Perilaku Santun
Tengok gaya busana para bankir, pemasar papan atas, insan kehumasan, dokter, pengacara, konsultan, dan guru! Ya, guru, Saudara. Meski tak harus busana dari bahan mahal, penampilan bapak dan ibu guru yang berbusana bersih dan rapi akan memberikan rasa nyaman bagi para muridnya. Bentuk luar yang kasat mata itu mengilhami anak didik untuk meneladaninya.
Untuk tiap profesi dan jenjang karier, tampaknya memang ada semacam standar dan kriteria berbusana. Pengalaman menunjukkan, mereka yang berbusana sopan umumnya cenderung berperilaku santun.
Saya teringat tulisan Roger Kimball bertajuk You Are Not Excused yang muncul di koran The Asian Wall Street Journal beberapa tahun silam. Artikel menarik itu mengulas buku yang amat menarik berjudul A Short History of Rudeness karya Mark Caldwell.
Pengalaman tersebut dikembangkan Kimball dengan menggarisbawahi observasinya yang bermuara pada prinsip umum, yaitu tingkah laku yang baik membantu (seseorang) menjadi warga negara yang baik pula. Tentu, ada perkecualiannya. Sikap dan tingkah laku yang tak tercela sekalipun dapat menjadikan orang munafik, bahkan lebih jelek lagi. Dalam masyarakat dapat kita temukan banyak tokoh berbusana santun, ehh … ternyata mereka itu penjahat, bandit, koruptor kakap, penggangsir bank, konglomerat hitam!
Inilah wajah dan sosok yang belakangan memenuhi halaman media cetak serta disiarkan di radio dan ditayangkan di televisi. Yang tampil dendi dengan busana berkelas yang selama ini terkesan berperilaku santun itu tak lain para pelaku white collar crime, pembobol kekayaan rakyat, pengedar rasa kebencian, pemalsu kebenaran. “Mendorong orang bertindak secara benar juga berarti mendorong orang menempuh jalan yang benar,” tulis Kimball. Seperti kata Aristoteles, “Hanya orang bebal yang tidak bisa menyadari bahwa karakter kita adalah hasil perilaku kita.”
Yang patut disayangkan adalah, selama dasawarsa terakhir, pendapat di atas tak banyak memperoleh sambutan di masyarakat. Dan yang lebih menyedihkan, kini orang mencela bahkan mengutuk perilaku yang santun. Sopan berperilaku, juga ketika mengendarai mobil atau motor di jalan umum, dianggap kuno, ketinggalan zaman, penakut, dan anggapan lain yang bermuara pada keakuan diri saja.
Di masyakarat Barat, Kimball mencatat, “Mereka mulai bertindak dan berpakaian seperti kaum barbar. Jika sekarang ada orang yang berminat pada kepatutan perilaku dan kesopanan, itu karena ia menyadari alangkah tidak nyamannya hidup ini tanpa kebajikan yang bersumberkan sikap santun dalam berperilaku.”
Olah batin untuk berkontemplasi merenungkan kebenaran yang diuraikan Kimball ini sungguh layak kita lakukan. Aktivitas moral ini berasal dari rumah, dimantapkan di sekolah, dan dikembangkan di masyarakat. Bertekad menghidupkan serta menerapkan sikap dan perilaku yang santun adalah panggilan yang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin, bahkan harus, dilaksanakan.
#######
Buku A Short History of Rudeness: Manners, Morals, and Misbehavior in Modern America karya Mark Caldwell merupakan refleksi keprihatinan atas lunturnya sopan santun berperilaku sebagian anggota masyarakat Ametika Serikat. Dengan sedikit gusar, Caldwell menengarai Internet dan acara TV seperti Jerry Springer Show turut menyuburkan bentuk kekasaran perilaku.
Ia juga merekam perilaku santun dan sikap norak, antara lain di pernikahan dan pemakaman, tempat kerja, ketika berkencan, dan seantero gaya hidup ala Martha Steward.
Caldwell mengutip ucapan Edmund Burke, “Perilaku lebih penting daripada hukum. Hukum sangat bergantung pada perilaku. Hukum menyentuh kita, tapi hanya di sana-sini dan kadang-kadang saja. Perilaku adalah faktor yang dapat menyakitkan hati, mengagungkan atau menistakan, membuat kita biadad atau beradab, melalui pranata yang langgeng dan lurus arahnya, yang tak terasa, seperti udara yang kita hirup.”
Pada 1955, John Silber, Rektor Universitas Boston, menyampaikan pidato bertajuk Obedeince to the Unenforceable. Ungkapan itu berasal dari pembicaraan Lord John Fletcher Moulton, ahli hukum Inggris, pada 1925. Intinya, kemerosotan moral dalam budaya kita tidak dapat dikembalikan dengan tindakan pemerintah atau perubahan di bidang hukum. Hanya dengan kepatuhan pada hal-hal yang tidak harus kita laksanakan, atau kesetiaan pada hal-hal yang tidak memaksa kita menaatinya (obedience to the unenforceable).
Moulton mengangkat masalah yang membahayakan itu, karena ia melihat seluruh bidang perilaku — yang mengakui makna kewajiban, kejujuran, simpati, selera, dan semua hal lain yang menjadikan hidup terasa indah dan memungkinkan menata masyarakatnya — menjadi sasaran kritik tajam dan penyerangan.
Kesantunan terkesan makin menipis. Padahal, hal yang satu ini bisa turut menggerakkan nadi kehidupan bangsa. Kesantunan berperilaku membetahkan kita di rumah bersama keluarga, menikmati bekerja, lancar bergaul dengan sesama, dan membuat hidup kita terasa nyaman. Saya terilhami ungkapan Moulton seperti dikutip di atas, yang dibutuhkan agar kita berperilaku santun adalah tunduk dan setia pada hal-hal yang tidak memaksa kita menaatinya. Obedience to the unenforceable is the name of the game.