Young Women Leaders

Pendiri Sukkha Citta, Tinggalkan Bank Dunia Demi Berdayakan Perempuan Desa

Denica Riadini-Flesch, Pendiri Sukkha Citta (Foto: Ubaidillah/SWA)

“Saya suka mencari masalah dan mencari solusinya.” Hal itulah yang dikatakan Denica Riadini-Flesch, Pendiri social enterprise Sukkha Citta saat ditanya kenapa keluar dari World Bank. Bekerja sebagai konsultan program sosial Bank Dunia, Denica sering ditugaskan untuk melakukan penelitian tentang pemberantasan kemiskinan.

Sejak masih menempuh pendidikan di Belanda, Denica memiliki misi untuk pulang dan membangun Indonesia. Bank Dunia dipilih sebagai tempat berkarier, karena wanita berkulit putih percaya dapat menggunakan pengalaman dan keahliannya dalam Ekonomi Pembangunan untuk bisa membangun Indonesia yang lebih inklusif.

Seiring berjalannya waktu, Denica merasa ada kesenjangan antara yang dia kerjakan dengan realita di lapangan. Hal ini membuatnya resah. Saat terjadi keresahan itu, dia bergumul dan mempertanyakan banyak hal ‘Apa yang sebenarnya kita cari?’ Hingga akhirnya Denica memutuskan keluar dari World Bank dan keliling ke desa-desa di Indonesia. Sebanyak 50 desa telah dikunjungi Denica.

“Orang kota, ini pertama kalinya pergi ke desa-desa. Di sana ketemu dengan ibu-ibu yang membuat baju. Di situ aku pertama kalinya melihat bahwa di balik pembuatan baju kita, ada perempuan yang kita selama ini tidak tahu,” kata Denica saat diwawancara di gerai Sukkha Citta, Jumat (20/1/2023).

Saat itu, Denica juga melihat para perajin batik semakin berkurang. Sebelumnya ada 50 orang yang dilatih pemerintah, lalu tersisa 3 yang masih konsisten, sisanya kembali bertani. “Nah Sukkha Citta tahun 2016 mulai dengan tiga orang ini,” ujarnya.

Sukkha Citta adalah merek fashion bersertifikasi B Corp yang menciptakan perbaikan ekonomi kepada para perempuan perajin dan petani di desa-desa Indonesia sambil menjaga kelestarian tradisi dan regenerasi Bumi. Melalui konsep Farm-to-Closet, Sukkha Citta memanfaatkan hasil alam untuk menjadi pakaian berkualitas dan tahan lama serta bertanggung jawab untuk tidak mencemari lingkungan.

Denica menceritakan, bukan hal yang mudah untuk membujuk orang desa agar mau kembali menggeluti kerajinan kain yang sudah mulai ditinggalkan. Karena para perajin tidak mendapat upah layak dari apa yang dia kerjakan. Bahkan dirinya tak segan untuk berkunjung ke desa hanya sekadar ingin ngobrol, ke kebun, menginap di rumah warga di desa. Hal ini semata-mata dilakukan karena ingin membangun kedekatan dengan warga desa layaknya keluarga.

“Konsumen yang di kota tidak tahu perjalanan apa yang terjadi di balik sesuatu yang sederhana, misalnya baju. Cukup kaget ketika menemukan statistik bahwa 98% ibu-ibu yang membuat baju kita itu bahkan tidak mendapatkan upah yang cukup untuk merawat keluarganya,” ucapnya.

Banyak orang kota berbangga memakai batik, tapi di sisi lain para pembuatnya tidak bisa hidup dari kerajinan yang orang kota banggakan. Momen ini membuat Denica ingin membangun sebuah jembatan yang bisa menghubungkan orang-orang yang peduli di seluruh dunia dengan ibu-ibu yang ada di desa, bukan di pabrik.

Setelah terpikir membuat jembatan, muncul masalah lain yakni pewarnaan tekstil yang dibuat dari bahan kimia dan sangat besar dampaknya terhadap lingkungan. Pewarna tekstil dari bahan kimia ini tidak hanya oleh pabrik, tapi juga perajin rumahan di desa.

“Aku menyaksikan sendiri bagaimana ibu-ibu di desa menggunakan pewarna kimia dengan tangan, tanpa pelindung karena mereka tidak tahu. Terus limbahnya dibuang ke sungai tempat anak-anak mereka main, airnya diambil untuk mencuci pakaian dan piring,” ucap Denica menguraikan.

Diketahui, pewarna kimia mengandung zat yang karsinogenik dan mengandung logam berat. Ini berbahaya untuk manusia dan lingkungan. Seperlima dari polusi air global juga berasal dari pewarna baju kimia. “Karena suka mencari masalah dan solusi. Jadi (untuk mengatasi masalah pewarna kimia) saya keliling ke desa-desa mencari resep nenek moyang bagaimana dulu mewarnai pakaian pakai apa. Dari situ terus mencari tanamannya, ketika tanamannya sudah tidak ada maka kita tanam kembali. Dari sini kita mulai memasukkan petani di dalam rantai pasok kita. Produk menggunakan pewarna alami,” katanya menjelaskan.

Namun, Denica merasa usahanya mengurangi dampak negatif belum cukup. Dirinya merasa tertantang untuk bisa membuat baju yang bisa memberikan dampak positif. Sehingga dirinya terus mencari solusi terkait materialnya.

Filosofi Sukkha Citta

Saat masih bekerja di Bank Dunia, Denica mengalami pergulatan batin. Ia banyak bertanya tentang kehidupan, mulai dari apa yang dicari hingga definisi kesuksesan. Banyak orang menilai bahwa sukses itu adalah saat kita memiliki dan mencapai apa yang kita mau. Setelah berkeliling ke desa-desa, Denica menemukan jawaban itu.

Masyarakat desa hidup sederhana namun bisa berbahagia. Hal inilah yang menginspirasi Denica untuk memberikan nama Sukkha Citta yang berarti bahagia dan dapat memberi makna bagi orang lain.

Sejak didirikan tahun 2016, Sukkha Citta secara konsisten mengutamakan praktik kerja yang sehat bagi para perajin dan petani, untuk mendapatkan upah yang layak serta merawat Bumi melalui regenerative farming. Dimulai dari ibu-ibu di desa, kini lebih dari 1.500 orang juga turut merasakan dampaknya.

Nilai-nilai Sukkha Citta dalam melestarikan alam dan tradisi melalui pilihan materi yang ramah lingkungan dan dibuat dengan tangan dengan memperhatikan standar yang layak bagi pengrajin serta lingkungan atau ethically handcrafted. Standar inilah yang membawa SukkhaCitta untuk mendapatkan sertifikasi Ethically Handcrafted dari lembaga non-profit bernama NEST di akhir tahun 2022 lalu.

Mengusung konsep Farm-to-Closet, Sukkha Citta berguru kepada para ibu di desa untuk menciptakan pakaian menggunakan material dan proses alami, salah satunya dengan menggunakan pewarna alami yang berasal dari tanaman dan limbah pertanian. Selain itu, SukkhaCitta juga menanam kapas sendiri dengan menggunakan metode tumpang sari.

“Sebuah metode dengan kearifan lokal yang alami agar terhindar dari hama tanpa menggunakan pestisida. Kapas yang menghasilkan kain, kemudian dijadikan pakaian untuk dikenakan dan 100% dapat ditelusuri asalnya. Dari hasil penjualan Sukkha Citta, 56% dikembalikan langsung ke para pengrajin dan petani di desa-desa,” kata Denica.

Rumah Sukkha Citta (sebutan untuk desa-desa yang diberdayakan) saat ini berjumlah 8 dan tersebar di wilayah Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur. Jumlah ini bisa terus bertambah karena saat ini masih terus dikembangkan.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved