Business Champions

Amartha, HRD Mendukung Bisnis Ciptakan SDM Berkualitas

Amartha, HRD Mendukung Bisnis Ciptakan SDM Berkualitas
Rine, SVP People and Culture PT Amartha Mikro Fintek (Amartha).
Rine, SVP People and Culture PT Amartha Mikro Fintek (Amartha).

Berawal dari sebuah koperasi (sejak 2010), Amartha kemudian berubah menjadi fintechpeer-to-peer lending dengan fokus memberdayakan para perempuan pengusaha mikro di seluruh Indonesia. Perubahan ini terjadi sejak Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan regulasi tentang industri fintech di negeri ini.

Amartha memiliki visi untuk mewujudkan kesejahteraan merata di Indonesia. Yang dilakukannya adalah menghubungkan pemberi dana, baik perorangan maupun institusi, dengan perempuan pengusaha mikro di pedesaan yang membutuhkan modal kerja.

Dengan layanan keuangan digital, Amartha memberikan akses keuangan kepada perempuan pengusaha mikro di desa, yang notabene sangat sulit mendapatkan permodalan dari lembaga keuangan formal.

Diketahui, Indonesia memiliki lebih dari 200 juta penduduk dan lebih dari 40 juta wanita pengusaha mikro yang tidak memiliki akses keuangan. Dari sana, Amartha hadir dan fokus pada mereka, dengan harapan bisa memberdayakan mereka sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi keluarga mereka.

Untuk mewujudkan visi dan misinya, bagian HRD Amartha ikut mendukung dalam menciptakan SDM yang berkualitas. Yang dilakukannya, pertama, mengajak karyawan untuk bisa men-deliver proyek yang mempunyai kualitas dan hasil yang baik. Kedua, kolaborasi. Ketiga, mengajak seluruh tim dapat memberikan impact dan tentunya menggunakan data customers driven untuk memberikan solusi kepada konsumen Amartha.

Saat ini, Amartha memiliki hampir 4.226 karyawan dan telah memberikan pendanaan lebih Rp 6 triliun kepada lebih dari 1 juta womenpreneur di seluruh Indonesia. Selain itu, Amartha sudah memiliki 500 cabang dan ditargetkan hingga akhir tahun ini punya 700 cabang.

“Karyawan di Amartha seperti dua ekosistem, yaitu di lapangan yang 90%-nya adalah putra lokal daerah dan 10% yang ada di head office, berasal dari universitas lokal maupun internasional. Dari sana terjadi perbedaan dari sisi knowlegde, capability,profiling sehingga diversity. Itu yang menjadi tantangan untuk pengelolaan SDM di Amartha,” kata Rine, SVP People and Culture PT Amartha Mikro Fintek (Amartha).

Bicara bisnis dan pengelolaan SDM, hal itu tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satunya, pandemi Covid-19. Rine menjelaskan tantangan yang dihadapi. Pertama, pandemi dan pascapandemi berakibat kepada banyak hal, antara lain proses bisnis, talenta, dan teknologi, yang berdampak kepada perusahaan.

Kedua, people dan teknologi. Faktanya, 90% orang memiliki akses teknologi, tapi baru 30% yang menggunakan untuk produktif. Pandemi mengubah budaya dalam menggunakan teknologi. Amartha terus memberikan mentoring dan coaching mengenai literasi digital serta literasi keuangan, dengan harapan bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.

Melihat perjalanan Amartha, dua tahun lalu perusahaan ini baru melangkah dan terus tumbuh. Saat itu, jumlah karyawan yang tadinya 1.000 orang kemudian terus bertambah karena bisnisnya tumbuh 400%. Namun, tiba-tiba dalam waktu tiga bulan terjadi pandemi Covid-19 yang berpengaruh pada bisnisnya.

“Dari sana, Amartha harus bisa agile dan beradaptasi agar perusahaan tetap sustain sehingga harus membuat strategi yang berkaitan dengan financial,” kata Rine.

Perusahaan berkomitmen untuk tidak memangkas jumlah karyawan, tapi akan membayar sesuai dengan kontribusinya. Setelah melakukan survei, ternyata tingkat kesejahteraan (well-being) karyawan cukup rendah, yaitu 66%; masuk dalam kategori notengaged; turnover juga tinggi, 4,2% per bulan, karena sedang buiding talent; talenta yang tersedia hanya 25% sehingga adanya talent war menjadi tantangan bagi Amartha untuk membangun talenta dari internal.

Melihat kondisi tersebut, beberapa inisiatif dilakukan HRD untuk mendukung bisnis dengan penyediaan SDM yang berkualitas. Termasuk, untuk mendukung transformasi bisnis sehingga perusahaan juga melakukan transformasi di sisi SDM-nya.

Perusahaan pun berkomitmen untuk menyejahterakan seluruh Indonesia. Sehingga, menjadi pekerjaan rumah bagaimana menyediakan SDM yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan.

“Caranya, kami berharap setiap orang yang bergabung di Amartha bisa menjadi the best person. Kami memberikan banyak inisiatif untuk meng-empower mereka. Dengan merasa ter-empower, diharapkan mereka dapat meng-empower orang lain, bahkan negara,” Rine menandaskan.

Amartha memiliki spirit Above & Beyond Culture yang diturunkan menjadi delapan DNA dan kompetensi serta diinjeksi di setiap pilar, mulai dari rekrutmen, development, reward, bahkan sampai learning culture dan culture itu sendiri. “Harapannya, dengan spirit Above & Beyond, dapat meningkatkan kesejahteraan di Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, Amartha juga meluncurkan competency-based framework. Ini dijadikan indikator dalam pengukuran pengelolaan SDM. Tak hanya itu, banyak pula inisiatif yang berkaitan dengan engagement dan well-being. “Kami juga ada digitizeHR infrastructure (ATS, LMS, OKR, dll). Untuk meningkatkan branding, sekarang kami masih improving di employer branding,” kata Rine.

Ia menambahkan, ada dua topik yang sangat penting di saat melakukan transformasi. Pertama, reward and retention strategy.

“Kami mulai dari physical health support di mana perusahaan percaya, jika orang sudah happy, ia akan memberikan dampak yang signifikan,” katanya. Dengan demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu monetary support dengan banyak program, seperti competitive salary, flexible salary, incentive bonus, company bonus, talent bonus, car ownership program, dan employee loan.

Dari sisi fisik, perusahaan memberikan medical insurance, self-isolation support, dan employee health support. “Dari sisi mental health, kami ada Employee Assistance Program, People Care, dan Wellnesday,” ungkap Rine.

Ia melihat bahwa setiap orang atau generasi memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dari physiological, safety, belonging, esteem, hingga self-actualization. “Untuk safety, kami menerapkan WFH dan membuka banyak agenda offline serta online untuk membuka komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan,” katanya.

Untuk belonging, pihaknya selalu memberikan budaya untuk engagement, seperti children daycare dan hangout. Untuk esteem, didukung dengan aplikasi-aplikasi untuk menghitung performance mereka. Sementara untuk self-actualization, selalu membangun learning culture.

Bicara learning & development, perusahan ini menggunakan konsep agile karena kebutuhan organisasi yang selalu berbeda-beda, mulai dari learning program hingga learning delivery yang dilakukan online dan offline. Adapun utuk learning journey, mulai dari lima program besar, yang terdiri atas onboarding, mandatory, learning development, enhancement, dan technical.

Hasilnya, menurut Rine, well-being naik dari 66% ke 86%; engagement naik dari 125% ke 132,8%; dan turnover turun dari 4,2% menjadi 2%. “Selain itu, kami dapat building talent dari 25% menjadi 92%, dan sekarang karyawan kami merupakan promotion from within,” ungkapnya. (*)

Dede Suryadi dan Sri Niken Handayani

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved