zkumparan Covid 19

Inovasi Lawan Covid-19, ITB: Kembangkan dan Produksi Ventilator Portable Vent-I

Dr. Syarif Hidayat, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB.
Dr. Syarif Hidayat, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB.

Berkat gagasan Dr. Syarif Hidayat, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dari Kelompok Keahlian Ketenagalistrikan Institut Teknologi Bandung (ITB), perguruan tinggi berlambang Ganesha ini bersama Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB mengembangkan dan memproduksi ventilator portable yang diberi nama Vent-I.

Vent-I adalah alat bantu pernapasan bagi pasien yang masih dapat bernapas sendiri (jika pasien Covid-19 pada gejala klinis tahap 2), bukan diperuntukkan bagi pasien ICU. Vent-I dirancang agar dapat digunakan dengan mudah oleh tenaga medis, baik dokter umum maupun perawat yang bertugas di garis depan. Alat tersebut memiliki fungsi utama, yaitu Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).

Syarif menjelaskan, gagasan untuk mengembangkan dan memproduksi ventilator tersebut muncul karena ia prihatin dengan sikap sejumlah lembaga dan pemerintah yang menyikapi persoalan ketakutan penyebaran Covid-19 secara berlebihan, sehingga mengorbankan unsur-unsur daya tahan bangsa. Sikap berlebihan ini tidak semestinya diperlihatkan oleh lembaga-lembaga terpelajar. “Sikap saya pribadi adalah saya tidak mau bangsa ini bertekuk lutut terhadap rasa takut,” katanya.

Untuk menjawab rasa takut tersebut, ia merasa harus melakukan sesuatu. “Saya tidak tega membiarkan dokter berjibaku dengan pasien tanpa peralatan yang lengkap. Nah, peran saya di sini adalah insinyur. Keterlibatan saya adalah dalam bentuk pembuatan peralatan dan teknologi,” katanya.

Menurut Syarif, selama ini dalam invensi dan inovasi, kebanyakan tidak melibatkan customer/masyarakat sebagai unsur penting dalam invensi. Kekurangan utama ekosistem invensi dan inovasi adalah semua melupakan bahwa proses invensi dan inovasi butuh penggerak yang namanya entrepreneur, baik pada lingkungan pemerintah maupun big corporate.

“Sepanjang yang saya ketahui, masih sedikit sekali pihak dalam hal ini yang punya kemampuan entrepreneur. Dana dan teori yang disebut-sebut ternyata implementasinya masih kurang. Masih sangat jauh dari invensi. Jadi, saya melihat di negara kita invensi dan inovasi masih kurang,” ungkapnya menganalisis.

Rektorat ITB pun awalnya tidak tahu apa yang dilakukan Syarif. Ia mengambil inisiatif sendiri. Bujet awalnya Rp 100 juta yang dihimpun dari masyarakat lewat Yayasan Pembina Masjid Salman ITB. Yayasan ini memang legal dan berbadan hukum untuk mengumpulkan dana masyarakat.

Saat ini, secara institusi formal ada tiga yang terlibat, yaitu ITB, Unpad, dan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB, dengan tim inti 11 orang. Namun, di belakang layar, banyak yang membantu secara perseorangan. Ada juga dosen-dosen universitas lain di Bandung seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Institut Teknologi Nasional (Itenas), Universitas Nurtanio, Politeknik Manufaktur (Polman) Bandung, dan Politeknik Negeri Bandung (Polban). Dosen-dosen ini juga mengajak mahasiswa mereka.

Pihaknya pun melibatkan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu: elektro, teknik mesin, kedokteran, hingga seni rupa. “Ini adalah kolaborasi bidang yang luas sekali. Bahkan, siswa SMK pun terlibat. Di Bandung ada empat SMK yang terlibat (guru dan siswa),” katanya. Untuk produksi, jumlah tenaga kerja yang terlibat ada sekitar 200 orang.

Dalam tiga bulan pembuatan ventilator ini, pihaknya berhasil mengeluarkan lima paten tanpa dana pemerintah serta dana institusi, semua dana masyarakat. Namun, ada seorang menteri yang tanpa banyak bicara (tidak mau disebutkan namanya), menyumbang sekitar Rp 400 juta dan membantu hal lainnya. “Saat ini, lebih dari Rp 10 miliar dana yang dihimpun dari masyarakat, tapi belum terhitung berapa dana yang sudah digunakan,” ujar Syarif.

Untuk produksi nondonasi, proses industri dilaksanakan oleh PT Rekacipta Inovasi ITB, bekerjasama dengan ITB, BUMN, dan swasta. Selain itu, pihaknya bersama SMK dan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) juga akan membantu merakit 100 unit serta menyumbang casing-nya. Sebagian besar komponen diproduksi di Masjid Salman, UKM sekitar Bandung, industri dari Solo, dan untuk komponennya ada di Polman Bandung. Sementara itu, untuk assembling (penyatuan) di Polman, Polban, dan PT DI.

“Ini adalah real case sebuah invensi yang diproduksi massal dalam waktu singkat karena adanya kebutuhan mendesak. Saat ini kami sudah memproduksi 80% dari target,” kata Syarif. Dari target 850 unit yang yang diproduksi, sekarang sudah sekitar 700 yang selesai, sedangkan sisanya sedang dalam proses quality control. “850 unit itu kami donasikan, tidak diperjualbelikan. Yang sudah dibagikan sejumlah 270 unit atau sekitar 30% dari keseluruhan ventilator yang sudah jadi,” ia menginformasikan.

Alat yang telah diciptakannya ini akan diproduksi dalam jumlah besar oleh perusahaan multinasional yang berkomitmen merakit 1.000 unit (tidak disebutkan nama perusahaannya). “Ini sebuah prestasi bahwa ada alat yang desainnya dari kita, hak patennya dari kita juga, dan akan diproduksi oleh perusahaan multinasional,” kata Syarif. (*)

Dede Suryadi dan Andi Hana Mufidah Elmirasari

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved