Youngster Inc. StartUp

Pahamify, Edutech Berbasis Fun Learning

Pahamify, Edutech Berbasis Fun Learning

Saat ini, semakin banyak startup pendidikan atau education technology (edutech). Salah satunya, Pahamify.

Founder Pahamify (ki-ka) Edria Albert, Mohammad Ikhsan, dan Syarif Rousyan Fikri.
Founder Pahamify (ki-ka) Edria Albert, Mohammad Ikhsan, dan Syarif Rousyan Fikri.

Pahamify didirikan di bawah bendera PT Pahami Cipta Edukasi pada 2018. Pendirinya adalah tiga sekawan, yaitu Syarif Rousyan Fikri yang menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Pahamify, Mohammad Ikhsan sebagai chief product officer (CPO), dan Edria Albert sebagai chief technology officer (CTO).

Fikri merupakan lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) dan penah mengenyam pendidikan S-3 di Unversitas Teknologi Nanyang, Singapura. Ikhsan pun lulusan S-1 dan S-2 Teknik Elektro ITB dan peraih gelar Ph.D dari Universitas Nasional Singapura. Adapun Edria adalah desainer game yang memiliki butik gaming studio di Kota Bandung, Jawa Barat.

Ikhsan mengatakan, saat itu sudah ada beberapa pesaing edutech, tapi ia heran, mengapa masih banyak pelajar yang meminta dibuatkan video yang menjelaskan konsep pelajaran berat menjadi ringan dan mudah dimengerti. “Ternyata, ada yang missing cara mengajarnya,” ujarnya.

Itu sebabnya, core perusahaan Pahamify adalah fun learning dengan moto “Belajar jadi seru”. “Itu jadi value kami dari awal. Inilah yang membedakan Pahamify dengan kompetitor,” katanya tandas.

Yang juga membedakannya dengan edutech lainnya, Pahamify menggabungkan animasi dan gamifikasi untuk pengalaman belajar yang lebih menarik. Semua konten diproduksi sendiri dan mengikuti standar kurikulum yang berlaku di Indonesia.

Sebenarnya, masalah pertama pelajar adalah motivasi. Kalau mereka menilai sesuatu itu menarik, mereka akan mau belajar. Kedua, pentingnya data driven, salah satu pendekatan dalam melakukan pekerjaan yang menggunakan data sebagai acuan atau landasan pekerjaan itu sendiri.

Pahamify merupakan platform try-out besar untuk Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Jumlah siswa yang mengikuti try-out ini bisa mencapai 60 ribu orang. “Oleh karena itu, bagaimana caranya data driven ini bisa melihat kelebihan dan kekurangan siswa sehingga ketika mereka ingin masuk ke jurusan tertentu bisa didorong,” kata Ikhsan.

Selain itu, gerak Pahamify sudah adaptive learning. Di dalam analisis data, pihaknya melihat setiap anak kebutuhannya berbeda, sehingga materi yang diberikan kepada setiap anak juga berbeda. Dalam satu tahun terahir, Pahamify bergerak ke adaptive learning untuk memastikan konten dan platform bisa tepat sasaran. Pahamify pun baru merilis fitur baru yang bernama Pegasus.

Intinya, sistem akan merekomendasikan berdasarkan beberapa hal, seperti tujuan siswa akan ke mana. Jika memang tujuannya jurusan kedokteran, siswa harus belajar lebih keras dibandingkan yang lain. Selain itu, pihaknya juga meminta feedback emosi mereka, untuk mengetahui keadaan mereka.

Diakui Ikhsan, persaingan di bidang edutech saat ini sangat ketat karena semakin banyak pemain yang didorong oleh pasar dan populasinya juga besar. Kondisi pendidikan di Indonesia pun masih banyak yang butuh improvement sehingga muncul banyak peluang. Jika muncul banyak peluang, kompetitor pun banyak. “Yang kami pelajari adalah benar-benar fokus pada kualitas pelajaran dan platformnya supaya bisa terus stand-out dan inovatif,” Ikhsan mengungkapkan.

Sejatinya, embrio Pahamify ada sejak 2016. Waktu itu, saat Ikhsan sedang menempuh pendirikan S-3 di Singapura, ada salah satu yang dipelajarinya, yaitu bagaimana cara mengajar di masa sekarang. Dari sana, ia ingin menerapkan ilmu yang didapatnya untuk anak-anak Indonesia.

Sebagai langkah pertama, ia dan Fikri yang sama-sama sedang kuliah di Singapura, membuat kanal YouTube Hujan Tanda Tanya. Kanal ini berisi video-video yang menjelaskan konsep-konsep berat dalam sebuah pelajaran menjadi ringan dan mudah dimengerti.

Respons terhadap kanal YouTube yang memenangi YouTube NextUp Indonesia pada 2017 ini menggembirakan. Saat itu, ada hampir 100 ribu subscriber yang mayoritas anak SMA. “Mereka menyukai cara kami menjelaskan suatu topik. Dan, kami mendengar bahwa penjelasan-penjelasan tersebut sangat dibutuhkan di sekolah,” kata Ikhsan.

Nah, setelah lulus kuliah, akhirnya ia melihat ada kebutuhan di pasar karena ada yang belum terpenuhi. “Kami dirikan Pahamify di 2018 karena kalau hanya di YouTube ada keterbatasan,” ujarnya.

“Kami rilis platform belajar digital ini pada akhir 2019 dan saat ini sudah di-download dua juta pengguna. Untuk user aktif per bulannya kira-kira di atas 300 ribu. Mereka bayar bulanan untuk layanan video maupun kelas online,” Ikhsan menguraikan.

Saat ini, Pahamify memiliki kurang-lebih 100 karyawan yang sekitar 50%-nya guru. “Kalau mau narik banyak siswa, harus bikin konten yang menarik sehingga di internal ada akademi, training berbulan-bulan bagaimana cara mengajar online yang baik dan ini menjadi salah satu fokus kami,” katanya.

Untuk try-out, pihaknya rutin menyelenggarakannya. Setahun bisa 20 kali. Rata-rata 30 ribu-40 ribuan siswa yang mengikutinya. Jika mendekati ujian, pesertanya bisa meningkat. “Kalau try-out kemarin, sekitar 60 ribu siswa,” ujarnya.

Strategi pemasarannya pada beberapa tahun pertama adalah bagaimana dengan pendanaan yang minimal bisa menarik user sebanyak-banyaknya. Maka, pihaknya lebih fokus di media sosial karena anak-anak SMA berada di sana.

Saat ini, pihaknya juga merambah komunitas orang tua siswa, karena merekalah yang menangani urusan pembayaran. Pihaknya memberikan berbagai webinar untuk mereka. Kemudian, masuk ke komunitas guru dengan memberikan berbagai training.

Bicara pengembangan bisnis yang akan dilakukannya, Ikhsan mengatakan, pada tahun ajaran baru nanti, pihaknya akan tetap fokus menjadi pemimpin try-out. Lalu, ingin menjadi pemimpin di kelas-kelas online dan akan mengeluarkan kelas-kelas baru sesuai dengan kebutuhan siswa. Dari sisi teknologi, Pahamify akan mengembangkan sistem adaptive engine sehingga bisa memberikan pengalaman belajar terbaik buat siswa.

Tentunya, semua itu dilakukan karena bisnis edutech memiliki tantangan tersendiri. Salah satu tantangan terberat, pasar yang selalu berubah, seperti dari awal sebelum adanya pandemi Covid-19, saat pandemi, dan pascapandemi nanti. Kebutuhannya akan terus berubah. (*)

Dede Suryadi dan Sri Niken Handayani

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved