Future HR Leaders

Nessa Lies Arianti, Mendorong Organisasi dan Karyawan Tetap Agile

Nessa Lies Arianti, HR Business Partner-Support Function Nestlé Indonesia.
Nessa Lies Arianti, HR Business Partner-Support Function Nestlé Indonesia.

Dunia bisnis yang bergerak cepat dipicu oleh evolusi teknologi informasi dan komunikasi melahirkan disrupsi di semua lini organisasi. Hal itu menjadi tantangan bagi perusahaan. Organisasi harus agile agar cepat beradaptasi dan bertransformasi dengan kebaruan-kebaruan.

Nessa Lies Arianti sangat menyadari tuntutan itu. Sebagai HR Business Partner-Support Function Nestlé Indonesia, ia pun menyadari berada di garda depan membantu organisasi dan karyawan menghadapi gelombang baru yang disebut sebagai era VUCA: volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity.

Ada tiga hal yang menjadi kepedulian Nessa saat ini. Pertama, terkait dengan digitalisasi dan manajemen data. Menurutnya, sejak 2018 Nestlé mengimplementasikan teknologi digital, baik menggunakan platform komputer maupun platform mobile di HR. Secara bertahap, upaya digitalisasi membantu menyederhanakan proses dan mengurangi peran administratif di HR.

Kedua, skill baru. Dalam situasi pandemi sekarang, karyawan Nestlé dituntut memiliki kemampuan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga memiliki mental sehat dan lincah untuk bertempur di kondisi yang sangat fleksibel.

Untuk itu, HR mengembangkan metode belajar baru yang akan membantu member organisasi tetap agile dan relevan di kondisi kerja saat ini. Misalnya, kemampuan beradaptasi dengan kondisi baru, keterampilan literasi (kemampuan memahami data, membedakan data valid vs. hoax, menggunakan teknologi), dan keterampilan untuk fleksibel, penuh inisiatif, produktif, serta bisa memimpin diri sendiri dan orang lain.

Kebetulan, menurut Nessa, di Nestlé, ada begitu banyak modul pelatihan di platform online. Metodologi menggunakan pendekatan belajar mandiri, seperti membaca materi pelatihan atau menonton video, dan pembelajaran virtual menggunakan MS Teams juga ada. Sehingga, setiap karyawan Nestlé dapat belajar sendiri.

Ketiga, new working culture. Situasi pandemi mengubah budaya kerja secara signifikan. Sebagian besar perusahaan menerapkan pengaturan kerja yang fleksibel (waktu dan tempat). Nestlé selalu berupaya memastikan orang-orang tetap terlibat dengan organisasi, proaktif, dan produktif dengan sedikit pengawasan, serta menjaga nilai rasa hormat dan kepercayaan antara pemimpin dan karyawan.

Menurut Nessa, dengan kondisi saat ini kita tidak bisa konservatif. Organisasi mana pun harus bisa adjust dengan kultur kerja baru yang agile, serta tetap produktif di segala kondisi. “Di kondisi tersebut, organisasi mana pun harus bisa meng-achieve business sustainability,” kata pemegang gelar magister dari SBM-ITB ini.

Visi Nessa sebagai HR Future Leader adalah membawa perusahaan menjadi continuous learning organization dan agile, agar bisa mendukung bisnis melalui robust people development and mental health support. “Bagi saya, ini merupakan fondasi penting bagi perusahaan,” ujarnya. Sehingga, ia menambahkan, organisasinya pun bisa menjadi learning organization.

Selain itu, Nessa mengatakan, seorang pemimpin juga harus menerapkan empat hal. Pertama, kepemimpinan yang penuh kasih (Compassionate Leadership). Mengapa? Karena dalam kondisi seperti sekarang, karyawan dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Karyawan harus dibantu untuk tetap survive, produktif, dan juggling dengan cepat antara profesional dan personal ketika work from home (WFH).

Selain itu, karyawan juga harus dibantu untuk bisa membatasi waktu kerja dan mengelola stres dengan baik. “Saya merasa perlu untuk menjadi leader yang mengedepankan compassionate,” ujar Nessa. Ia berkomitmen menjadi leader yang fokus pada result dan people.

Kedua, optimalisasi dukungan untuk kesehatan mental (Optimize Support on Mental Health). Nessa percaya pada konsep organisasi sehat akan membuat bisnis berjalan dengan lancar. “Maka, karyawan di semua level harus dibantu kesehatan mentalnya.”

Sebenarnya sudah banyak program yang dijalankan Nestlé, tetapi Nessa bertekad akan memperbagus program tersebut. “Saya akan men-support mental health menjadi komponen benefit. Mental health bukan sekadar kata sifat atau kondisi, tetapi kapabilitas untuk beradaptasi di segala kondisi sehingga tetap bisa performance,” ia menjelaskan.

Ketiga, pembelajaran melalui Artificial Intelligence (AI) Learning & Virtual Reality (VR) Learning. Ini adalah metodologi untuk membantu karyawan menyesuaikan

kebutuhan belajar, membantu mengatur waktu belajar, sampai mengevaluasi efektivitas belajar. Pembelajaran VR juga merupakan alternatif pembelajaran dengan pendekatan experience learning menggunakan teknologi visualisasi.

Jadi, menurut Nessa, pembelajaran di sini bukan lagi sekadar e-learning. “Penggunaan teknologi ini terutama untuk subjek yang riil, seperti belajar di pabrik,” katanya. Yang terpenting, kedua pendekatan pembelajaran tersebut cocok diterapkan dalam situasi pandemi saat ini. Karyawan dapat mempelajari kompetensi secara komprehensif tanpa fasilitator (AI Learning). Mereka juga dapat mempelajari sesuatu dengan nyata menggunakan VR Learning.

Keempat, Community-Based Learning. “Saya akan mendorong pembelajaran yang sifatnya komunitas, sehingga mereka bisa mendapatkan dukungan sosial, bisa saling sharing, dsb.,” kata Nessa. Perempuan yang aktif dalam kegiatan kesehatan mental di Bandung Initiatif Movement dan Makna Aksara ini percaya, organisasi bisa lebih agile dan tetap bisa beradaptasi dengan kondisi bisnis jika pola pikir karyawan tumbuh dan kesehatan mental mereka terjaga secara optimal. (*)

Dyah Hasto Palupi/Anastasia A.S.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved