya meminjam Rp 20 juta waktu itu. Dari Rp 20 juta itu, sebanyak Rp 18 juta-nya saya pakai untuk menyewa tempat workshop yang sekarang ini. Saya menjadi mitra binaan Mandiri sampai sekarang. Mereka membantu saya dari segi permodalan.

Sampai sekarang sih usaha terus berkembang, grafik penjualan terus naik. Dan kalau dulu saya memegang semuanya sendiri, seperti penjualan online kelola sendiri, sekarang saya sudah punya pegawai sendiri. Ada lima pegawai yang resmi, sisanya workshop pembantu, kayak tukang jahitnya. Workshop biasanya kalau di Jakarta identik dengan pendidikan singkat. Kalau di kancah produksi, workshop itu sebuah ruang kerja yang digunakan untuk mendukung merek tertentu.

Apakah mencari tukang jahit yang bisa membuat tas sesuai yang Anda desain terbilang sulit?

Oh, susah banget. Saya untuk melatih seorang penjahit bisa sebulan. Saya didik dulu baru bisa dilepas. Jadi, kalau ada penjahit baru lagi masuk, saya harus mengawasi dulu, misalnya sebulan. Saya juga punya workshop di luar yang saya juga bina. Itu ada sekitar 6 penjahit dompet, ikat pinggang, dan aksesoris.

Berapa produksi tas per bulannya, sekarang ini?

Bisa 100-150 buah tas per bulannya. Masih sedikit sih, tapi penjualan bisa 70-80 persen dari yang diproduksi. Sisanya sedikit sekali. Dan saya ambil marjin kan lumayan, jadi sebenarnya sih sudah ketutup dari yang terjual. Harganya sendiri dari Rp 380 ribu sampai Rp 1,1 juta.

Cara penjualannya seperti apa?

Kalau penjualan melalui toko, kita kerja sama dengan 3 toko. Tadinya ada 5, tapi sekarang sudah berkurang dua, karena penjualannya jelek jadi saya tarik. Karena kita juga punya standar sendiri buat toko, nggak mau asal taruh barang di toko. Ada perhitungannya. Saya kerja sama dengan sebuah toko di Bandung. Di Jakarta ada dua toko, yakni satu toko di Radio Dalam, dan satu lagi di mal Grand Indonesia.

Saya juga menjual produk secara online. Malah hampir 60 persen penjualan kita dari online. Namun, sekarang situs sedang maintenance karena ada perubahan web developer. Sementara pakai Facebook.

Penjualan tas sudah sampai ke luar negeri?

Kita kalau kirim tas ke luar negeri sering. Dengan sistem beli-putus, itu kita pernah ke Australia saja tapi sekali. Namun, pengiriman ke negara lain banyak, di mana mereka membeli secara online. Kita pernah kirim tas ke Jerman, Malaysia, Jepang, dan yang sering ke Singapura.

Kalau untuk menarung barang di sebuah toko di luar negeri belum. Pernah ada yang mengajak untuk taruh barang di Singapura, tapi saya belum berani. Karena terbentur di sistemnya. Sistem mereka nggak cocok sama kita. Tapi, kalau misalnya nanti ada satu toko yang potensial saya bakalan berani taruh barang, ya setidaknya investasi untuk branding.

Selain tas, produk apa lagi yang dijual?

Selain tas, kita jual dompet dan ikat pinggang. Dompet, paling cepat penjualannya, di mana harganya kita pasang Rp 250.000-Rp 350.000. Sedangkan ikat pinggang kita jual dengan harga Rp 180.000.

Ada rencana membuat produk lain?

Saya mau buat sepatu karena saya melihat pasarnya ada. Jadi, saya memang sudah ada rencana dari tahun 2011, tapi saya nggak bisa menemukan yang bisa buat. Dan, kebetulan kemarin saya menemukan satu pabrik yang bisa buat sepatu. Begitu saya menemukan pabriknya, langsung saya tawar. Itu pabriknya di Bandung juga. Saya tawarkan, “Mau nggak kalau kerja sama dengan saya, saya beli sahamnya sebagian. Nanti, saya tanggung jawab juga mencari order, atau produksi atas merek saya.”

Untuk membeli pabrik sepatu ini, butuh modal berapa?

Untuk membeli pabrik sepatu ini, pasti modalnya besar karena judulnya membeli, bukan membuat. Membeli berarti pekerjaan yang sudah ditangani pabrik selama ini saya beli. Tapi tujuan saya beli ini karena saya tahu ini sulit dan saya tahu potensinya. Maksudnya, penjualan tidak hanya di Indonesia nantinya. Ke luar negeri, atau ekspor, pun bisa.

Selain memproduksi sepatu, ada target pengembangan bisnis lainnya?

Tahun ini saya akan meluncurkan produk tas kulit untuk wanita, yang digabung sama bahan-bahan dari daerah, kayak tenun dan batik. Soalnya, waktu itu ada teman saya yang kesulitan, di mana dia punya konsep tas bagus banget. Dia ingin mengenalkan kebudayaan kita yang sangat beragam ini, dari jenis tekstil ke luar negeri. Tapi, usaha nggak jalan-jalan karena terhambat di dana.

Nah, saya ingin menunjukkan untuk bermimpi seperti itu, nggak butuh dana yang besar. Dia waktu itu sampai menganggarkan hingga berapa ratus juta. Padahal saya saja menganggarkan Rp 10 juta sudah maksimal. Bahkan modal Rp 5-6 juta bisa sebenarnya.

Jadi, saya ingin menunjukkan kepada teman-teman yang saya bantu, kalau bisnis itu sebenarnya nggak butuh modal yang besar. Ketika bisa menangani modal yang kecil dan bisnis bagus, berkembang cepat, itu kita bakal lebih pintar. Karena terkadang orang-orang yang berbinis dengan modal awal yang besar, itu suka terlena sama keadaan. Akhirnya, dia jadi kurang sensitif sama keadaaan. Bahkan dia itu nggak tahu kalau sedang merugi sebab dipikirnya dana masih banyak.

Untuk tas cewek ini bakalan beda merek. Kita akan sasar ibu-ibu kelas menengah. Bukan anak muda. Saya akan mencoba memutar otak saya sebagai desainer, dan mencoba menciptakan ciri khas yang bisa saya dapat dari bahan-bahan khas Indonesia. Entah tenun, batik, atau apapun, dan di-mix dengan kulit sapi.

Jadi, menurut Anda, dana itu bukan hambatan terbesar dalam membangun usaha Anda?

Iya, itu kendala terbesar untuk awal, karena saya agak nekat waktu itu dananya. Tapi, sebenarnya saya paling anti kalau ada orang berbicara bisnis itu mengatakan paling sulit dananya. Sebenarnya dana nggak usah dicari. Saya saja modal Rp 3 juta bisa sampai sekarang. Apalagi orang yang modalnya besar, harusnya usahanya bisa lebih besar dari saya.

Saya lebih menghargai orang-orang yang modalnya nol, dan bisa berkembang menjadi luar biasa. Saya lebih menghargai orang-orang yang tadinya jualan di tenda sekarang punya restoran banyak. Atau, yang tadinya usaha rumahan, buat batik sendiri, sekarang punya pabrik batik sendiri. Saya lebih menghargai orang-orang seperti itu. Karena mereka lebih tahu bagaimana me-manage uang sehingga bisa jadi sebesar itu.

Apakah juga tertarik untuk membagi ilmu dengan anak-anak muda lainnya?

Untuk sekarang, kita lagi membuat sistem karena banyak anak-anak yang mau buka bisnis sendiri atau belajar bisnis. Itu kita ajarkan jadi reseller kita dulu. Jadi, kerja di bawah jaringan kita dulu, sekaligus kita ajari trik-trik untuk menjual bagaimana. Jadi, ketika dia nanti launching produk sendiri, dia bisa melakukannya.

Kebetulan saya juga tergabung di komunitas NGADUide. Itu semacam komunitas entrepreneurship di Bandung. Saya belajar bisnis dari komunitas itu. Kita misinya untuk meningkatkan jumlah entrepreneurship di Bandung. Jadi, sekaligus saya berjualan, saya juga mendidik. Saya terbuka banget kalau ada yang mau belajar, mau jadi reseller. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved